SAYA berbisik pada teman di samping saya, ‘apa kamu tidak bosan dengan permasalahan Qanun Wali Nanggroe ini?’ jawabannya ‘tentu saja saya bosan, tapi karena ini menyangkut Gayo ya saya harus tetap mengikuti’, saya juga merasa demikian, jika bukan karena Gayo saya lebih baik duduk dari jauh menertawakan Qanun yang isinya hanya lelucon. Sabtu 10 Nopember 2012 acara diskusi menyoal Qanun Lembaga Wali Nanggroe (QLWN) dengan tema Dialog Terbuka dan Diskusi Publik Mengupas Tabir Lembaga Wali Nanggroe. Acara yang diprakarsai lembaga Gayo Merdeka ini dihadiri beberapa tokoh publik, Dosen, Mantan GAM, Anggota DPRA dan DPRK serta masyarakat dan mahasiswa dari berbagai suku di provinsi Aceh.
Setiap tokoh yang berbicara, menyuarakan pendapatnya tentang QLWN sesuai dengan bidang ilmu masing-masing, tapi dari semua bidang ilmu tersebut saya menyimpulkan bahwa Wali Nanggroe bukan sebuah kewajiban, Hasan Tiro menginginkan Wali Nanggroe sebagai lembaga pemersatu Aceh bukan pemecah belah seperti yang terjadi saat ini, kata salah seorang peserta diskusi. QLWN bisa jadi dicetuskan dengan tujuan yang mulia, akan tetapi perumusan yang tidak difikirkan secara matang hanya menyebabkan masalah yang tidak berujung.
Gayo Merdeka adalah lembaga yang pertama turun ke jalan untuk menolak QLWN jika klausul bahasa dan keturunan Aceh dalam isi qanun tidak diperjelas, karena hal itu terkesan rasis dan melupakan keberagaman yang ada di provinsi Aceh.
FPI dan masyarakat Aceh juga kemudian ikut memprotes QLWN yang tidak mensyaratkan tes baca Al-Qur’an dalam pemilihan orang yang akan menjadi pejabat Wali Nanggroe. Sebagian mereka berkata ‘kita serambi mekah, jangan jadi yahudi’.
Secara berturut-turut protes juga disampaikan salah satu stasiun TV swasta yang menganggap QLWN bertentangan dengan undang-undang, keberadaan QLWN juga dipertanyakan oleh masyarakat luar Aceh, bagaimana mungkin Aceh yang masih Indonesia bisa mengesahkan qanun yang melawan undang-undang Indonesia.
Seperti layaknya bola salju, permasalahan-permasalahan tentang qanun yang menjadi syarat perdamaian itu terus saja bergulir dan membesar. Sebuah pertanyaan muncul malam itu apakah dengan segudang masalah yang ada QLWN harus terus di realisasikan? Apa sebenarnya manfaat dari QLWN, bukankah cita-cita awal qanun itu untuk mempersatukan? Jika sekarang qanun itu ternyata memecah belah, bagaimana?
Belum lagi ketika diingatkan oleh salah seorang pemateri malam itu, bahwa pembentukan QLWN tidak hanya membutuhkan seorang Wali Nanggroe, melainkan akan ada juga struktur organisasi yang sangat besar dibawah pimpinan wali dan tentu saja mereka akan di gaji dengan APBD. Tidakkah lebih baik jika dana itu dipakai untuk pembangunan Aceh yang masih timpang dan carut marut ini? Pembangunan di Aceh Barat Daya dan Tengah Tenggara masih sangat tertinggal dibanding daerah lain kata seorang pemuda yang mengaku dari barat daya.
Jelas sekali banyak masalah dalam QLWN, sehingga qanun itu tampak menjadi prodak ‘aneh’ dari DPRA, tampaknya rakyat Aceh harus bersatu untuk memperbaiki kesalahan ini. Khusus menyikapi permasalahan klausul bahasa yang menyebabkan suku-suku minoritas di Aceh merasa tersisihkan, saya berfikir itu adalah permasalahan yang akan terus muncul kepermukaan selama nama provinsi kita adalah Aceh. Penyebutan nama Aceh di provinsi ini menjadi sesuatu yang mempunyai 2 makna. Pertama, Aceh sebagai provinsi (wilayah) dan yang kedua adalah suku (satu kelompok orang yang budaya dan bahasanya bernama Aceh).
Penyebutan nama Aceh oleh suku Aceh cenderung sebagai provinsi, yang berarti semua orang yang berada di provinsi Aceh. Sedangkan kata yang sama (Aceh) jika disebutkan oleh suku lain akan cenderung bermaksud sebuah suku yaitu suku Aceh. Sehingga tidak heran DPRA yang mayoritas diisi oleh orang-orang dari suku Aceh menuliskan bahasa Aceh sebagai syarat untuk dapat menjadi wali nanggroe.
Akan tetapi penulisan itu tetap multitafsir, suku-suku minoritas tetap khawatir mereka hanya boleh dipimpin tanpa boleh memimpin. Jika saja misalnya provinsi ini bernama ‘serambi mekah’ tentu syarat menjadi wali nanggroe adalah bisa berbahasa ‘serambi mekah’ yang mana di dalamnya terdapat beberapa bahasa (tinggal pilih saja salah satunya). Parahnya lagi beberapa oknum dari suku Aceh juga beranggapan bahwa Aceh yang dimaksud adalah sukunya, bukan Aceh sebagai sebuah provinsi. Sehingga bukan tidak mungkin jika nanti keluar qanun bendera maka benderanyapun akan berlambangkan rencong, sehingga suku lain tetap merasa asing. Jika nanti keluar Himne untuk wali nanggroe bisa saja Himnenya berbahasa Aceh atau mengagungkan suku Aceh dalam bait-baitnya, sehingga suku yang bukan Aceh akan kembali protes karena semakin merasa di asingkan. Entahlah?(hafizulfurqan35[at]yahoo.com)
*Putra Gayo kelahiran Tingkem Bener Meriah