Seorang pemuda bernama Sahudin. Jika dilihat tampangnya, terlihat agak ganteng, tapi dia sedikit kurang cerdas. Sahudin seorang bujang yang ingin menikah. Ia pun menyampaikan niat itu pada bibinya, kemudian bibinya ini yang akan menjadi perpanjangan lidah Sahudin pada orangtuanya.
Dipilihlah seorang gadis untuk Sahudin. Setelah acara pelamaran, pesta pun digelar. Semuanya terjadi serba cepat. Si gadis langsung mengiyakan lamaran karena melihat tampang Sahudin yang lumayan. Setelah menikah, barulah terlihat perlahan. Awalnya Sahudin tidak punya pekerjaan, semuanya hanya berharap dari belas kasih mertuanya, karena memang dia tinggal di rumah istri. Sampai sekian lama belum juga ada mata pencaharian Sahudin. Si istri mulai berbadan dua. Mertua juga mulai lelah melihat keadaan menantunya. Adanya hanya duduk-duduk di rumah setiap hari, bermain dengan istrinya, begitu setiap harinya.
Telah sampai masa, si istri melahirkan seorang anak perempuan. Sahudin belum menunjukkan perubahan apa pun. Ada satu hal sifatnya yang sangat menonjol, yaitu ‘lupa’. Sahudin sangat pelupa sehingga setiap dia dimarahi oleh mertuanya, dia cuek saja karena saat itu juga dia bisa lupa.
Suatu hari, mertuanya meminta Sahudin membeli perlengkapan bersalin untuk istrinya dan untuk perlengkapan anaknya. Hal yang perlu dibeli itu bedak, tampal, popok anak. Dengan cepat Sahudin berangkat, tapi sampai di jalan dia bahkan tidak mengingat apa pun yang di perintahkan oleh mertuanya. Akhirnya, Sahudin kembali lagi ke rumah dan bertanya pada mertuanya.
“Mak, tadi saya di suruh membeli apa?” tanya Sahudin pada mertuanya.
“Bedak, tampal, popok,” jawab mertuanya dengan baik.
Dengan begitu, Sahudin sudah tahu apa yang hendak dia beli. Namun, sekarang berbeda, Sahudin mencoba menyanyikan pesanan mertuanya agar dia tidak lupa lagi. “Bedak, tampal, popok anak….., bedak tampal popok anak…,” begitu terus menerus mulai dari pintu rumah. Namun, ternyata tidak tertahan lama, sesampainya di halaman, kaki Sahudin tersandung oleh bongkahan batu hingga membuat nyeri di kakinya. Nyanyian Sahudin pun terhenti, dia mengaduh sesaat merasai nyeri di kakinya. Setelah nyeri hilang, dia lupa lagi apa yang hendak dikerjakannya tadi. Mengingat-ingat sesaat, tapi tidak juga menemukan jawabnya. Terpaksa dia pulang lagi dan bertanya pada mertuanya.
“Mak, tadi saya disuruh membeli apa?” tanya Sahudin.
“Bedak, tampal, popok,” jawab dengan baik lagi oleh mertuanya.
Sahudin pergi lagi dengan bernyanyi, dia terus melewati pintu pagar hingga menelusuri jalan, masih saja terus bernyanyi dan bernyanyi. Nyanyiannya pun tetap sama dan dengan irama yang sama pula. “Bedak, tampal, popok anak….., bedak tampal popok anak…,” begitu terus menerus.
Ketika menelusuri sepanjang jalan menuju pasar, Sahudin bertemu dengan kawannya, kawannya menegur. “Hendak kemana, Din?” Bagaimanapun dia harus menjawab, tidak mungkin tidak. “O, mau ke pasar sebentar,” jawabnya singkat. Temannya bertanya lagi, “Ngapain?” medengar pertanyaan itu Sahudin memikirkan jawabannya, ternyata dia lupa lagi. Dia bahkan tidak tahu ngapain dia ke Pasar.
Sahudin kembali lagi ke rumah, hendak bertanya lagi pada emak mertuanya, atas tujuan apa dia di suruh ke pasar. “Mak, tadi saya di suruh membeli apa?” “Bedak, tampal, popok,” jawab mertuanya geram dan penuh amarah oleh. “O, iya!“ jawab Sahudin dengan entengnya. Lagi-lagi dia menelusuri jalan dengan nyanyian khasnya. Sambil berjalan dia mencoba menutup telinga dan memicing-micingkan mata agar tidak ada satu orang pun yang menegurnya. Selain itu, agar dia tidak ada keinginan pula untuk menegur orang lain. Ternyata ini adalah usaha terakir Sahudin, akhirnya dia berhasil membawa pesanan mertuanya.
Setelah itu, Sahudin tidak ada kegiatan lagi, tidak ada pula pekerjaannya. Lagi-lagi dia duduk-duduk di rumah mendampingi anak dan istrinya sambil bermain-main. Padahal, itu pantang dilakukan oleh seorang suami di Gayo. Melihat keadaan itu, ibunya geram dan marah. “Hey, Aman Nipak, tidak perlu terus-terusan di jaga anak dan istrimu di persalinan, atau kamu juga ingin bersalin? Dengar ya, kalau memang tidak punya kerjaan, pergi cari bibit, tanami tanah lapang dan tanah yang rata itu,” Begitulah amarah mertuanya, ternyata cukup menggairahkan ingatannya.
Segeralah Sahudin pergi ke pasar membeli bibit jagung. Setelah itu, dia membawa berbagai peralatan menanam ke lapangan umum dan menanami jagung di sana. Orang-orang terkejut dan sontak bertanya, “ Sahudin, kenapa lapangan ini ditanami jagung?” Dengan simple Sahudin menjawab, “disuruh oleh mertuaku.”
Pernyataan semacam itu membuat orang-orang lebih terkejut lagi. Lebih-lebih ketika melihat Sahudin juga menanami jagung di jalan-jalan setapak, karena menurutnya itu tanah yang rata yang di sebutkan oleh mertuanya.
Mengetahui itu, mertua Sahudin marah besar. ‘’Dasar menantu bodoh, tidak becus apa-apa.’’ semua ucapan pun terlontar dari mulut mertuanya. Sahudin merasa bersalah dan akhirnya dia diam-diam saja. Melihat keadaan itu, mertuanya menjadi merasa tidak enak. Untuk memecahkan suasana tidak enak ini mertuanya meminta Sahudin untuk membeli garam. “Aman Nipak, tolong belikan garam untuk pakis dan talas.” Dengan perintah itu Sahudin kembali merasa dihargai lagi.
Dengan penuh semangat dia pergi membeli garam. Sesampai di pasar Sahudin membeli garam. Sepulang dari pasar, Sahudin kembali menelusuri jalan yang biasa. Di sepanjang jalan ada pakis dan talas yang tumbuh berjejer, karena merasa ingin membantu mertuanya dia langsung menaburkan garam pada talas dan pakis di sepanjang jalan. Al-hasil sesampai di rumah garam tinggal sedikit. Ibu mertuanya bertanya lagi, “Aman Nipak, kenapa garamnya tinggal sedikit?” dengan bangga Sahudin menjawab, Mak, tadi emak katakan garamnya untuk talas dan pakis. Nah, ketika pulang tadi, aku langsung memberi garam pada talas dan pakis, agar Emak tidak capek-capek lagi.” Mendengar jawaban itu, mertuanya hanya bisa mengelus dada. **
Diceritakan ulang oleh Rismawati, asal Blangkejeren, Gayo Lues