Pendidikan Politik Untuk Demokrasi Kualitatif

Oleh: Muhamad Hamka*

DEMOKRASI—disukai atau tidak—adalah sistem politik yang paling baik saat ini sehingga banyak dianut pelbagai Negara di seantero dunia. Hal ini tidak saja disebabkan oleh hancurnya komunisme dan sosialisme, tapi juga karena demokrasi berhasil membawa perubahan.

Memang dalam perjalananya demokrasi mengalami pasang-surut, seturut dengan tafsiran dan pemaknaan demokrasi oleh pemilik kekuasaan. Ada penguasa yang memosisikan demokrasi sebagai sarana membangun kesejahteraan rakyat, namun tak jarang penguasa yang mentasbihkan demokrasi sebagai sarana membangun hegemoni kekuasaan.

Sehingga tak heran kalau demokrasi kerap dihujat sekaligus sering disanjung. Demokrasi sesungguhnya adalah sistem politik yang berpihak pada kepentingan rakyat banyak. Asalkan demokrasi tidak “dibajak” oleh para elite untuk kepentingan politik dan kekuasaanya. Namun tak jarang, demokrasi “dijungkirbalikan” sekadar untuk memenuhi syahwat kekuasaan sekelompok elite.

Pembajakan demokrasi

Rancangan Qanun Wali Nanggroe (WN) yang dihasilkan oleh DPRA periode 2009-2014 pada tahun 2010 lalu adalah contoh dari “pembajakan demokrasi” oleh interest kelompok dalam rangka menghegemoni dan melanggengkan dinasti kekuasaan. Hal ini bisa dilihat dari butir-butir draft rancangan Qanun WN yang cendrung menggerus demokrasi.

Seperti pada pasal kewenangan “Wali Nanggroe” mulai dari elemen kekuasaan penting di bidang seremoni (memberi dan mencabut gelar, memberi sambutan pada even penting), eksekusi (memajukan produk dan promosi Aceh ke luar negeri, membuat kesepakatan dagang dengan luar negeri), legislasi (veto untuk musyawarah yang belum mufakat), mengambil kewenangan Komisi Independen Pemilihan (menetapkan jadwal Pilkada), kewenangan absolut (menguasai harta Aceh, memberhentikan Gubernur dan membubarkan parlemen), hingga kondisi luar biasa (menyatakan keadaan darurat)” (Helmy N Hakim: Serambi Indonesia, 2010).

Luar biasa kewenangan Wali Nanggroe ini, kewenangan yang absolute dan superbody. Padahal absoluditas sebuah kekuasaan akan membawa kekuasaan tersebut pada otoritarianisme. Kewenangan model Wali Nanggroe ini sangat kontradiksi dengan semangat demokrasi yang memosisikan rakyat sebagai pemegang kedaulatan.

Kita berharap lanjutan pembahasan rancangan Qanun Wali Nanggroe tak lagi ditelikung oleh kepentingan parsial kelompok tertentu, tapi betul-betul dilandasi oleh semangat imparsial bagi kepetingan banyak orang tanpa didistorsi oleh nalar primordial. Sehingga institusi Wali Nanggroe akan menjelma menjadi lembaga otentik dalam menebarkan kearifan dan kebajikan.

Contoh diatas adalah narasi tentang bagaimana demokrasi prosedural bisa menjadi begitu mengerikan ketika “dibajak” oleh pemilik kuasa untuk kepentingan politik dan kekuasaanya. Padahal demokrasi tidak sekadar pergulatan prosedural, tapi yang utama adalah bagaimana substansi dan kualitas demokrasi itu sendiri memainkan peran bagi hadirnya kemaslahatan umum (bonum comunie).

Ini akan terjadi ketika demokrasi tak lagi dimonopoli oleh para pemilik kuasa. Syaratnya adalah terbukanya ruang publik dalam mengakses demokrasi. Karena dengan terbukanya ruang publik, maka akan muncul partisipasi masyarakat. Partisipasi masyarakat inilah nantinya yang akan menjadi alat kontrol efektif dalam meluruskan kekuasaan yang menyimpang dari track yang sebenarnya.

Efektifnya fungsi kontrol seluruh elemen masyarakat Aceh yang berhasil menggagalkan pengesahan rancangan Qanun Wali Nanggroe yang cendrung membonsai demokrasi pada tahun 2010 lalu adalah contoh nyata dari pentingnya partisipasi publik dalam pembangunan demokrasi. Ketika ruang publik ini disumbat, maka kekuasaan akan berjalan absolut dan dapat dipastikan korbannya adalah rakyat biasa. Sebagaimana yang pernah dipraktikan oleh rezim despostis Orde Baru.

Harus selaras

Untuk itu, demokrasi harus selaras antara gerak prosedural dan irama kualitatif. Ketika demokrasi direduksi pada wilayah prosedural an sich, maka demokrasi bakal “disandera” bahkan lebih jauh lagi dimanipulasi oleh elite politik untuk kepentingan politik dan kekuasannya. Maka dari itu, menjadi sebuah keharusan bagi pegiat politik dan demokrasi untuk mengkampanyekan demokrasi kualitatif. Karena hanya dengan demokrasi kualitatif sajalah kesejahteraan rakyat bisa tercapai.

Oleh karena itu, pendidikan politik bagi seluruh warga masyarakat mutlak dilakukan oleh setiap partai politik dan stakeholder lainya. Karena pendidikan politik inilah yang menjadi kunci terwujudnya demokrasi kualitatif. Sehingga rakyat dapat mengartikulasikan segenap kehendak politiknya secara cerdas dan bermartabat.(for_h4mk4[at]yahoo.co.id)

*Analis Sosial & Politik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.