Jambo “Beranak Duri dalam Daging” Pentas Teater yang Mengasah Dendam tak Henti

Oleh: Ansar Salihin*

TERDENGAR letusan senjata dan butiran peluru berjatuhan, musik tragedi peperangan mulai bermunculan, disambut dengan musik Rapa’i dan serune kalee dimain pemusik dengan lantang nada tinggi. Seorang laki-laki sedang duduk merenung di atas jambu persawahan, disinari dengan cahaya merah dan biru yang memantul dari atas jambo. Setelah musik habis disambut lagi dengan nyanyian Aceh Tanoh Loen Sayang (Aceh Tanah ku Sayang) dan tarian Aceh dari belakang layar putih yang disebut dengan silhuet, yang dimain oleh empat orang laki-laki dan dua orang perempuan. Nyanyian selesai dan pemain belakang layar diam, Laki-laki itu berteriak “Brahiiiiiiim”. Masuk seorang anak muda mendekati laki-laki itu “Abua, Aku Pulang Abua”.

Itulah awal dialog pertunjukan Jambo “Beranak Duri dalam Daging” Karya/Sutradara Sulaiman Juned. Pertunjukan tersebut dipentaskan  Sabtu, 6 Oktober 2012  di Gedung Utama Taman Budaya Sumatera Barat. Pertunjukan tersebut produksi ke 32 Komunitas Seni Kuflet Padangpanjang.

Jambo “Beranak Duri dalam Daging” bercerita tentang konflik yang terjadi di Aceh beberapa tahun yang lalu. Pertunjukan ini dimainkan oleh enam aktor utama dan enam aktor pendukung. Enam aktor utama diantaranya Awaluddin Ishak sebagai Ali, Melfin Harahap sebagai Polem, Saniman Adikafri sebagai Komandan Upah, Rahmat sebagai pasukan upah I, Alamsyah Putra sebagai Pasukan Upah II,  dan Salihin sebagai aman Islmail. Sedangkan aktor pendukung diantanya, Afleni sebagai kaum Ateuh, Awaludin, Herman, Ayu Masri Utami, Khairunnas, dan Iwan Rahmat sebagai orang-orang.

Pertunjukan ini menceritakan kisah seorang pemuda (Ali) pulang ke kampung halaman setelah menyelesaikan sarjana di salah satu perguruan tinggi  di kota. Selama dua puluh delapan tahun  meninggalkan kampung halaman. Ia menjumpai keluarga dan sanak saudaranya. Sampai di Jambo ia berjumpa dengan Abuanya Polem (Paman/abang dari ibunya) sedang merenung, sebelumnya Ali sempat mendengar  polem berteriak menyebut nama Brahim (Ayah Ali).

Ketika Ali mulai berdialog “Abua, aku pulang abua…” Polem masih termenung memperhatikan Ali, kemudian dijawab oleh seorang perempuan (kaum Ateuh) dari belakang silhuet “Ali Kalau boleh jangan kau ganggu dulu pang Polem, pang Polem akhir-akhir ini lebih banyak merenung Ali. Sepertinya, merasa bersalah ketika pang brahim meninggal di depan matanya…” Setelah beberapa menit memperhatikan Ali, barulah Polem memulai percakapan dengan Ali.

Polem dalam berdialog dengan Ali, sering menyebut-nyebut “..Kau persis seperti Abimu..” membuat Ali penasaran, apa yang sebenarnya terjadi kepada abinya dua puluh delapan tahun yang lalu. Ali ingin mengetahui segalanya, ketika Polem hendak menceritakan kepada Ali, ia termenung disambut dengan nyanyian Aceh Tanoh loen Sayang dan tarian seudati dari belakang layar. Selesai nyanyian itu barulah Polem memulai percakapannya lagi menceritkan kejadian sebenarnya “…dua puluh delapan tahun yang lalu, Abimu bukan meninggal karena sakit seperti yang diceritakan emak mu, tapi ia adalah pahlawan bagi kaumnya…”

“Cukup” seorang perempuan muncul ke  jambo  membawa air minum dalam cerek, ia Minah ibunya Ali “….aku tidak sepakat Ali mengetahi prihal abinya…”. itulah dialog Minah dengan tegas kepada Polem dan Ali, Minah tidak ingin anak kesayangannya mengetahui kejadian sebenarnya. Selama dua puluh delapan tahun suaminya meninggal, ia selalu menutupi kejadian sebenarnya kepada Ali. Minah tidak mau anaknya menanamkan api dendam dalam dirinya, kemudian Ali ikut bersama kaum ateuh dan ia tidak mau kehilangan untuk kesekian kalinya. Sudah cukup kesedihan menimpa ketika kehilangan suaminya.

Sampai Minah pergi dari sawah itu, ia tetap tidak setuju kalau Ali mengetahui perihal Abinya. Sehingga Ali sempat marah kepada emaknya, dan akhirnya emaknya pulang. Namun Ali tetap tidak puas dengan hal itu, ia tetap memaksa Abinya untuk menceritakan yang sebenarnya “..teruskan cerita yang terputus tadi Abua…”. Polem menceritakan kepada Ali yang sebenarnya “…Abimu di sawah ini, di jambo ini bertengkar habis-habisan dengan Abua. Ia ingin berangkat membantu kaum Ateuh…..sebak-sebok seperti itulah Abimu berlari dengan rencong di tangan menantang pasukan Upah. Sementara Komanadan Upah dan pasukan sudah berkeliaran di sawah ini. Ketika aku bangun dari tiarap,  aku melihat Abimu telah tertembak. Aku kejar, aku peluk ia…..Setelah itu aku tahu dari Makmu, bahwasannya Abua terdaftar jadi orang yang paling di cari di Naggroe ini. Sejak itu aku bergabung dengan kaum Ateuh dan diangkat menjadi pang Wali…”

Itulah awal kemarahan Ali kepada pasukan upah dan ingin ikut bersama kaum ateuh, tapi Polem melarang Ali untuk ikut bersama kaum Ateuh, Polem takut ia lagi yang disalahkan adiknya Minah. Namun Ali tetap tegar untuk membalas semua yang terjadi kepada abinya, bukan hanya itu Ali juga ingin meluruskan negeri ini. Rasanya tidak cukup ia menjadi seorang sarjana, tidak ada untungnya menjadi seorang entelektual kalau tidak terjun kepada kejadian yang sebenarnya. Sejak itulah niatnya telah bulat untuk mengangkat bendera perang, bahkan sempat bertengkat bersama polem, karena melarang Ali menanamkan dedam dalam dirinya. Namun duri telah tertaman dalam diri Ali sejak ia dalam kandungan, sehingga duri itu tumbuh subur diseluruh tubuhnya. Ali mengajak polem “Abua mari kita mengajak kaum kita berangkat mengangkat bendara perang” Ali dan polem keluar.

Scrin hidup tujuh orang bernyanyi lagu Aceh tanoh leun sayang dengan semangat sambil mengayunkan tangan ke kiri dan ke kanan. Kemudian terdengar letusan senjata, ada sekelompok orang menebak pasukan yang bernyanyi tadi. Mereka berlarian ada yang mati tertenbak dan ada yang tertangkap. Komandan upah bersama pasukannya menyeret aman Ismail dari belakang scrin sambil memukul dan menendangnya. Komandan upah masih teringat peristiwa bebrapa tahun yang lalu, ketika ia menembak brahim di jambo ini. Dua orang anak buahnya tewas dan ia sendiri dilukai dengan rencong. Sehingga ia sangat berhati-hati di sawah tersebut.

Tampak jelas kekejaman komandan upah pada peristiwa ini, pasukannya seenak saja memukuli Aman Ismail sebagai masyarakat biasa. Memang itulah kekejaman pada masa komlik yang digambarkan dalam pertunjukan tersebut, setiap bentrokan terjadi selalu saja rakyat biasa menjadi sasaran. Aman Ismail seorang rakyat biasa, ia sedang membawa rumput pulang untuk lembunya. tapi bagi pasukan Upah itu adalah sesuatu yang dicurigai, seperti yang dikatakan pasukannya “tapi intuksi bapak yang lalu setiap orang dicurigai harus disiksa, dipukul dan kalau mendesak harus di bunuh”. Namun pada saat itu komandannya tidak main kekerasan, ia mengatakan “…sudah saatnya kita menmbak hati masyarkat bukan tubuhnya….”

Komandan upah pergi bersama pasukannya, Aman Ismail ditinggalkan terlentang di depan jambo. Sambil mengilu Aman Ismail memegang dada dan mukanya di pukul dengan senjata oleh pasukan upah. Peristiwa itu diceritakannya kepada Polem dan Ali saat menolong Aman Ismail yang terlentang di depan Jambo. Bertambahlah kemarahan Ali dan Polem kepada pasukan upah. Akhirnya Polem menginjikan Ali untuk ikut bersama kaum Ateuh.

Ketika polem dan Ali sedang bercerita mengatur strategi untuk mengakat bendera perang. Terdengar siulan pasukan upah, Ali dan Polem mendengarkan siulan itu, lalu Ali bertanya “Apa itu abua” ? polem menyuruh Ali untuk pulang, sepertinya polem tahu bahwa yang datang adalah pasukan upah. Ali tidak mau pulang ia ingin bersama Polem, namun Polem mengeluarkan senjata dan menyodorkan ke kepala Ali, kalau Ali tidak pulang Polem tidak segan-segan untuk membunuhnya. Ali mengalah mundur dan beranjak pulang sambil memperhatikan Polem. Keluar tiga orang pasukan upah dan menembak Polem dari belakang. Ali lari dan memegang Polem sampai jatuh, minah datang berteriak “Polem”. Ali mengambil senjatanya dan minta maaf serta mohon restu kepada emak. Kemudian Ali pergi, disambut dengan sebuku dari scrin yang didampingi dengan suara seruling. Sehingga suasana hening, cahaya mulai padam, mulai lagi menari orang-orang di belakang, sambut dengan Rapai dan serune kale seperti musik awal pertunjukan untuk mengakhiri pertunjukan.

Itulah sekilas pintas pertunjukan Jambo “Beranak Duri dalam Daging” yang disutradarai oleh Sulaiman Juned. Karya ini di garap dengan Konsep Suriyalis yaitu suatu pertunjukan seni bukan menghadirkan seperti keadaan aslinya. Artistik yang ditampilakan hanya sebagai simbol saja, namun memilki makna yang berarti. Misanya keadaan jambo dalam sawah, tidak harus ada sawahnya di atas pentas. Cukup memberi efek cahaya menggambarkan bahwa itu sawah. Suasana itu diperkuat dengan simbol orang-orangan yang diberi kaleng berisi batu di dalamnya. Di daerah Aceh orang-orangan tersebut berfunsi untuk mengusir burung di sawah. Begitu juga dengan jambo. Tidak harus membuat jambo sebenarnya, cukup mendirikan bagian depan jambo kemudian dibantu oleh efek cahaya. 

Secara realitas sosial pertunjukan ini menggabarkan tentang kondisi komfliks peperangan  yang terjadi beberapa tahun yang lalu antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Penggambaran ini jelas dan nyata dalam pertunjukan tersebut, namun tidak memakai nama yang sebenarnya. Pengkarya dan juga sutradara sengaja memakai simbol-simbol dalam pertujukan tersebut. Misalnya Kaum Ateuh (kaum atas) merupakan orang-orang yang memperjuangkan nanggroe. Kenapa di namakan kaum ateuh atau atas, karena tempat mereka di pegungungan dan hutan-hutan. Kemudian Pasukan upah (pasukan yang di bayar) diambil dari bahasa aceh pada masa Kerajaan Iskandar Muda. Pasukan perang menyerang lawan dan menjaga medan pertempuran pada masa itu di bayar oleh Sultan Iskandar Muda, makannya tentara Iskandar Muda disebut dengan pasukan upah.

Secara budaya pertunjukan Jambo “Beranak Duri dalam Daging” juga menggambarkan budaya dan suasana  Aceh. Hal ini dapat dilihat dari simbol dan ikon budaya Aceh yang digunakan, seperti bahasa Aceh dibeberapa dialog, properti dan suasana keacehan, gerakan tari dan nyanyian Aceh, karakter tokoh sebagai orang Aceh dan musik serta alat musik yang dimainkan.

Dialog-dialog sebagai simbol keacehan pada pertunjukan tersebut seperti dialog Ali “pakeun menan” ..kenapa begitu.., kemudian dijawab minah “…keun menan…” bukan begitu. Kemudian ada lagi dialog polem “..dis ne oya win..” itu artinya sama saja… kemudian dialog aman ismail berbasa Aceh Gayo “..sunguh le pak..” sungguh pak… dan ketika Aman Ismail minta pamit kepada Ali dan Polem “Berizin pak” terima kasih pak, dijawab Ali dan polem “boh mi pak” ya sama-sama pak. Dialog tersebut mungkin di naskah tidak ada, itulah kecerdasan sutradara dan aktor dalam menggarap sebuah karya. Ini bagian dari proses kreatif aktor dan sutradara.

Kemudian gerakan tarian sebagai simbol tarian Aceh seperti tari Seudati dan Peuloet manok (adu ayam) yang digerakan oleh orang-orang di silhuet. Kemudian tari Guel ketika Aman Ismail dipukul oleh pasukan upah dan ditinggakan di jambo. Lagu Aceh Tanoh Loen Sayang dinyanyikan empat kali bersama gerakan Seudati dalam pertunjukan tersebut. Selanjutnya Sebuku (nyanyian meratap) didampingi oleh musik seruling di penghujung pertunjukan menciptakan suasana hening atas kematian Polem dan Ali pergi meninggalkan emaknya.

Menurut Sulaiman dalam Laporan diskripsi Hakayat cantoi (2007: 7-8) menyebutkan “Seudati merupakan suatu bentuk teater tradisional Aceh yang stuktur dasarnya ada gerak, syair dan dimainkan seluruhnya oleh laki-laki. Kemudian Guel sebenarnya sedratari Aceh yang ditarikan oleh seorang laki-laki dengan gerak patah-patah,tari ini untuk membangun gajah jelmaan dari seorang anak raja yang sudah meninggal, dan dipercaya oleh masyarakat Aceh gajah jelmaan tersebut menjadi gajah putih tunggangan Sultan Iskandar muda”

Kemudian karakter tokoh keacehan dalam pertunjukan tersebut dapat dilihat dari pengungkapan kata-kata secara tegas dan dipertegas  dengan bloking horizontal yang tegas dan pasti. Itu merupakan karakter orang Aceh, dalam istilah orang Aceh mengatakan lebih baik tuangkan semua daripada tumpah sedikit demi sedikit. Keturanan Aceh adalah keturunan berdarah perang yang telah ditanamkan sejak kerajaan Sultan Iskandar Muda.

Alat musik yang digunakan dalam pertunjukan tersebut selain musik multimedia diantaranya rapa’i, Serune kalee, dan seruling. Ketiganya merupakan alat musik tradisional masyarakat Aceh. Rapa’i  adalah alat musik tetabuhan tradisional menyerupai rebana yang tumbuh dan berkembang sejalan penyebaran agama Islam di Aceh yang keberadaannya telah ada sejak zaman kerajaan Samudra Pasai. Serune Kale adalah alat musik tiup tradisional Aceh yang berbentuk memanjang dan suaranya seperti trompet. Kemudian Seruling adalah alat musik tiup masyarakat tradisinal Gayo (Aceh Tengah).

Begitulah pentingnya kecerdasan seorang sutradara dalam menggarap sebuah pertunjukan Teater. Sutradara tidak harus mengikuti semua apa yang ada dalam naskah, namun sutradara yang cerdas mampu merubah, mengurangi dan menambahkan apa yang belum ada dalam naskah. Hal ini didapatkan karena adanya kepekaan terhadap lingkungan harus dibangun, realitas sosial harus diperhatikan dan dicermati, kemudian budaya tidak ditinggalkan. Meskipun teater modern bersifat barat, kecederdasan seorang sutradara mampu memunculkan tradisi. Sehingga melalui seni seorang seniman dengan kreativitasnya mampu mengangkat tradisi kepada budaya global.

Teater sebagai seni yang kompleks mengekplorasi intensitas seniman dalam bentuk emosi dan spektakel (setiap benda yang ada di atas panggung termasuk aktor, setting, cahaya, properti, rias, dan busana). Menurut  Herwanfakhrizal spektakel adalah “Ekspresi atau ungkapan sutradara atau aktor yang ditangkap oleh penonton dalam wujud stuktur dan tekstur serta kovensi sebuah teater selama rentang waktu pemanggugannya. Menjadi wujud kesatuan penonton” (Laporan Hikayat Cantoi Sulaiman Juned, 2007: 1)

Berdasarkan pengalaman Sulaiman Juned dalam berteater dilihat dari biografinya, layak dianggap sebagai sutradara yang kreatif dan profesional. Sehingga mampu menciptakan karya yang demikian. Sejak sekolah di SMP (1982) di takengon telah mengikuti kesenian Didong dan sandiwara keliling. Kemudian tahun 1989 mulai menyutradarai teater di Aceh dan tak ada hentinya sampai sekarang telah menyutradari 44 pementasan teater, sudah memerankan tokoh 250 karakter, 150 kali tampil dalam layar kaca/sebagai aktor dan sutradara serta penulis scenario baik di TVRI Stasiun Aceh, Padang dan Nasional.

Secara pendidikan Sulaiman Juned alumni FKIP Bahasa dan Sastra Indonesia UNSIYAH, kemudian melanjutkan Sarjana seninya di Jurusan Teater STSI Padangpanjang, dan Pascasarjana di ISI Surakarta. Sekarang bekerja sebagai Dosen tetap di jurusan Teater ISI Padangpanjang juga mengajar di beberapa perguruan tinggi swasta lainnya di Sumatera Barat. Kemudian ia juga telah mendirikan tiga komunitas seni terutama bidang sastra dan teater diantarnnya Cempala Karya Banda Aceh, Teater Nol Banda Aceh dan Komunitas Seni Kuflet Padangpanjang

Jambo “Beranak Duri dalam Daging” merupakan salah satu karya sulaiman juned dari lima naskah jambo lainnya. Naskah drama ini merupakan naskah yang bersambung, Sulaiman juned memberi judul Lima Drama Jambo. Jambo “Beranak duri dalam Daging merupakan naskah yang kedua, sedangkan naskah yang pertama berjudul Jambo “Luka tak teraba”, kemudian drama ketiga Jambo “Bunga Api-Bunga Hujan”, keempat Hikayat Cantoi dan terakhir Jambo “Inong balee”.

Kelima naskah Jambo tersebut merupakan hasil kreatifitas Sulaiman Juned terhadap kegelisahan kampung halamannya. Meskupun ia sekarang tinggal di Padangpanjang konsep keacehannya tetap menjadi ide utama dalam menciptakan karya seni baik itu naskah drama maupun dalam meynutradarai sebuah pertunjukan teater. Komunitas Seni Kuflet merupakan wadah Sulaiman Juned untuk berkarya. Melalui kuflet ia juga memberikan pembelajaran kepada generasi muda dengan filosofi “memanusiakan manusia”

Jambo “Beranak Duri dalam Daging” merupakan pertunjukan menelor penonton, memberikan ketengan, kesedihan, humor, amanat dan pendidikan kepada masyarakat. Itulah konsep sutradara dalam pertunjukan tersebut. Ketengangan dapat disaksikan pada awal sampai pertengahan pertunjukan ketika dialog Ali dengan Polem dan Minah. Kemudian menolor penonton ketika pasukan upah mengepung dan menambak kaum Ateuh. Komedi Satir tarjadi saat pasukan upah berdialog dengan Aman Ismail. Kesedihan ketika Polem menceritakan kepada Ali ketika Brahim meninggal di depan matanya. Aktor mengakui ketika memainkan dialog tersebut sempat melihat penonton menangis

Pertunjukan tersebut sangat banyak  amanat atau pesan yang dapat diambil. Pesan tersebut diantaranya untuk menjauhi sifat dendam, ketika dendam telah ditanamkan dalam diri seseorang, maka negeri ini tidak akan pernah damai. Kekejaman bukanlah solusi untuk memecahkan masalah, namun akan memunculakan dendam tak henti-henti dan perang berkepanjangan. Peristiwa ini akan didapat pembelajaran sangat banyak, baik secara manusiawi maupun secara ukhrawi. Itulah tugas seniman, selain memberikan hiburan kepada juga melalui karya seni memberikan nasehat dan pembelajaran moral kepada masyarakat.

*Mahasiswa Jurusan Kriya Fakultas Seni Rupa dan Desain ISI Padangpanjang dan bergiat di Komunitas Seni Kuflet

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.