Sobekkan Rekonstruksi Sejarah Gayo Yang Tercecer (habis)

Oleh: Hammaddin Aman Fatih*

SECARA umum, mereka masuk ke tanoh Gayo melalui jalur–jalur sungai besar, antara lain: Pertama, dari muara sungai peusangan yang berhulu ke danau Laut Tawar. Sehingga mereka di sebut pegayon (baca: air mata yang jernih ). Hal ini juga di perkuat dengan diketemukannya kehidupan di dataran tinggi Tanoh Gayo di jaman pra sejarah. Bukti ini dapat kita lihat dari hasil penelitian Madya Bidang prasejarah Balai Arkeologi Medan yang menemukan adanya sebuah kehidupan manusia purba di Ceruk Mendale dan Loyang Putri Pukes. Bahwa proses hunian telah berlangsung dikawasan ini sejak periode mesolitik pada masa 3.580 tahun yang lalu. Dan dalam penelitian tersebut mereka juga menemukan kerangka manusia purba yang diyakini sebagai salah satu leluhur rakyat Gayo. Hal masih dilakukan pengetesan DNA (Deoxyribonucleic Acid) untuk menguji hipotesa tersebut.

Kedua, jalur sungai Jambu Aye kira–kira baru pada tahun 300 SM menyingkir kepedalaman wilayah Aceh. Hal ini disebabkan kedatangan Melayu Muda dari Kincir dan Kamboja. Dan juga dilatar belakangi ekonomi, yaitu karena masyarakat tersebut bermata pencaharian  mencari ikan dan bercocok tanaman. Sebahagian dari mereka untuk memperluas usaha dan  menambah penghasilan, terus menyelusuri sungai tersebut, terus menyelusuri sampai ke muara sungai yang ada di pedalaman ( baca: daerah Samarkilang atau orang Belanda menyebut dengan sebut Samarlang bukan Samalanga). Akhirnya ada sebahagian yang terus menetap di sana tidak pulang lagi menata kehidupan baru yang terus berkembang dari hari ke hari.

Beberapa periode kemudian (baca: abad Masehi) terjadi pembauran dengan pendatang–pendatang baru berikutnya yang menetap dan berkembang di tanah Gayo. Yaitu: Pertama; ini berhubungan masuknya pengaruh budaya Islam (baca: aliran Syiah maupun Suni) di lingkungan Kerajaan Linge. Konon kabarnya dibawa oleh oleh orang–orang keturunan Persia yang datang ke tanah Gayo. Ada sebuah informasi yang mengatakan bahwa orang Gayo yang berada di daerah Serule merupakan keturunan mereka, yang mempunyai ciri–ciri fisik tinggi kurus dengan warna mata coklat gelap dengan hidung mancung. Mereka ini berbeda dengan bentuk fisik orang Gayo kebanyakan.

Kedua; berhubungan dengan pelarian politik dari daerah Perlak, yaitu ketika Raja Linge mengizinkan rombongan Malik Ishak yang berjumlah 300 orang untuk tinggal dan sekaligus diberi hak untuk mendirikan kerajaan Islam di Isaq.

Ketiga; ada sebuah informasi yang mengatakan, bahwa dulunya ada rombongan pengungsi dari wilayah kerajaan Majopahit yang menetap di sekitar daerah yang sekarang di kenal dengan sebutan daerah Penarun. Raut wajah mereka lebih mirip kejawaan. Informasi ini berhubungan dengan cerita yang berkembang di masyarakat tentang “ Legenda Keris Majapahit”.

Keempat ; kedatangan orang Batak Karo yang menuntut kematian saudara mereka yang datang untuk melihat ke indahan danau Laut Tawar, mereka  dibunuh oleh rakyat kerajaan Bukit. Hasil negoisasi akhirnya sebahagian daerah kerajaan bukit di berikan kepada mereka. Maka berdirilah kerajaan Cik Bebesen atau mereka sering di sebut dengan sebutan Batak 27.

Versi yang lain yang berhubungan dengan hal ini adalah berhubungan dengan kedatangan orang–orang dari tanah Batak yang menuntut hak warisan sebagai keturunan Gayo yang dulunya berantau ke tanah Batak. Hal ini diperkuat dengan penelitian Ketut Wiradanyana yang memunculkan hipotesa bahwa Orang Batak Berasal Dari Tanoh Gayo (lihat Serambi Indonesia  hal 18, Kajian Arkeologis; Suku Batak dari Gayo, terbitan 12 Desember 2011).

Kelima; Menurut Akmal (baca: yang pernah menjadi seorang interverter peneliti Asing era Gubernur Aceh Ali Hasimy) hal ini berhubungan dengan pembangkang politik pada masa pemerintahan Hindia Belanda yang dibuang ke luar Pulau Jawa, yaitu ke Digul, Suriname, Aceh–Gayo.

Keenam; era tahun 1900–an yang itu dengan dibukanya lahan perkebunan di dataran tinggi tanah Gayo oleh Belanda. Karena kekurangan tenaga pekerja maka pemerintahan kolonialisme Belanda mendatang pekerjanya dari daerah luar tanah Gayo, khususnya dari pulau Jawa.

Dengan perjalanan waktu (baca: periode) dan adanya interaksi antara mereka terjadilah pembauran (baca: melalui jalur perkawinan). Beberapa generasi kemudian sampai sekarang. Mereka inilah cekal bekal masyarakat Gayo yang sekarang. Masyarakat tumbuh dan berkembang dari waktu ke waktu. Sehingga muncul istilah Gaja (Gayo Jawa), Gapa (Gayo Padang), Gac (Gayo Aceh), Gaba (Gayo Batak), Gab (Gayo Arab) dan lain-lainnya.

Bahasa Gayo

Bahasa adalah sistem perlambangan manusia, baik lisan maupun tulisan untuk berkomunikasi satu dengan yang lainnya. Sebahagian besar bahasa hampir semua orang di wilayah Indonesia, khususnya di tanah Gayo menuturkan bahasa–bahasa yang di sebut dengan bahasa austronesia.

Masyarakat Gayo dalam kesehariannya melakukan komunikasi menggunakan Bahasa Gayo, Sedangkan dengan dunia luar menggunakan bahasa Indonesia dan dahulunya menggunakan bahasa Melayu (baca: bahasa pedagangan).

Bahasa Gayo merupakan bagian dari bahasa Melayu–Polinesia yang dikelompokkan dalam bagian Austronesia. Bahasa ini dipergunakan sejak sebelum dan sesudah masyarakat Gayo mendiami daerah Linge.

Harus kita akui sejujurnya, fakta menunjukan bahwa cukup pantas kita sebut “ banyak “ nama–nama daerah di wilayah Aceh yang menggunakan bahasa yang berasal dari dialek bahasa Gayo. Seperti ; Langsa, Biruen, Sigli, Kute Reje, Loksemawe, Selawah dan lain sebagainya.

Penutup

Alangkah naifnya sekarang, kita bertanya kepada orang lain, siapa kita sebenarnya kita? Banyak penulis–penulis Gayo menggunakan referensi yang bersumber dari orang asing yang notabene mempunyai kepentingan tersendiri. Malahan hal yang sangat sensitif dalam budaya Gayo menggunakan literatur asing, khususnya  Snock Hurgranje seorang antropolog asal Belanda.

Menurut Surahman seorang Sarjana Ilmu Politik dan dosen Fisip UGP Takengon, bahwa Snock Hurgranje merupakan spionase (mata-mata) asing yang membuat 2 buku tentang Budaya Masyarakat Gayo. Yang asli dikirim langsung ke Amesterdam  Belanda. Sedangkan satu lagi beredar di Indonesia. Dan dia melakukan penelitian hanya 6 bulan di Meulaboh dengan metode wawancara.

Yang menjadi sebuah pertanyaan, apakah bisa dikatakan data itu valid, hanya melakukan penelitian dengan rentang waktu yang sesingkat itu? Adakah cerita Ikan depik merupakan salah satu ikan khas yang hidup di danau Laut Tawar dalam catatan penelitiannya? Mungkin kasus ini sama dengan Marcopolo ( baca: yang katanya penjelajah ) yang bercerita tentang Budaya Cina. Dia tidak sedikitpun menyinggung tentang “Tembok Cina”. Tembok ini merupakan salah satu karya manusia yang bisa dilihat telanjang dari bulan (baca; tanpa alat ). Percayakah kita dengan karyanya itu ???

Penulis mengajak seluruh komponen lapisan masyarakat rakyat Gayo untuk melihat dan mengkaji kembali serta memperkenalkan kepada rakyat Gayo khususnya, kepada dunia luar pada umumnya tentang sejarah yang telah lama terkoyak terkubur oleh arus perjalanan peradaban zaman. Mencari mana yang benar serta mana yang salah, mana yang relevan dan mana yang tidak, perlu diberi baju atau dengan kata lain berangkat dari yang aslinya, dihiasi dan diserasikan sesuai serta sejalan dengan tuntunan zaman.(madin73[at]ymail.com)

*Antropolog dan Guru SMAN 1 Timang Gajah dan Dosen FISIP Universitas Gajah Putih, Takengon.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

3,627 comments

  1. Ada banyak hal yg unik dr kelompak masyarakat yg diidentifikasikan sebagai suku Gayo…masyarkat Gayo merupakan entitas yg cukup hiterogen dilihat dari berbagai sisi, mulai dari fisiologi, warisan budaya, bahasa (serapan dan kesamaan dari bahasa aceh, batak, melayu dll) dan adat istiadat, Secara pribadi kami sendiri kurang setuju jikalau gayo dimassukkan kepada kelompok Melayu Tua, karena hampir tidak adanya warisan budaya melayu tua di tanah Gayo yg berupa stupa, menhir, ataupun budaya animisme dinamisme-nya seperti halnya di wilayah batak dan toraja. Merupakan suatu hal yg menarik bila mendiskusikan Sejarah Gayo, krn memaang minimnya dokumentasi sejarah gayo dari kalangan internal masyarakat gayo sendiri dan kalaupun ada merupakan dokumentasi dalam bentuk tutur (lisan). sedangkan yg tertulis biasanya diambil dr catatan2 perjalanan eropa, cina, arab terutama penjajah Belanda, dan yg termakhtub dalam catatan Kesultanan Aceh. Terkait dengan penemuan fosil di ujung karang, Kec. kebayakan yg menghubungkan Orang Gayo sekarang dan masa prasejarah (Nenek Moyang) mari kita sikapi dgn arif dan bijak, krn memang hasil test DNA untuk melihat keterkaitan genetik dengan manusia gayo sekarang jg belum keluar hasilnya… Mari Bangun Dataran Tinggi Gayo dengan kebersamaan dan sinergi, serta wawasan Keislaman yg komprehensif, BUKAN KESUKUAN.