Benjamin Franklin dan Hasan Tiro, Pelajaran Untuk Gayo

Catatan Win WanNur*

SEBUAH berita membanggakan sekaligus mengharukan kita baca di media Lintas Gayo pada tanggal 28-oktober kemarin “GAM-Pribumi Tolak Diskriminasi Suku Minoritas“. Bertepatan dengan hari Sumpah Pemuda, sekelompok pemuda Gayo bersama pemuda-pemuda dari etnis minoritas lain melakukan protes kepada pemerintah Aceh, menuntut perlakuan yang setara bagi semua etnis yang ada di provinsi ini. Membanggakan menyaksikan bagaimana para pemuda ini menuntut hak yang paling dasar sebagai manusia.

Tapi karena sepertinya pemerintah Aceh banyak terinspirasi oleh Malaysia. Negara yang secara resmi memberikan hak istimewa kepada kaum mayoritas, tempat di mana banyak pemikir Aceh menamatkan studinya. Disamping itu, konsolidasi dan rekonsiliasi juga kelihatannya bukan merupakan prioritas kebijakan pemerintah Aceh sekarang.

Bisa dipastikan protes kelompok minoritas seperti ini tak akan dianggap cukup penting untuk dipedulikan oleh pemerintah Aceh yang saat ini berkuasa. Sehingga, bukan tidak mungkin protes ini nantinya akan kembali berujung kepada gerakan pemisahan provinsi, sebagaimana dulu sempat menggelora.Memang benar pemerintah Indonesia pernah mengatakan akan menghentikan pemekaran wilayah, tapi dalam dunia perpolitikan Indonesia, semua bisa berubah dengan cepat. Buktinya meskipun katanya pemekaran wilayah sudah dihentikan, tapi beberapa hari yang lalu kita mendengar terbentuknya provinsi baru bernama Kalimantan Utara. Jadi bukan tidak mungkin gerakan ini nantinya akan berhasil dan Gayo pun akan menjadi mayoritas diantara kaum minoritas lainnya.

Kalau ini nanti terjadi, harap dipahami, kalau dalam perjuangan seperti ini, idealisme biasanya berkobar demikian dahsyat saat proses perjuangan sedang berlangsung, tapi ceritanya langsung cepat berubah begitu kemenangan sudah di tangan, ketika uang dan kekuasaan sudah dalam genggaman. Karena itulah, sebelum jauh melangkah dan mulai berjuang. Gayo yang akan menjadi mayoritas seandainya provinsi baru ini terbentuk nanti, perlu bercermin pada kisah dua tokoh sejarah berikut ini.

Pertama Benjamin Franklin, salah seorang tokoh utama dalam gerakan perjuangan Amerika dalam memerdekakan diri dari penjajahan Inggris.

Kisah merdekanya Amerika, diawali dari perang antara Inggris dibantu oleh warga kulit putih Amerika melawan Perancis yang dibantu kaum Indian. Perang tersebut dimenangkan oleh Inggris yang dibantu oleh warga Amerika yang saat itu menjadi koloni Inggris. Dalam perang tersebut, Benjamin Franklin adalah salah seorang pahlawan yang sangat besar jasanya. Atas jasa-jasanya tersebut Ben Franklin diundang ke Inggris dan anaknya yang bernama William Franklin yang juga ikut berperang melawan Perancis waktu itu diberikan beasiswa untuk kuliah di Inggris. Belakangan William diangkat oleh pemerintah Inggris menjadi gubernur New Jersey.

Tapi karena biaya perang yang dimenangkan oleh Inggris ini sangat mahal, Inggris kemudian membuat kebijakan menaikkan pajak di Amerika yang merupakan daerah koloni mereka. Dan ini tentu memberatkan warga Amerika. Benjamin Franklin yang warga Amerika protes keras, tapi protesnya dengan arogan diabaikan oleh Inggris. Akhirnya ketika ketegangan memuncak pecahlah perang antara Inggris dan Amerika. Ben Franklin kali ini berada di posisi Amerika. Ben menggalang dukungan dan mencari dana untuk perjuangan ini. Di saat Amerika hampir kalah, Ben yang ditugaskan mencari dukungan d eropa berhasil membujuk Perancis membantu Amerika melawan Inggris. Dan hasilnya sebagaimana kita ketahui bersama, akibat arogansi Inggris, teman menjadi lawan dan Amerika pun merdeka atas bantuan Perancis.

Di Indonesia, kisah yang mirip kejadian di atas terjadi di Aceh dengan tokoh bernama Hasan Tiro. Hasan Tiro adalah seorang pemuda cerdas asal Aceh yang dulunya sangat antusias mendukung kemerdekaan Indonesia. Bahkan di sebuah kisah dikatakan bahwa Hasan Tiro lah yang pertama kali mengibarkan merah putih di Pidie. Sama seperti kisah Ben Franklin, ketika Indonesia memenangkan perang dengan Belanda. Aceh yang dulu banyak sekali jasanya pada masa perang mulai diabaikan dan protes atas keadaan itu ditanggapi dengan arogan. Hasan Tiro yang saat itu disekolahkan oleh pemerintah Indonesia di Amerika tidak senang, menulis surat pada Soekarno. Tapi bukannya ditanggapi dengan dingin, malah Hasan Tiro dijadikan buronan. Lalu Hasan Tiro pun meresponnya dengan membangun perlawanan. Pada tahun 1976 ketika kekuasaan sudah beralih ke tangan Soeharto, Hasan Tiro mendirikan Gerakan Aceh Merdeka yang menjadi duri dalam daging bagi pemerintah Indonesia yang perlawanannya baru bisa dihentikan pasca tsunami yang menerjang aceh, dengan cara memberikan banyak konsesi kepada Aceh. Sekali lagi kita lihat, bagaimana seorang kawan yang baik berubah menjadi lawan yang merepotkan ketika, kekuasaan dan uang membuat orang menjadi arogan.

Karena itulah kisah kedua tokoh sejarah ini dapat kiranya menjadi pelajaran bagi Gayo yang sekarang sedang berjuang bersama etnis-etnis minoritas lain untuk mendapat keadilan dan perlakuan setara. Jangan nanti kalau perjuangan ini sudah berhasil dan Gayo menjadi mayoritas di antara para minoritas, kemudian di tengah euphoria kemenangan orang Gayo lupa, lalu bersikap arogan sebagaimana yang telah ditunjukkan oleh Inggris dan Indonesia. Kemudian mulai memandang rendah dan menganggap remeh jasa-jasa kelompok lain yang sebelumnya berjuang bersama-sama. Hilangkan dendam, jangan pula kalau sudah berhasil, orang-orang suku Aceh yang ada di provinsi baru ini malah dimusuhi. Itu namanya cari perkara, sebab bisa jadi mereka sendiri adalah kelompok yang tertekan di daerahnya sendiri. Untuk daerah yang baru lepas dari tekanan, yang dibutuhkan adalah kebesaran hati dan melupakan dendam. Dalam hal ini, apa yang dilakukan Nelson Mandela di Afrika Selatan harus dijadikan teladan.

Jangan terpukau dengan Malaysia dan terinspirasi meniru konstitusi negara itu yang memberikan hak istimewa kepada etnis mayoritas. Jangan sampai muncul IDE TOLOL semacam menjadikan bahasa Gayo sebagai bahasa utama di antara bahasa-bahasa lain yang ada, dan membuat aturan yang menyatakan bahwa hanya orang-orang yang bisa berbahasa Gayo dengan baik dan fasih yang bisa menjadi wali di provinsi baru nanti. Dan jangan pula kalau nanti provinsi baru ini mengikuti PON, Gayo dengan arogan mengutamakan atlet Gayo sendiri dan mengabaikan atlet dari etnis lain non Gayo yang sebenarnya lebih potensial, sehingga mereka terpaksa memperkuat Riau untuk bisa bertanding dan memperoleh medali.

Tapi yang namanya ORANG TOLOL seringkali tak bisa diprediksi kemunculannya.

Bisa saja ketika perjuangan sudah berhasil dimenangkan. Muncul wakil rakyat bersuku Gayo dari partai lokal dominan yang melecehkan keberadaan etnis-etnis lain dengan mengatakan “Orang yang tidak bisa berbahasa Gayo adalah orang tidak jelas”. Ucapan semacam itu pasti akan membuat marah etnis-etnis lain yang ikut berjuang. Jadi kalau ini terjadi jangan salahkan kalau ini terjadi nantinya etnis-etnis lain akan menyebut GAYO RASIS. Ucapan-ucapan normatif semacam “itu cuma oknum, tidak semua orang Gayo seperti itu, jadi jangan digeneralisir”, atau “saya bukan tokoh jadi tidak bisa berbuat apa-apa tidak akan ada gunanya”, “Kita ini satu, jangan karena ulah satu orang kita jadi terpecah”, bisa dipastikan tidak akan bisa mengobati sakit hati kelompok etnis minoritas yang merasa dilecehkan. Jadi kalau nantinya perjuangan sudah berhasil dan orang tolol seperti ini muncul entah darimana. Maka para aktivis Gayo yang sekarang berjuang bersama-sama dengan teman-teman dari etnis-etnis minoritas lain berama rakyat Gayo lah, yang harus berdiri di depan untuk melemparkan kotoran ke wajah si tolol yang telah mempermalukan nama Gayo itu.

Sebab kalau tidak, itu sama saja artinya Gayo sedang mengundang kehadiran sosok seperti Ben Franklin dan Hasan Tiro. Karena percayalah, diantara ratusan orang pasti ada satu atau dua orang yang bukan termasuk kelompok oportunis, di antara ribuan orang pasti ada satu dua orang yang tidak peduli dengan tawaran jabatan dan uang, yang akan berdiri di depan membela kaumnya saat mereka dihina. Kehadiran orang yang tidak bisa dibeli seperti ini, tidak bisa tidak, pasti hanya akan merusak hasil perjuangan yang didapat dengan susah payah.

Selamat berjuang…

Wassalam

*PengamatĀ  Politik, Sosial Budaya, tinggal di Jakarta

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.