Oleh. Drs. Jamhuri, MA[*]
KATA Islam berasal dari kata salama, yuslimu, islaman yang memiliki arti berserah diri dan damai. Orang yang memeluk Islam disebut dengan muslim, yaitu orang yang benar-benar menerima wahyu dari Allah untuk dijadikan pegangan dalam kehidupan di dunia sampai di akhirat kelak. Dalam artian lebih luas Islam adalah satu keyakinan kepada Tuhan yang telah menurunkan Kitab-Nya kepada serang Nabi melalui perantaraan malaikat Jibril yang dijadikan sebagai rujukan, bimbingan dan pedoman dalam meniti kehidupan di dunia ini dan akhirat kelak. Berdasarkan pengertian tersebut Bryan S. Turner dalam bukunya Relasi Agama dan Teori Sosial Kontemporer menyebutkan bahwa seorang Yahudi dan Kristen juga bisa dikatakan dengan muslim.
Alasan yang digunakan untuk menyebut bahwa orang Yahudi dan orang Kristen sebagai muslim adalah, karena kedua agama tersebut merupakan agama samawi yang diturunkan oleh Allah dengan berpegang kepada kitab suci sebagai panduan hidup. Mereka yang berpegang dengan Kitab suci yang telah diturunkan Allah dan meyakini Allah sebagai Khaliq, kendati Islam (dalam artian agama terakhir seperti yang kita pahami) datang untuk mengganti agama sebelumnya (termasuk Yahudi dan Kristen), namun Allah tetap mengatakan pemeluk agama tersebut dengan sebutan ahlul kitab. Untuk itu tida berlebihan bila dikatakan bahwa pemeluk Yahudi dan Kristen sebagai muslim, yakni orang selamat, sejahtera, patuh dan tetap berserah diri kepada Allah.
Lalu apa yang membedakan kita dengan mereka, kalau mereka kita namakan dengan muslim Yahudi atau muslim Kristen, maka kita menamakan diri kita dengan muslim mukmin. Untuk penamaan ini penulis setuju apabila penamaan muslim ditujukan kepada semua mereka yang berkeyakinan (beraqidah) kepada Allah dan menjadikan kitab suci yang diturunkan Allah sebagai pedoman di dunia dan di akhirat kelak, dan tidak sepakat untuk menamakan muslim kepada mereka yang memeluk agama ardh, yang kitab suci mereka dibuat oleh manusia, atau juga kepada mereka yang telah merubah kita suci yang datangnya dari Allah.
Ayat 183 dari surat al-Baqarah yang selalu di baca dan didengar terlebih selama bulan ramadhan, sebagai bukti bahwa puasa bukanlah sebagai bukti yang membedakan antara kita sebagai muslim mukmin dengan muslim lainnya, karena dalam ayat itu Tuhan telah katakan bahwa puasa juga merupakan kewajiban bagi muslim-muslim selain muslim mukmin (‘alallazina min qablikum), dan yang mencapai ketaqwaan menurut firman-Nya tersebut ada orang-orang yang muslim mukmin (la’allakum tattaqun).
Bukti lain bisa kita temukan dalam al-Qur’an yang merupakan kitab suci muslim mukmin, bahwa perintah-perintah ibadah khusus ditujukan kepada muslim mukmin dengan panggilan “Hai orang-orang yang beriman” (ya ayyukallazina amanu), untuk melaksanakan perbuatan shalat, zakat ataupun puasa. Bukan hanya itu, bila kita lihat dari priode penurunan al-Qur’an ada ayat-ayat yang diturunkan di Mekah yang dinamakan dengan Makkiyah dan ayat-ayat yang turun di Madinah yang disebut dengan Madaniyah. Panggilan mukmin dalam al-Qur’an kita temukan dalam ayat-ayat Madaniyah, yang muatan ayat pada priode ini lebih banyak berkaitan dengan tata kehidupan soaial kemasyarakat, hukum, politik dan lain-lainnya. Sedangkan pada priode sebelumnya adalah berhubungan dengan aqidah segingga panggilannya banyak menggunakan lafazh “Hai sekalian Manusia” (Ya ayyuhannas).
Banyak orang-orang Islam telah menjadi muslim, mereka telah mengucap dua kalimat syahadat, melaksanakan shalat utamanya shalat fardhu, membayar zakat, melaksanakan puasa pada setiap tahunnya bahkan melaksanakan haji. Tetapi mereka beranggapan bahwa semua perbuatan yang telah dilakukan hanyalah dalam demensi sosial dengan megurangi adanya demensi Ilahiyah didalamnya, atau juga sebaliknya menganggap semua perbuatannya hanya dalam demensi Ilahiyah dengan meniadakan demensi sosial. Padahal mereka yang muslim mukmin adalah mereka yang menjadikan semua perbuatannya sebagai ibadah yang memiliki demensi partikel yaitu hubungan dengan Tuhan dan herozontal yatu bugungan dengan masyarakat dan lingkunga sekitar.
Orang muslim percaya kepada Tuhan sebagai Pencipta dan mematuhi semua perintah dan menjauhi larangannya, namun mereka menganggap bahwa kehidupan ini hanya kehidupan di dunia semata, orientasi kehidupan diukur dengan standar untung dan rugi, mereka hanya melakukan perbuatan yang mernurut mereka memberi keuntungan dan tidak mau melakukan perbuatan yang membuat mereka rugi, padahal perbuatan yang tidak menguntungkan juga dapat mendatangkan kebaikan. Sebagian mereka juga berpendapat sebaliknya, dimana mereka memahami bahwa kehidupan hanyalah kehidupan sesudah kematian yaitu kehidupah akhiran, sehingga mereka menjauhi kehidupan dunia yang bersifat meterial. Sedangkan kehidupan muslim mukmin adalah kehidupan yang menjadikan kehidupan dunia sebagai bekal untuk kehidupan di akhirat kelak.
Karena baik muslim atau muslim mukmin sebenarnya berkeyakinan bahwa kehidupan setelah kematian merupakan kehidupan untuk mempertanggungjawabkan kehidupan sebelum kematian, karena itu seluruh amal yang bersifat material dan ideal akan mendapatkan kenikmatan bila diamalkan dan digunakan kepada kebaikan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan berdasarkan petunjuk al-Qur’an.
Karena juga kita mendapatkan berdasarkan bacaan dalam al-Qur’an, kendati kenikmatan surga tidak bisa dibayangkan namun ada Firman Tuhan bahwa di surga itu dibawahnya “tajri min tahtihal anhar” ada juga ada kenikmatan kenikmatan lain di samping kenikmatan non fisik.