Sajak Rizal Pangeran
Di Kafe Batas Kota
Kepada Kalian
Tlah lama tak pernah aku sampaikan
Tentang cerita kehidupan
Perahuku pecah
Napasku terengah
Dari balik jendela
Di Kafe batas kota ini
Kuharap kalian mengerti
Babak demi babak pementasan
Panggung rapuh
Letih jiwa merajut sepi
Hanya jemari setia menulis puisi
Tentang dermaga tempat perahu kutambatkan
Tentang senja merah ditepi laut
Tentang pucuk pinus bercanda dengan langit
Tentang gemuruh napas
Tentang hati
Yang kalut
Kepada kalian,
Ada pilar lidah api, meliuk dalam nanar kacamataku
Saat kureguk secangkir kopi
5 September 2012-09-12
——
RIZAL PANGERAN. Nama itu begitu kukenal dalam berbagai karya puisi. Rizal Pangeran adalah nama lain dari sesosok lelaki berpostur besar tapi berhati lembut. Lelaki yang tenggelam bersama waktu yang menumbuhkan usia.
Lelaki yang setia ditemani vespa dan kacamatanya yang kian menebal. Bagiku, dia adalah lelaki tegar yang mencintaiNya dan selalu ingin dicintaiNya. Kulit gelapnya seolah “ menutup” sosok aslinya yang ramah dan suka berteman.
Puisi ‘Di Kafe Batas Kota” diberikannya padaku beberapa waktu lalu. Ditulis diatas kertas polio dengan beberapa coretan. Rizal Pangeran tak berteduh lama setelah memberikan sajaknya yang entah karya yang keberapa.Mungkin ratusan sudah.
Satu-satu kata, sajaknya kubaca. Aku bergetar haru. Lelaki tidak berarti harus menahan tangis. Aku haru biru ditengah keramaian kafe dan melayani tetamuku. “Kepada Kalian”, begitu sajaknya berawal.
Aku langsung tahu. Kepada kalian ini bermakna apa. Kalian yang bermakna adalah para sahabat dan teman Rizal Pangeran yang kini jarang bersua setelah dulu demikian akrab dan kerap berbagi berita, cerita dan tawa.
“Kepada kalian. Tlah lama tak pernah aku sampaikan”. Dia mulai berkisah tentang dirinya yang ditelan sepi. Bersendiri dan jauh dari teman-teman meski secara geografis sangatlah dekat. “Kepada kalian.Tlah lama tak pernah aku sampaikan. Tentang cerita kehidupan. Perahuku pecah. Nafasku terengah”….
Aku masuk semakin jauh kedalam jiwanya. Tentang cerita kehidupan Sang Rizal Pangeran. “Perahuku pecah. Napasku terengah”. Rizal mulai berkisah tentang biduknya di samudra kehidupan ini.
Rizal sedikit membuka duka laranya selama menjauh dari teman-temannya. Aku tahu kisah hidup berupa ujian Allah yang diterimanya dan dijalaninya dengan ikhlas. Yang justru membuatnya semakin mendekat kepadaNya.
Aku semakin terharu membaca setiap kata sajaknya. Karena aku tahu, semua kata-katanya bermakna dari semua peristiwa yang dialaminya. Tapi dia tetap menyimpannya dengan santun , lembut. Dia menyimpan duka laranya.
“Babak demi babak pementasan. Panggung rapuh”. Sungguh Rizal juga sesungguhnya nyaris tak kuat atas ujian Sang Khaliq. Dari babak demi babak hidup dan takdir untuknya. “Letih jiwa merajut sepi”.
Beberapa kali aku berhenti membaca sajaknya. Aku menarik napas dalam. Seandainya aku yang mengalami kisah sedihnya. Mampukah aku melewatinya seperti Rizal. Tapi selalu bersamaNya.Aku tak yakin.
“Hanya jemari setia menulis puisi”. Rizal Pangeran mencurahkan laranya dalam sajak-sajaknya membunuh sepi . “Tantang gemuruh napas. Tantang hati yang kalut”. “Kepada kalian . Ada pilar lidah api, meliuk dalam nanar kacamataku. Saat kureguk secangkir kopi”….
Rizal masih saja “bergelut” dengan jiwanya saat mereguk secangkir kopi. Kisahnya begitu dalam dalam episode hidup di paruh waktu usianya. Rizal Pangeran yang menahan getir sendiri dan menyembunyikannya dari karib sahabatnya, bukanlah lelaki pendiam.
Jika sudah berkumpul, banyak kisah lucu yang dicurahkannya sehingga membuat teman-temanya terbahak. Juga tentang cita-citanya jika menjadi bupati atau pejabat daerah.
“Jika aku menjadi bupati, mobil dinasnya harus bus besar seperti PMTOH atau Pelangi atau Kurnia. Sehingga bisa dinaiki siapa saja saat menuju kantor”, guyon Rizal Pangeran seraya menarik asap rokok mildnya.
Meski kini telah mengbdi menjadi pelayan masyarakat sebagai pegawai negeri. Rizal melalui kisah lampaunya dengan banyak kegiatan. Teater, wartawan,seniman dan petani kopi. Empat putrinya yang lahir dengan “mahal”, kini sudah beranjak dewasa dan berkeluarga.
Semua anak-anak Rizal dilahirkan sang istri dengan bedah caesar. Rizal mengaku diberi bonus hidup dari Sang Khaliq. Karena dalam sebuah peristiwa, Rizal bersama beberap orang temannya pernah disekap GAM saat konplik Aceh mendera.
Kejadiannya di Lintas Barat Takengon-Belangkejeren. Rentetan tembakan didekat kepala, dari senjata laras panjang pernah dirasakannya. Itulah sebabnya dia begitu dekat denganNya. Meski jua, ujian dariNya terkadang menguras kemampuan kemanusiaannya.
Dan semua itu tergambar dari sajak ,”Di Kafe Batas Kota”. Sejak memberikan sajak itu. Rizal menjalani hidupnya dengan ritme yang telah diformatnya. Berlalu didepan Kantin Batas Kota pulang ke rumahnya bervespa. Jarang berhenti meski dia tahu banyak sahabatnya sedang berkumpul di Batas Kota. (Win Ruhdi Bathin)