Oleh Yusra Habib Abdul Gani *)
ISTILAH “Umah Silang”, pada awalnya tidak ada hubungan sama sekali dengan kehidupan bernegara. Maka orang tidak pernah berpikir untuk me-modifikasi-kan sebagai suatu konsep adminsitrasi modern. Dalam skala nasional, mungkin saja pemikiran ini sulit dicerna dan diterima, akan tetapi boleh dimulai di tingkat daerah, khususunya di empat Kabupaten: Aceh Tengah, Bener Merie, Aceh Tenggara dan Gayo Luwes, karena istilah “Umah Silang” hanya dikenal di kalangan masyarakat Gayo.
Dalam perjalanan sejarah budaya Gayo, “Umah Silang” dikenal sebagai halte atau tempat persinggahan {rumah} yang digunakan untuk persiapan terakhir, sebelum calon pengantin lelaki memasuki rumah calon pengantin perempuan. Rombongan calon pengantin lelaki diharuskan singgah di “Umah Silang, yang letaknya tidak begitu jauh dari rumah calon pengantin wanita.
Di situ calon pengantin lelaki diperiksa: mulai dari kerapian pakaian, sisir rambut, kopiah jangan miring, melangkah perlahan dan sedikit menunduk, tidak mengayun tangan sebab diapit, adab duduk saat berhadapan dengan juru nikah, sampai kepada menanamkan semangat juang agar tidak gemetar, diuji ulang kemahiran melafazkan bunyi aqad nikah oleh team penguji: Imem atau pendamping untuk terakhir kalinya. Sementara itu, mediator (telangké) memasuki kawasan berdaulat calon pengantin wanita dan bertanya: ‘sudahkah diperkenankan masuk?’ untuk dilangsungkan aqad nikah. Setelah menerima aba-aba, barulah calon pengantin yang diselimuti ôpôh Ulen-ulen berjalan di lini paling depan bersama pendamping dan pengiring di belakang membunyikan canang sebagai simbol komando “…kami datang bertandang dan sambutlah.” Doá selamat dan selawat bergema mengiringi “raja sehari” itu dengan harapan selamat meduduki ampang berukir Kerawang Gayo. Dalam adat-istiadat Gayo, pengantin dan rombongan tidak dibenarkan masuk nyelonong ke dalam rumah calon pengantin wanita sebelum jeda di “Umah Silang”.
Peranan “Umah Silang”, bukan hanya sekedar seperti diutarakan, tetapi lebih jauh dari itu: jika sekiranya tersendat-sendat atau bahkan tidak mampu secara fasih melafazkan aqad nikah (kokeuensinya tidak sah), maka calon pengantin lelaki diungsikan untuk ditatar kembali dan membekali dengan semangat baru yang dilakukan, tidak di rumah calon pengantin wanita, melainkan di “Umah Silang, agar tidak merasa ‘aib di mata umum, terutama calon mertua. Cara pandang masyarakat kita menghadapi masalah, ternyata sangat matang, yang sejak awal sudah memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan buruk yang akan terjadi, menyediakan mediator, upaya penyelesaian dan fasilitasnya. Inilah konsep”Umah Silang”!
Dalam konteks bernegara, “Umah Silang” (Lembaga”Umah Silang”), agaknya bisa diterapkan sebagai suatu konsep untuk menjalankan roda administrasi modern yang berfungsi sebagai laboratorium pemerintah yang berperan untuk mengkaji dan merumuskan blue print pembangunan dalam pelbagai bidang, termasuk: menyimpan data tentang: dekumentasi semua harta kekayaan daerah; … jumlah pendapatan yang berasal dari pemerintah pusat dan pendapatan daerah; … keuntungan dan kerugian daerah; … serapan dana; … sisa anggaran; … konsep pembangunan infrastruktur fisik dan sosial budaya; … proyek yang masih terkendala dan sebab-sebabnya; … kemajuan yang dicapai dan strateginya; … lokasi yang berpotensi untuk pertumbuhan dan percepatan kemajuan ekonomi; … kualitas abdi negara; … statstik jumlah penduduk miskin dan cara penanggulangannya; … konsep mengamankan keuangan; … program dan kasus-kasus yang belum sempat diselesaikan oleh anggota Dewan; … standard penilaian Dewan (lembaga legislatif) kepada lembaga eksekutif; … program keamanan dan ketertiban; … kuota tenaga Polisi dan militer yang diperlukan; …statistik tentang kenaikan dan penurunan kadar pendapatan daerah, dll.
Di lembaga “Umah Silang” inilah semua urusan administrasi daerah disimpan dan dirumuskan, termasuk berkas pertanggung-jawaban pejabat lama yang akan dilimpahkan kepada pejabat baru. Di sini penguasa daerah yang baru ditatar dan diasuh lebih dahulu secara intensif oleh “Imem dan pendamping calon Aman Mayak” sebelum melakukan tugas.
Logikanya ialah: banyak “Aman Mayak” (pengantin lelaki) [baca: penguasa sipil dan militer daerah] yang tidak menerima pendidikan pelimpahan kuasa di “Umah Silang” dan terus masuk neyelonong seenaknya ke “Pendopo”, Meulogoë, Kantor Bupati, Polres, Danres, Pengadilan, gedung Dewan Perwaklian Rakyat, dll; tanpa terlebih dahulu diperkenalkan ragam masalah bernegara yang akan dikerjakan sebagaimana diutarakan tadi; termasuk tidak diberitahu: yang mana tanah milik Pemda, tanah negara, tanah Ulayat, tanah Waqaf dan tanah Warisan dll. Akibatnya, penguasa daerah yang baru nampak seperti “rusa masuk kampung”, yang tidak mengenal dan menguasai lapangan kerja dan tidak tahu apa yang harus dilakukan. Untuk mengelak dari tanggungjawab, “Aman Mayak” ini sering minggat tanpa setahu rakyat, dengan dalih mencari investor asing,dll. Dia bebas menentukan kebijakan sendiri, tanpa ada kontrak kerja yang mesti dilakukan. Kontrak politik hanya memposisikan penguasa daerah sebagai robot yang digerakkan oleh sistem rutinitas administrasi negara yang tidak terlalu menguras nalar, kebijakan dan kearifan. Jadi sangatlah wajar kalau banyak “Aman Mayak” hanya bisa merebahkan “Inen Mayak” di atas ranjang [artinya: memberi mampu memberi arahan atau perintah kepada bawahan tanpa perencanaan yang matang), sementara buta politik untuk membangun suatu masyarakat madani yang berteraskan pemikiran administrasi modern. Lebih tragis lagi ialah: baik lembaga legislatif dan eksekutif tidak mempunyai konsep dasar membangun daerah. Yang berarti, tidak ada barometer untuk menguji atau menilai kegagalan dan keberhasilan kinerja masing-masing. Mereka setali tiga uang!
Kalimat: “kerapian pakaian” dalam konsep “Umah Silang” adalah simbul dari orang yang bersih dan tidak tercela dalam masyarakat; … “sisir rambut” adalah simbul dari kedewasaan; … “kopiah jangan miring” adalah simbul dari amanah dan penguasa yang wajib jurur dan berlaku adil; … “melangkah perlahan dan sedikit menunduk” adalah simbul dari tidak arogan dan sombong; … “tidak mengayun tangan sebab diapit” adalah simbul dari penguasa yang tidak boleh berdiri sendiri, mesti selalu didampingi, siap dinasehati, dikontrol dan tidak seenak jidatnya bertindak dan menentukan kebijakan; … “adab duduk saat berhadapan dengan juru nikah”, adalah simbul dari tahu diri, moral dan bertugas atas dasar sumpah jabatan yang bertanggungjawab kepada Allah dan rakyat. Konsep “Umah Silang” ini diselami dari kedalaman lautan falsafah Gayo dan keberanian meng-interpretasi-kan kedalam kondisi yang lebih real dalam konsep bernegara.
Memandangkan peranan Imem dan pendamping dalam “Umah Silang” begitu penting, maka kalimat: “Imem dan pendamping” mesti ditafsirkan sebagai para pakar dan pemikir dari pelbagai disiplin: ilmu agama, pemerintahan, tehnik informasi, pengolahan data, peneliti, sosial budaya, poltik, ekonomi, hukum dan perundang-undangan serta militer, yang pantas duduk dan bertugas dalam lembaga “Umah Silang”. “Imem dan pendamping” dimaksud, bisa direkrut dari pegawai pemerintah atau pakar yang bekerja independen.
Sebelum ini keberadaan “Umah Silang” kurang menjadi objek perhatian dan sekarang baru tahu dan sadar bahwa kita sebenarnya, memiliki khazanah budaya yang sangat brillian, hanya saja masih ada sahabat yang tidak mengerti akan arti falsafah, yang akan menjelma menjadi suatu kenyataan nanti, karena terkadang banyak nilai-nilai budaya yang masih belum nampak dan tidak berpikir kalau suatu saat, ianya akan menjadi suatu kekuatan dalam peradaban kita. (Serambi Indonesia)
*) Penulis adalah Director Institute for Ethnics Civilization Research