SIANG menjelang sore itu, jam ditangan menunjukan pukul 14.30 Wib, di tengah panasnya terik matahari saya bersama seorang rekan yang hendak pulang ke Takengon dari Banda Aceh, menyempatkan diri beristirahat di Desa Teupin Raya ,Kecamatan Geulumpang Tiga Kabupaten Pidie. Kami bersepakat menyambangi sebuah kedai kecil yang menjajakan air tebu di pinggiran jalan lintas Medan-Banda Aceh tersebut.
Di Tanah Gayo sendiri air tebu sudah di konsumsi semenjak zaman dulu oleh para tetue dengan menggunakan uing (terbuat dari kayu) yang juga memiliki bagian-bagian seperti cerka, penulak, pemepet (Bahasa Gayo) yang untuk menggunakannya harus dengan menggunakan kekuatan fisik agar mendapatkan hasil maksimal dari belahan-belahan tebu yang sebelumnya di bersihkan tersebut.
Air tebu yang pada saat ini di olah menggunakan mesin yang tampak sederhana dan tidak membuat repot, sudah menjadi minuman khas Indonesia baik dari rasa serta aromanya, pada umumnya karena memiliki rasa alami tanpa pemanis dan para penikmat minuman ini biasanya menikmati minuman alami ini pada saat bulan Suci Ramadhan dan saat ini pada hari biasa sudah banyak pedagang yang mulai menjadikan usaha ini menjadi usaha permanen.
Syamsut, seorang pedangan air tebu tersebut ternyata pernah tinggal beberapa tahun di Km 60 Kabupaten Bener Meriah. Menurutnya, ia membeli tebu yang di bawa dari Tanah Gayo tersebut di karenakan rasa dan air yang di hasilkan lebih baik di bandingkan dengan tebu di pesisir. Tebu yang di beli dari armada angkutan yang menuju Banda Aceh dengan harga 2.500/ batang dan dalam seminggu pada hari biasa tebu yang di butuhkan sebanyak 500 batang tebu.
Tanpa banyak tanya kami langsung memesan air tebu yang di bubuhi bongkahan es, rasa panas dan gerah sedikit terobati, di sela-sela istirahat kami di beri ruang untuk bercerita oleh bapak sang penjaja minuman yang khas bulan Ramadhan tersebut. Mendengar dialeg bahasa kami yang khas Samsuat langsung menanyakan “Adek dari Takengon?” dengan jawaban yang sudah tentu kami menjawab “ia benar pak, ini tebu dari mana?”.
Sambil terus melayani pembeli yang datang beliau bercerita tentang usaha yang di rintisnya semenjak tiga bulan yang lalu tersebut adalah tebu dari Desa Blang Mancung Kecamatan Ketol Kabupaten Aceh Tengah, sedikit terperangah sambil saling bertatapan timbul berbagai pertanyaan dalam benak.
Semakin penasaran berbagai pertanyaan kian muncul, dengan nampak bersemangat Samsuat terus menjelaskan bahwa penghasilan yang diperolehnyapun sangat membantu perekonomian keluarganya, terbukti ia mampu menyekolahkan anaknya sampai ke perguruan tinggi di Universitas Bergengsi di Provinsi Aceh. Sehari bapak dari lima orang anak ini bisa menjual sedikitnya 200 gelas yang setiap gelasnya di hargai Rp3.000 meski terkadang ada yang membayar kurang atau bahkan ada yang tidak membayar sama sekali.
Kedai yang merupakan tanah pinjaman tersebut di buka mulai pukul 11.00 Wib sampai dengan menjelang ba’da Maghrib ternyata memberikan sedikit ruang untuk Samsuat untuk memperbaiki perekonomianya, pertama sekali ia merintis usahanya Samsuat berjualan di pasar menggunakan becak dan itu hanya ia lakukan hanya pada bulan Ramadhan saja, sekarang Samsuat memiliki usaha di tempat yang tetap.(Konadi Adhani)