HARI kedua Kuba di Takengen, (10/11/2012), datang tawaran dari Ucok (Khairul Akhyar), wartawan Waspada Bener Meriah yang akan berkunjung ke Kemukiman Samarkilang, bersama Ahmadi SE, ketua KIP Bener Meriah yang juga putra asli Samar Kilang.
Tawaran menarik ini tentu tidak bisa dibiarkan lewat begitu saja. Meski sebelumnya aku pernah berkunjung ke Samarkilang, sebelum konplik dan paska konflik. Sebagai orang yang menyukai alam bebas yang sudah kulakoni sejak lama, Samarkilang adalah kawasan yang indah, seperti halnya Pamar (Pameu) dan Lesten di pedalaman Pining, Tanah kearifan lokal.
Land Crusier hijau, menjadi angkutan menuju ke Samarkilang. Sebuah kebetulan yang mahal. Tidak pernah bermimpi menaiki mobil yang dibandrol diatas Rp1 miliar. Ahmadi Samarkilang menjadi driver mobil mewah ini.
Melewati Ibukota Kecamatan Bandar, Pondok Baru yang dahulu pernah berdiri sebuah pabrik teh yang termashur. Konon teh Redlong di zaman Belanda sangat disukai sang Ratu Belanda. Sang Ratu belum akan minum teh, sebelum teh Redlong tiba dari tanah jajahan. Salah satu teh terbaik dunia. Kini teh Redlong “dilupakan” sejarah oleh masyarakat modren yang kehilangan visi dan misi ata kekayaan daerah yang dulu dijadikan komoditi eksport karena kesesuaian lahan yang optimal untuk teh.
Politik untuk kekuasaan dan uang telah merubah tabiat dan perilaku para pejabat dan birokrat daerah yang “money oriented”. Kerusakan pola pikir yang menjadi trend dan mazhab politik, tentang fee, pembangunan dan proyek. Bahkan sebuah pagar kantor bak istana, bernilai ratusan hingga milyaran rupiah.
Janarata, Ibukota Kecamatan Bandar tumbuh pesat, seperti halnya Bireuen yang berada di persimpangan banyak Kampung dan Kecamatan Bener Meriah. Menjadi kota dagang. Percampuran berbagai ethnik.
Menjelang Weh Kanis, dulu merupakan petak empat, perusahaan PT. THL, sebuah HPH sebelum konplik, kini berubah. Tanaman kopi tumbuh subur dengan pangkas yang indah. Seperti kepala manusia botak ditengah.
Jalan terus menurun, hingga tampak aliran sungai Pepedang dan Pecampuren. Dilokasi ini pernah sepasukan Belanda yang berada dalam bivak diserang pasukan Muslimin. Bukan itu saja lokasi ini pernah juga terjadi pembantaian yang heboh dan terbesar saat konplik dengan korban sipil, puluhan nyawa melayang akibat penghadangan yang merupakan jalur utama perkebunan rakyat yang tersebar.
Konon, puluhan nyawa berserak sepanjang kawasan ini. Konplik memang menghasilkan korban jiwa dan harta serta dendam horizontal. Sementara para petinggi dan para pihak yang terlibat konplik, kini menaiki mobil Double Gardan. Rakyat?. Mengais kembali tanah harapan.
Jalan menuju Samar dari arah Wihni Kanis, ditumbuhi semak belukar. Jalan ini juga merupakan jalur utama menuju Jamur Atu. Memasuki Alur Poteh, sawah-sawah sedang menguning. Sementara dipinggir Kampung Alur Poteh, terhampar hutan pinus mercusi dan hutan tropis. Keindahan sebuah ekosistim.
Hari semakin gelap, meski jalan banyak seperti kubangan kerbau, Land Cruiser ini berjalan mulus dan tentu saja nyaman. Mobil butan Jepang ini memang tangguh. Menjelang Kampung Samarkilang, seekor harimau kecil yang disebut Kule Ilo, melintas.
“Beberepa kali menuju Samarkilang, saya sering bertemu dengan harimau”, ujar Ahmadi. Sampai di Samarkilang, hari sudah lewat Isya. Tak banyak yang bisa dilihat. Samar diterangi listrik tenaga air.
Suasana Samarkilang tampak hidup. Kenderaan keluaran terbaru terparkir di beberapa warung sembako. Paska konplik Samarkilang benar-benar berubah. Kantor Camat Syiah Utama tampak sepi, dengan bangunan metereng ratusan juta.
Saat konflik, pasukan pemerintah mengumpulkan warga Samarkilang dalam satu kawasan konsentrasi perumahan. Antar Kampung dipisahkan jalan. Sementara Kampung lama (Kampung Asal) seperti Gerpa, Goneng dan lain-lain, ditinggalkan dan terlantar. Demikian halnya kebun warga setempat. Perubahan peradaban dan cara hidup yang dihasilkan konflik. Malam Minggu, Tanggal 10 November 2012 dilewati di Samarkilang dengan irama Seset.
***
Minggu yang indah di Samar. Pagi, berjalan lambat. Di Utara Kemukiman Samar, awan turun rendah, menyapa hutan tropis yang perawan. Beberapa lelaki Samar yang bersarung melintas. Demikian kaum ibunya. Mengenakan sarung membawa sedep, alat pemotong padi. Melintas sebuah jembatan diatas sungai Samar yang keruh karena hujan.
Tidak ada rasa canggung melewati jembatan dengan kekuatan sling beralaskan papan kayu yang sebagian sudah patah dan berlubang. Bahkan warga Samar membawa kenderaan mereka ditas jembatan ini. Ala bisa karena biasa.
Di jembatan ini gambaran sosial warga Samarkilang bisa dilihat. Ada yang pulang pagi melewati jembatan setelah semalaman menjaga durian runtuh untuk dijual. Sebagian yang lain beranjak pergi ke kebun dan sawah. Ada yang mengenakan alas kaki dan ada yang tidak.
Kampung Gerpa yang tadinya merupakan sebuah Kampung besar di Ujung Jembatan, kini tampak terlantar. Rumah-rumah dipagari semak dan menjadi hutan kembali. Hanya pohon durian, pinang dan sejumlah tanaman buah lainnya saja yang menunjukkan disini pernah ada kehidupan. Semuamua berubah karena konplik. Di Samarkilang saat konflik , pernah dijadikan salah satu tempat para gerilyawan melawan pemerintah. Gerilyawan kemudian hengkang setelah pasukan pemerintah membuat pos-pos pertahanan.
Interaksi militer dan gerilyawan telah menghasilkan kuburan baru kala itu. Demikian kisah rumah terbakar dan cerita pilu dipedalaman ini. Tapi kini semua berubah. Potensi Samarkilang yang kaya, membuat pertumbuhan ekonomi tampak cepat berkembang.
“Harga rokok di Bener Meriah sama dengan disini,” kata seorang penjual rokok di Samarkilang. Benar saja, ketika sebungkus rokok kubeli. Menurut Ahmadi, di Samarkilang banyak lahan tidur yang dibiarkan terlantar paska konplik.
Perkampungan yang terkonsentrasi di suatu lokasi, membuat warga enggan pulang ke Kampung asalnya. Ahmadi coba membeli beberapa kawasan lahan terlantar ini. Kemudian dijadikan kawasan Peternakan sapi Bali. Kebun buah, seperti rambutan, kelapa , mangga dan lain-lain.
Kuba sangat senang bisa mengunjungi Samarkilang. “Very beautiful trip,” kata Kuba kagum. Apalagi, lanjutnya, kawasan hutan masih terjaga sehingga mudah diakses dan enak dipandang dengan awan putihnya.
Karena tidak semua kawasan di Samarkilang memiliki jembatan, penduduk setempat menyeberang derasnya sungai Samar dengan perahu. Kuba mencoba menyeberang menggunakan jembatan sling. Meski berkeringat banyak dan tangannya sedikit terluka terkena besi sling, Kuba tampak sangat senang mencoba pengalaman baru.
Pulang dari seberang sungai, menggunakan perahu nelayan setempat yang panjang namun sangat tipis. Antara tepi perahu dengan permukaan sungai begitu dekat. Sedikit saja oleng, langsung kecebur.
Namun warga Samar sudah terbiasa melakukannya sehingga ketakutan terseret arus dan tenggelam tidak terjadi. Indahnya. Karena hampir disemua penjuru Kemukiman Samarkilang berbatasan dengan hutan perawan, sehingga mudah bagi warga memburu rusa.
Makan di Samarkilang dengan menu daging rusa merupakan hal yang jamak terjadi. Kami menikmati daging rusa yang serat dagingnya begitu lunak. Menurut Ahmadi, saat Kapolda Aceh datang beberapa hari sebelumnya, warga Samarkilang berhasil menangkap dua rusa yang kemudian menjadi santapan Kapolda saat di Redlong.
Durian Samarkilang juga dikenal sangat lezat. Beberapa buah durian yang dibeli dari warga setempat dinikmati dengan cara baru. “Ada cara baru menikmati durian. Yaitu dengan kopi. Ini resep dari Kapolda Aceh,” kata Ahmadi.
Aku dan Kuba mencoba resep ini. Kopi yang pahit dimasukkan durian yang aromanya menyengat dan manis. Perpaduan keduanya memang sungguh luar biasa. Resep yang wajib dicoba siapapun. Kopi durian…hemmmm.
Melihat potensi Samar yang luar biasa dan masih terjaga, kawasan Samarkilang sangat ideal dijadikan sebuah kawasan konservasi atau perlindungan hutan. Kemudian dijadikan lokasi wisata. Mulai wisata arung jeram, wisata taman buah, bahkan bila mungkin, wisata taman buru.
Ahmadi mengaku sudah memetakan potensi Samarkilang. Kemudian berencana membangunnya kedepan. “Saya ingin kawasan Samarkilang tetap terjaga dan bisa dijadikan kawasan wisata alam kedepannya,” harap Ahmadi.
Mimpi terbesar Ahmadi adalah menjadikan tanah kelahirannya tetap asri dan terjaga. Meski Samar dikenal memiliki potensi tambang yang besar, namun Ahmadi tidak ingin mengorek kandungan Samar. Merusak alam. Masih banyak potensi perkebunan yang bisa diolah dan prospek. Seperti Coklat, sawit dan tanaman komersial lainnya.
Setelah mengekplor Samarkilang yang indah dan potensial, perjalanan pulang dipenuhi rasa suka. Apalagi “makanan “ perasaan tentang cerita keindahan alam dan kearifan lokal Samar sudah dilihat dan sangat berkesan. Semoga saja Ahmadi bersama warga setempat bisa membangun potensi Samarkilang berwawasan lingkungan. Sehingga bisa diwariskan bagi anak cucu. Madu aseli Samar menjadi oleh-oleh berharga bersama beberapa buah durian ditambah rambutan Samar.(Win Ruhdi Bathin)