LELAKI yang gemar memakai topi baret merah ini seketika menyambut tanganku, ketika dari jarak lima meter namanya kusebut seperti mambaca sebuah judul puisi. Spontan pak Reins tertawa lebar dengan gayanya yang khas. “Ah kau menjadikan aku lebih muda saja”, sambutnya ramah dengan tawa lepas.
Dikalangan seniman dan budayawan Aceh namanya sudah tidak asing lagi, lelaki gaek yang sudah berkarya sejak tahun 1970 ini terlihat masih sangat energik. Semangat dan spiritnya untuk terus berkarya berbanding terbalik dengan usianya saat ini yang telah memasuki tahun ke 68. Nama lengkapnya Rein Asmara, lahir di Sumatera Utara dan tinggal di bilangan Stui Banda Aceh.
Sepintas pak tua yang tak mau dipanggil “pak” ini terkesan dingin, penuh misteri dan cenderung diam bila diajak diskusi. Mimiknya selalu berubah bila menanggapi topik pembicaraan, ini artinya Reins adalah seniman yang penuh pertimbangan dan sangat matang dalam menyikapi lingkungannya. Tetapi sebagai pelaku seni murni ia tak mampu menyembunyikan gejolak pikirannya, ketika pembicaraan mulai mengarah tentang prihal kehidupan seniman di Aceh. Dengan angkatan suara lembut dan kemudian meninggi, Reins melontarkan sejumlah ide dan pikirannya yang sangat kontekstual dengan situasi kekinian.
Itulah Reins Asmara yang memulai karir seninya sebagai pelukis di Pendidikan Berkesenian Sanggar Besar Seni Rupa Sekar Gunung Medan. Kepada penulis ia mengaku mempunyai kenangan dan sejarah sendiri tentang Aceh, terutama terkait bencana dahsyat yang menimpa Aceh bulan Desember 2004 silam. Istri tercinta serta anak Reins turut jadi korban gelombang raya yang dipicu gempa berkekuatan 8,9 skala reighter itu.
Dalam pergelaran karya, Reins termasuk seniman yang produktif. Sejumlah pameran seni lukis yang pernah ia ikuti baik secara tunggal maupun “keroyokan” adalah di Simpassri dan Asri ’45 Medan 1970-1976, Taman Budaya Medan 1978, Tebing Tinggai 1981, Medan 1982, Jakarta 1983, Padang 1984, Medan 1986,Pematang Siantar 1987, Tapak Tuan 1992, Jawa Timur, Yogyakarta, Jawa Tengah Solo 1999 serta puluhan event pameran lainnya diberbagai tempat. Memasuki tahun dua ribuan ia juga telah menggelar karya di sejumlah kota di Indonesia, baik yang diselengarakan oleh Taman Budaya berbagai Provinsi dengan Kementerian Pendidikan dan Parawisata serta Even Organizer Internasional lainnya yang konsen terhadap seni rupa murni.
Selain pamer karya, ia juga mengikuti berbagai kegiatan berbentuk seminar, studi banding serta pertemuan seniman lukis lokal, nasional dan internasional.
Ketika berkesempatan membolak balik sejumlah karya Reins dalam booklet dan pajangan album, kutemukan beberapa goresan yang membuat jantungku berdesir. Biasa berkaca mata kali ini kutanggalkan. Menikmati kejujuran harus telanjang.
Tema goresan kuas Reins memang beragam. Mulai dari kesaksian alam, keindahan bunga, perempuan, bangunan, hewan sampai kepada bencana dan nilai-nilai estetik budaya Gayo semua terangkum. Aku tidak mempunyai kompetensi untuk mengklasifikasikan aliran Reins dalam melukis, apakah realis, abstrak, surialis, dekoratif atau aliran modren seni lukis lainnya. Karena hematku, menikmati karya Reins bagai berada di alam yang ia jadikan objek lukisan.
Menyaksikan aku terpaku dengan visual yang dihasilkan tarian jemari Reins, ia malah menunjukkan sebuah karya lainnya. Sebuah lukisan yang agak abstrak namun cukup membuat mata lekat. Warnanya putih keabu-abuan, karena faktor kanvas warna dan tekstur lukisan terkesan lebih menonjol. Sekilas seperti potongan kayu tumbang yang disusun menjadi kaligrafi. Anehnya di atas huruf-huruf abstrak kaligrafi itu terdapat puingan rumah, kapal dan perahu yang terbalik serta bayangan manusia. Tanpa sempat bertanya Reins menjelaskan bahwa lukisan itulah yang membuatnya bersyukur sekaligus berdo’a setiap waktu. Ternyata lukisan itu ia aktualisasikan dari kejadian gempa dan gelombang Tsunami yang menghantarkan istri dan anaknya keharibaan sang Pencipta. “Saat melukis ini saya sambil menangis” kata Reins dengan suara rendah seolah menutupi kesedihannya.
Namun kemudian dengan penuh semangat sekaligus miris, Reins mengaku setiap bulan Desember sejak tahun 2005 ia menggelar karya-karya lukisnya kehadapan publik secara rutin. Ini ia lakukan sebagai wujud kecintaannya terhadap sebagian keluarganya yang menjadi korban Tsunami, juga sebagai moment untuk mengenang dan ungkapan belasungkawa terhadap bencana besar yang menimpa negeri Serambi Mekah.
Untuk pameran tahun ini Reins Asmara akan menggelar karya pada tanggal 27 Desember 2012, bertempat di Ulee Lheue Corner & Restaurant Banda Aceh. Sambil menunjukkan sejumlah dokumentasi lukisannya ia mengajak seluruh masyarakat untuk hadir dilokasi pameran. “Ada 50 karya lukis yang akan saya pajang disana, siapa saja boleh datang”, undangnya.
Sebagai seorang pelukis besar berikut dengan karya-karyanya sosok Reins pernah dikomentari oleh Sekaragung dari Yayasan SIMPASSRI, yang antara lain mengatakan “seni adalah isi bukan simerah pipi yang rahum penuh birahi”. Sekaragung juga menimbali kalimat tersebut dengan mengutif kalimat Rabindranath Tagore yang menyatakan bahwa “seniman adalah orang yang terdekat dengan Tuhannya”.
Lagi-lagi Reins “mengganguku”. “Ah ya, itu tentang Gayo” celetuknya seperti ingin menyatukan emosi dan intresku terhadap apa yang terpapar dihadapan. Kali ini ia berceloteh agak panjang lebar, tetapi aku sudah tak memperdulikannya. Aku terpaku dan menikmati apa yang ada, persis seorang bayi yang dihadiahi permen gula-gula dan boneka mainan sekaligus. Cuek.
Ingatanku melayang ketahun delapan puluhan hingga awal tahun sembilan puluhan silam. Dimana dua ekor kuda yang diberi nama “Buge Mujadi” dan “Pesaka Due Belas” oleh lelaki yang saat ini berusia 86 tahun tampak menyeringai. Tetapi sosok yang kuhormati itu (H. Sulaiman Aman Hafisah Meriah) tak terwakili dalam pantulan kanvas bercat minyak itu, yang ada hanya deru lari dan desau angin ditelinga. “Renye, renye. Ooaasalualéééé! Katak buntang keketol matéééé”.
Ya, lukisan Reins tentang pacuan kuda tradisonal Gayo telah membuatku sedikit sentimen. Kekuatan goresan dengan pilihan warna serta tekstur yang mencuat menjadikan karya ini lebih indah dari sebuah jepretan lensa fotografi termutakhir. Aku tergoda!
Belum lagi selesai, obrolan Reins kubiarkan saling bersahut bersama sahabat lainnya dengan kopi dan kepulan asap rokok yang membatasi pandangan.
Kali ini sepasang manusia berselendang kerawang Gayo dan berbulang pengkah mengajakku menabuh repai dan meniup soling ines. Tarian sakral yang dimainkan berbau mistis untuk membangunkan gajah itu kini juga membangunkan nasionalimeku. Hewan saja tergerak untuk menari, konon manusia Gayo yang katanya mempunyai cita rasa seni tinggi. Tarian yang biasanya digelar untuk menyambut tamu agung itu, dalam lukisan Reins tampak sangat bersahaja, romatis dan penuh dengan nilai persaudaraan. Dan aku sebagai tamu yang disambut dihadapan lukisan, yang bertandang dengan kekerdilan tersenyum lebar dengan mata melotot dan bahu yang bergerak tanpa sadar. Guel.
Lukisan tarian yang dimainkan oleh seorang ibu setengah baya bersama dengan seorang bebujang berbaju kuning keemasan, cukup menjadi kekuatan bagi mata dan rasaku untuk tidak memperdulikan Reins serta temannya. Lukisan yang sangat sederhana. Bahkan mungkin terlalu sederhana sebagai sebuah karya yang dihasilkan oleh pelukis profesional. Sepintas, demikian.
Tetapi rasa, rasa yang menunjukkan ini sebagai sesuatu yang berbeda.
Masih ada sejumlah lembar dan potretan kanvas karya Reins yang tak kubolak-balik. Seperti seekor gajah yang dibaluti dengan relief ukiran bermotif kerawang Gayo, mulai dari ekor hingga panggkal gadingnya. Seorang ibu tua yang mengelus rambut anak gadisnya dengan penuh cinta, kumpulan manusia yang mencoba keluar dari kepungan gelombang raya dan masih banyak lukisan lainnya.
Amatanku, sebagai pelukis yang bersahaja Reins Asmara dalam hal ini hanya mempunyai dua tema utama. Tsunami dan Budaya Gayo.
Sebelum beralih, kesimpulan ini kumasukkan dalam catatan diaryku. Lalu seolah tanpa cela, aku kembali kemeja dimana Reins dan sahabat seniman lainnya berada. (Salman Yoga S)