Jakarta | Lintas Gayo – Wakil Ketua MPR RI, Ahmad Farhan Hamid menilai politik pangan negara tidak jelas. Pemerintah semestinya punya politik pangan yang jelas. Ini hampir semua pangan nasional di impor.
“Dalam hal ini, kita tidak punya kemandirian sebagai bangsa,” kata Farhan di Gedung Nusantara IV, Komplek Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (6/8/2012) dalam Dialog Pilar Negara MPR yang bertajuk Politik Pangan Pemerintah Indonesia.
Padahal, lanjut Farhan, Indonesia pernah jadi negara swasembada beras. Bahkan, politik pangan sudah dibangun sejak masa-masa kerajaan, seperti kerajaan Mataram dan kerajaan lainnya. “Mimpi nabi Yusuf itu sebetulnya menggambarkan politik pangan. Sayangnya, bangsa kita tidak belajar dari sejarah dan tidak mampu menafsirkannya,” sebutnya.
Di sisi lain, Hendri Saparini dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), melihat, negara tidak memiliki ketetapan tentang pangan strategi dan pangan nonstrategis. “Buat pemerintah, yang penting rakyat yang 240 juta bisa makan,” katanya.
Padahal, kalau jelas mana pangan yang strategis dan nonstrategis; strageti dan kebijakannya pun akan berbeda. Demikian halnya dengan dukungan anggarannya. “Seperti beras dan keju, masih belum jelas, mana yang strategis,” ungkapnya.
“Kalau beras ditetapkan sebagai kebijakan pangan strategis, misalnya, maka yang 140 juta tadi bisa dijadikan pasar. Ini kan, nggak. Akibatnya, lahir kebijakan impor,” sebutnya prihatin. Alumni Fakultas Ekonomi UGM itu, menilai, ada kebijakan yang salah. “Politik pangan sebatas jargon atau di tataran kata-kata. Bukan di tindakan,” tegasnya.
Selain Ahmad Farhan Hamid, Hendri Saparini, hadir pula Ketua Fraksi Partai Demokrat Mohammad Jafar Hafsah sebagai pembicara.(al-Gayoni/red.04)