Oleh: Yusradi Usman al-Gayoni*
PADA 23 Oktober 2012 lalu, para tokoh Gayo lintas profesi dan generasi yang digagasi Musara Gayo sempat berkumpul di Kompleks Parlemen Senayan. Ada dua tema utama yang dibahas dalam pertemuan bersejarah itu, yaitu soal pendidikan dan kebudayaan serta sosial-politik. Inti pertemuan itu lebih meyoal kaderisasi dan regenerasi orang Gayo yang sudah di ujung tanduk. Salah satunya, di ranah politik.
Pertemuan itu menakar peluang orang Gayo yang kemungkinan maju dalam pemilihan umum legislatif di DKI Jakarta pada tahun 2014 mendatang baik untuk Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI maupun Dewan Perwakilan Daerah RI “Senator” dari Propinsi DKI Jakarta. Buat saya, wacana tersebut merupakan langkah bijak dan sangat berarti bagi masyarakat Gayo. Apalagi, di perantauan.
Hanya saja—saat “dibahas” dalam tim kecil Musara Gayo sebulan sebelumnya, saya sampaikan bahwa orang Gayo sudah jauh ketinggalan. Harusnya, “blue print” politik masyarakat Gayo, khususnya di tingkat nasional sudah disusun sejak eranya Muhammad Hasan Gayo. Beliau adalah imigran pertama Gayo ke Jakarta. Juga, politisi nasional pertama Gayo yang cukup diperhitungkan di eranya Soekarno-Hatta. Saat itu, beliau sempat menjadi anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI. Dalam rujukan lain, disebutkan pula bahwa M. Hasan Gayo ikut menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Terkait Gayo, beliau sudah banyak berbuat untuk Gayo baik di Jakarta maupun untuk tanoh tembuni. Yang lebih penting lagi, beliau tidak ber-urang-urang. Menurut saya, beliau lah sesungguhnya Bapak Gayo.
Alhasil, orang Gayo tinggal menikmati hasilnya, kini. Kenyataannya, orang Gayo mesti melangkah dari awal. Barangkali, M. Hasan Gayo pun susah meregenerasikan masalah ini. Karena, kompeksitas permasalahan di internal orang Gayo itu sendiri.
Besijujangjangkon
Sebetulnya, konsep kaderisasi dan regenerasi dalam masyarakat Gayo sudah tergambar dalam istilah jujang (mendorong ke tempat yang tinggi) dan jangko (menarik ke tempat yang tinggi). Sayangnya, filosofi yang dikandunginya tidak lagi terkaji. Bahkan, tidak tertransmisikan kepada masyarakat Gayo. Terlebih lagi, kepada generasi mudanya. Akibatnya, berpengaruh pula pada stagnannya kaderisasi sekaligus regenerasi orang Gayo. Lebih-lebih, di partai politik di tingkat nasional. Sejauh ini (sepengetahuan saya), jabatan partai tertinggi yang diduduki orang Gayo adalah Wakil Bendahara di Dewan Pimpinan Pusat (DPP). Selebihnya, kemungkinan hanya anggota biasa. Itupun dalam hitungan jari.
Persoalannya, apakah jujang-jangko atau besijujangjangkon tersebut masih berjalan dalam masyarakat Gayo? Lebih dari itu, jadi semacam otokritik bagi masyarakat Gayo sendiri. Dalam hal ini, saya mau menghubungkannya dengan sistem nilai budaya Gayo. Dua diantaranya adalah setie (setia) dan alang tulung (tolong menolong) Melalatoa dalam al-Gayoni (2012: 3-5). Dalam konteks politik, apakah orang Gayo sudah setie dan ber-alang tulung?
Kalau nilai budaya itu dipraktikkan, pastinya, sudah 6 (minimal) orang Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Aceh yang duduk mewakili Kabupaten Aceh Tengah dan Kabupaten Bener Meriah. Syukurnya, masih ada perwakilan dari Gayo Lues yang duduk di DPRA. Kemudian, ada 4 orang (minimal) perwakilan Gayo yang duduk di DPR RI. Terakhir, satu atau dua orang Gayo bisa jadi Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI “Senator” asal Aceh di Senayan. Bahkan, dalam Pemilu Kada Gubernur dan Wakil Gubernur kemarin (2012), kemungkinan besar orang Gayo akan jadi Wakil Gubernur pertama dari orang Gayo melalui Nova Iriansyah (Anggota DPR RI dari Daerah Pemilihan I—bukan Daerah Pemilihan II yang notabene didiami orang Gayo).
Nyatanya, kedua nilai itu kurang berjalan. Dengan kata lain, orang Gayo pada umumnya kurang setie dan ber-alang tulung dalam konteks politik. Lebih khusus, untuk kepentingan yang lebih besar dan berjangka panjang. Pasalnya (secara umum), filosofi kekolektifan orang Gayo itu tidak 1000 untuk 1, tapi 1 untuk 1000. Akan di sini merujuk kepada jumlah orang. Akibatnya, yang 1 orang akan mu dodoh dan bisa-bisa mati dalam mu jujang yang 1000 orang. Pastinya, resam-resam “warna budaya” seperti itu mesti dibenahi pada masa-masa mendatang. Sehingga, orang Gayo bisa berakselerasi dan melakukan lompatan-lompatan.
Belakangan, orang Gayo juga cenderung single fighter dalam berjuang. Demikian halnya dalam berpolitik. Bahkan, ada anggapan bahwa orang Gayo kurang berhasil kalau berada dalam komunitasnya sendiri. Namun, anggapan dan tesis seperti itu tidak bisa jadi pembenaran. Dan, berbahaya kalau dibiarkan. Sebaliknya, kekurangan-kerungan yang ada mesti diperbaiki dengan pelbagai pendekatan; melalui bahasa, budaya, pemberdayaan, dan lain-lain. Hasilnya, akan bermuara pada memajuan Gayo.
Egaliter
Pilihan dan keputusan politik memang menjadi hak dasar setiap orang Gayo. Dalam arti, tidak bisa dipaksakan. Termasuk, orang-orang yang tidak menyalurkan hak politiknya “golput.” Namun—dari sisi ke depan—masyarakat Gayo harus lebih bijak dalam menyikapi persoalan ini. Apalagi, dari politisi, elite partai, bupati yang membinai partai, elemen sipil, dan masyarakat di arus bawah itu sendiri. Dengan kata lain, mesti dilihat kepentingan yang lebih besar, berjangka panjang, dan berdampak luas bagi kemaslahatan orang Gayo.
Di sisi lain, masyarakat Gayo dikenal sebagai masyarakat yang egaliter. Persoalan calon dan pilihannya “betul-betul dipertimbangkan.” Orang Gayo tidak akan serta merta memilih jika track record-nya tidak baik. Termasuk, dari orang Gayo sendiri. Kemudian, orang Gayo juga tidak mengkultuskan tokoh. Dalam kearifan verbal mereka dikenal bahwa anak ni Reje mujadi kude, anak ni Tengku mujadi asu (anak Raja bisa jadi kuda, anak Tengku bisa jadi anjing). Dengan makna lain, keagungan nama, keluhuran sifat, kedalaman ilmu, keluasan pengalaman, keredandahhatian, dan keberhasilan orang tua belum tentu diwarisi anaknya. Singkatnya, keberhasilan seorang anak ditentukan oleh anak itu sendiri.
Dalam lingkungan yang luas, mereka memandang sama baik masyarakat biasa maupun yang berkedudukan/status sosial yang lebih tinggi. Termasuk, pemimpin mereka sendiri yang diamanahi jabatan untuk sementara waktu. Mereka menganggap perbedaan mereka ada pada ketaqwaan mereka kepada Tuhan. Prihal partai politik, orang Gayo belum tentu menaati garis komando partai dalam memilih calon tertentu. Keputusan partai mendukung, tapi hati pengurusnya tidak ada yang tahu. Mereka masih menggunakan akal sehat, menakar hati, dan objektif dalam memilih. Pun dalam perkembangan kekinian masyarakat Gayo, politik uang dan politik barang turut memengaruhi persepsi, sikap, dan pilihan politik mereka. Persoalan ini pun “politik urang dan barang” mesti jadi prioritas pembenahan. Karena, tidak sehat terhadap kehidupan sosial-bermasyarakat dan pertumbuhkembangan demokrasi di tingkatan lokal.
Peluang?
Seperti disebutkan, orang Gayo mesti lebih bijak dan melihat kepentingan yang lebih besar, jangka panjang, dan berdampak luas bagi kemajuan orang Gayo. Akan tetapi, dukungan budaya mesti dibangun. Dengan pertanyaan lain, apakah budaya Gayo sudah mendukung orang Gayo untuk berhasil berpolitik? Dengan begitu, orang Gayo “akan berhasil” dalam berpolitik. Pada akhirnya, proses kaderisasi dan regenerasi pun bisa berjalan dengan baik dan lancar (gere mate pucuk). Berbicara peluang, semua orang berpeluang. Termasuk, orang Gayo. Kalau dilihat secara kuantitatif, memang agak sulit. Karena, jumlah orang Gayo se-Jabodetabek hanya 10.000 orang. Akan tetapi, tidak ada yang tidak mungkin. Tidak ada yang berat, selama orang Gayo ber-alang tulung dan setie.
Tinggal lagi, masyarakat Gayo di Jakarta mesti melihat tingkat popularitas, akseptabilitas (keberterimaan), dan elektabilitas (keterpilihan) calon yang mau diusung (i timang beret, i juel mu rege). Demikian halnya, di daerah-daerah nongayo lain. Misalnya, Banda Aceh, Langsa, Lhokseumawe, Tamiang, Medan, dan lain-lain (kalau ada wacana yang sama). Kalau sudah ada ketetapan, maka orang Gayo harus bersatu-padu untuk mendukung dan mendudukkan pilihannya “ke nge i lagang, turah i lepih.” Sebaliknya, tidak meling palu, colok bengkon, dan besisengkeliten.
Lagi-lagi, orang Gayo mesti melihat kepentingan yang lebih besar. Juga, menanggalkan kepentingan pribadi, keluarga, belah (klan), urang-urang (paruh masyarakat), dan demografis kegayoan (Lut, Deret, Lues, Lokop, Tamiang, Alas, dan Lhok Gayo).Terakhir, orang Gayo mesti bergerak cepat (tir-tir turah selamat, arih-arih keta taring ni jema).(algayonie[at]yahoo.com)
*Wakil Ketua DPD KNPI Kabupaten Aceh Tengah 2007-sekarang