“Lagu besinte ge kak”, kata Erni salah seorang rekan padaku saat mendengar sara canang dari stand Aceh Tengah. Biasanya bunyi canang hanya terdengar pada acara-acara tertentu seperti pesta pernikahan misalnya. Beberapa hari sebelum acara pernikahan canang telah mulai terdengar disambut suara mulawi “ahoooi wiw” dari ibu-ibu dapur, dengan mata yang sengkat terkena asap dari tungku dapur.
Kali ini canang terdengar bukan diacara pernikahan, namun di acara pameran jambore UPK-PNPM Mandiri di Taman Sari yang berlangsung pada 18-19 November 2012.
Setiap kabupaten memiliki stand yang dihias dengan kekhasan budaya masing-masing dengan sepasang orang yang memakai pakaian adat serta perlombaan seni. Untuk menunjukkan kekhasanya, kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah tidak lupa membawa canang.
Tepat pukul 18.00 WIB semua tampilan seni di panggung utama selesai, sambil menunggu waktu maghrib kami berkeliling stand, yang pertama ku tuju tentu stand Aceh Tengah dengan harapan bisa muguel canang.
Namun, ketika kami datang tidak ada lagi yang membunyikan canang, akhirnya kami hanya berfose mengabadikan momen di depan ukiran kerawang yang dibentuk seperti pelaminan. Sedang asyik berfoto suara canang kembali terdengar di stand Bener Meriah yang terletak tepat disamping stand Aceh Tengah.
Muguel canang
“Nguk ke aku muguel canang a Jo? Kataku pada Jauhari ketua sanggar Rembune dari Himpunan Mahasiswa Bener Meriah (HPBM) yang mengenakan baju kerawang berwarna hijau, “nguk “ katanya sambil memberikan canang dan batang geloah padaku. Tanpa berfikir panjang kuajak teman-temanku yang juga orang Gayo untuk memainkan canang.
Namun, Eka yang berasal dari Lhokseumawe juga tampak antusias mengikuti kami memainkan canang, karena semua canang talah digunakan hanya tersisa gong. Walaupun demikian, tidak mengurangi semangatnya untuk ikut bercanang bersama kami.
Teng, tong, teng tong, suara canang yang dipukul berirama ala Gayo dengan batang geloah, gegedem juga terus ditepuk hampir senada dengan bunyi canang. tak ketinggalan bunyi gong yang dipukul agak lamban, namun tetap seirama dengan canang dan gegedem.
Sontak pengunjung acara itu terus berdatangan, Jauhari tampaknya tak tahan mendengar bunyi canang yang kami mainkan, dengan spontan Jo, begitu sapaan akrabnya menari Guel ditengah kerumunan orang yang dari tadi telah berkumpul, tidak ketinggalan stand Aceh Tengah juga ikut meramaikan dan bercanang bersama.
Inen Mayak dan Aman Mayak dari kedua kabupaten itu bertari Guel. Tidak hanya masyarakat Gayo, namun masyarakat pesisir juga ikut menikmati tampilan spontan ini. Hasbi Linto Baro dari Aceh Utara juga ikut bertari guel bersama inen mayak dan aman mayak dari kedua kabupaten itu.
“Saya sangat tertarik dengan budaya Gayo, jadi ketika saya mendengar musik itu saya langsung kesini dan ikut menari bersama. Mendengar kata Gayo dan Musik Gayo rasanya seperti mendengar suara azan yang mengharuskan saya ikut nimbrung bersama mereka” kata Hasbi laki-laki kelahiran Aceh Utara ini sambil tersenyum.
Tidak hanya Hasbi dari Aceh Utara, Linto Baro dari kabupaten Bireuen juga tampak ikut menari guel ditengah lapangan. Pukulan canang kami juga lebih bersemangat disertai nyanyian “tarin-tarin kope aman mayak gelah likak, edodo mayako gelah likak, si mulo oya. Ujung ni serami enti ko muninget I santeri keben si sereti benang serlo likak, serlo likak, oya gelah pacut oya gelah unang”.
Sebagian mengiringinya dengan tepukan Didong, Gayo menyedot perhatian massa sore itu. Dan sayang tampilan spontan ini harus berakhir karena panitia Acara akan mengadakan rapat di Lapangan. Semua tampak puas dan tampilan pun selesai. (Zuhra Ruhmi Binti Zain)