Senyumku dan Lelaki Tunawisma

Maulida*

 

SAYA seorang mahasiswi Fakultas Dakwah Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam semester 7. Saat ini sedang mengejar proposal, dan ditugaskan untuk mengerjakan tugas dari dosen pembimbing mata kuliah Teknik Penulisan Naskah Dakwah. Selain tugas ini, ditambah lagi tugas Midle Test yang harus dikirim ke email  Bapak dosen saya pada malam kamis tepat pukul 8 malam.

Tugas ini merupakan tugas untuk terakhir perkuliahan yang diberikan dengan berbagai tema. Tema yang saya petik ialah tentang “ibadah”. Dalam tugas ini dosen saya mengatakan jangan ada yang sama isi penulisan diantara mahasiswa. Bagi saya tugas ini tidak terlalu sulit, kitalah yang mempersulitnya. Seperti dalam sebuah hadits disebutkan ”agama itu mudah, jadi jangan dipersulit”. Begitu juga dengan tugas ini, karena modal pertama saya adalah senyum, mudah bergaul dan selalu jadi anak periang.

Jam 11 pagi saya bergegas menuju Masjid Raya, sekitar 5 menit saya menunggu labi-labi di jalan yang biasanya disebut simpang Apong. Ketika saya naik penumpangnya hanya 3 orang. Sepanjang perjalanan rute Darussalam-pusat kota Banda Aceh. Udara sejuk yang masuk lewat sela-sela jendela terasa sangat dingin walaupun di tengah teriknya matahari. Saya tidak mengerti di hari itu, entah ada sangkut pautnya antara cuaca pagi atau ada hal lainnya.

Ketika sampai di Lampriet, mata saya sudah merosot kearah seoarang bapak tua yang berpakaian compang camping. Dengan rambut yang tidak terurus, sungguh kasihan” terbenak dalam hati.” Dia langsung menaiki labi-labi yang sama dengan saya. Tiba-tiba orang-orang dalam deretan bergerak menyingkir disamping pak tua yang tunawisma itu, dengan karena baunya yang tak sedap. Ibu yang sedang duduk didekatnya, tiba-tiba turun. Saya menjadi panik dan bertanya-tanya, ada apa? Entah karena sudah waktunya turun atau bukan. Wallahua’lam. Namun tiba-tiba bau tak sedap pun menyerbu ke hidung saya. Ya ampun, laki-laki yang sudah tua berwajah kumuh, bertubuh dekil, kini tepat didepan saya.

Bau badan pak tua itu, benar-benar minta ampun, sungguh menyesakkan, bahkan potensial merontokkan bulu-bulu hidung. Saya bingung tak tahu harus berbuat apa, tak mampu bergerak sama sekali. Kaki saya kaku. Benar-banar saya mati rasa.

Di saat seperti itu, tanpa sengaja mata saya dan mata si laki-laki yang bertubuh lebih pendek saling menatap. Ia menyunggingkan seutas senyum.  Sorot mata tak sempurna dari kedua bola mata lelaki itu terasa tajam, namun juga memancarkan kasih sayang. Ia menatap seolah meminta agar saya dapat menerima “kehadirannya”.

 Di tempat itu. Ia menyapa, sambil tetap tersenyum dan menghitung koin receh. Yang dipersiapkan untuk membayar ongkos labi-labi. Secara spontan saya membalas senyumnya dan, entah mengapa, seketika itu juga teringat pada “tugas yang diberikan oleh sang dosen.

Lelaki itu terlihat memainkan tangannya dengan gerakan-gerakan aneh. Pertama saya sempat berfikir kalau lelaki tua itu menderita penyakit mental. Saya benar-benar merasa asing, setelah mengetahui bahwa dalam barisan kursi tadi yang ramai, kini tinggal saya bersama lelaki bertubuh dekil  itu. Sampailah didepan sebuah toko kado. Dia pun bergegas untuk turun dari labi-labi, lalu dia bertanya. “mau kemana nak?” dengan suara yang nyaring. “rencana mau kemesjid kek!” jawab saya. Saya kembali tanya” kakek mau kemana?”. Tidak tau ini nak, pokoknya kakek mau menunaikan shalat zuhur dulu.

Tiba-tiba saya menyentuh dengan kata-kata lelaki tua tadi, “Ya Allah, betapa baiknya iman hambaMu ini.” Dalam hati saya. Lalu ngajipun tiba terdengar begitu keras, dan saya tiba-tiba diserang rasa iba, mengingat sudah waktunya makan siang. Jadi saya menawarkan makan kepada lelaki tadi.

Lalu saya menghampiri sebuah restoran dengan lelaki tua itu. Ternyata semua mata para tamu disitu tersorot kearah kami. Dan pasti juga melihat semua atas “tindakan” saya. Saya baru bersadar setelah kasir menyapa untuk ketiga kalinya apa yang ingin saya pesan.

Saya tersenyum dan minta di berikan dua paket KFC. Dan meminta untuk diantar ke meja nomor 12. Saya langsung mempersilahkan kakek tua menikmati makanan.

“Silahkan dimakan kek…” kata saya. Mata kedua lelaki itu menatap ke arah saya, kini bahkan sedikit basah dan berkaca-kaca.”terima kasih banyak, nak…” ujarnya. Saya mencoba menguasai diri.” Sesungguhnya bukan saya yang melakukan ini untukmu kek. Allah membisikkan sesuatu ke dalam hati saya untuk menyampaikan makanan ini kepadamu. Saya berkata sambil memagang bahu kakek tua itu.

Si lelaki yang tampak lebih sehat tak kuasa menahan haru. Saat itu ingin sekali saya merangkul, saya sudah tidak kuasa menahan  tangis ketika memandangnya. Setelah siap makan, lalu saya memanggil pelayan untuk membayar.

Ketika kami ingin bergerak untuk keluar, tiba-tiba datang seorang bapak yang berjenggotan menghampiri meja kami “kamu telah melakukan yang terbaik nak.” Kamu telah berdakwah dengan perbuatanmu, ujarnya. Langsung saya menjawabnya ”terimakasih pak” sambil menjabat tangan.”Tangan kamu telah telah memberi pelajaran yang mahal nak. Jika suatu saat saya diberi kesempatan oleh Allah, saya juga akan melakukan seperti yang sudah kamu contohkan” ucap bapak itu.

Setelah itu kami terus berjalan menuju masjid untuk melaksanakan shalat, kakek tua itu pun berjalan ke tempat wudhu laki-laki. Sayapun menyegerakan ke tempat wudhu perempuan. Ketika sudah selesai, kakek tua itu mencoba menaiki tangga dengan rasa kecapekannya.

Usai shalat zuhur saya bergegas menuju ke pustaka. Ketika saya ingin masuk jam pun masih menunjuk pukul 01.30, pustaka belum dibuka. Saya duduk di sekitaran masjid dan mata saya tertuju kearah kakek tua tadi, seolah ada “magnit” yang menghubungkan batin kami. Sempat saya berfikir. “Ya Allah apakah kakek itu tidak mempunyai keluarga.” Rasa menyesal saya tidak sempat menanyakan tempat tinggal da keluarganya.

Dengan rasa yang penuh tanda tanya saya mencoba mendekati lagi kakek tua itu lagi. Memberikan senyum tipis dan dia masih mengingat wajah saya. Dia membalas senyum. Dengan senang hati saya langsung duduk di sampingnya. Pertanyaan pertama saya ajukan, “tadi kakek dari mana,? Kok bisa jumpa satu labi-labi kita ya kek”. Kakek menjawab “kakek tadi pertama dari masjid Lampriet, lalu kakek ingin mencari rezeki untuk sesuap nasi, makanya kakek menuju kesini nak.”

Saya juga masih sangat penasaran. Karena pertanyaan yang ada didalam benak saya belum terjawab. Dan saya mulai bertanya lagi, “kek, kakek aslinya dari mana dan tinggal dimana kek? Kakek menjawab, “sebenarnya ceritanya panjang nak, saya asli dari Aceh Besar. Saya tidak dikarunia anak, istri saya sudah tiada semenjak tahun lalu. Tinggallah saya seorang diri yang berkatung-katung ini”. Air mata menetes tak terasa, tangan saya mengelus bahu sang kakek.

“Lalu kenapa kakek bisa sampai kesini? sambung saya, “tidak tau lah nak, kakek setiap hari berdoa kepada Allah, supaya Allah memudahkan rezeki untuk kakek. Tidak usah banyak, asal cukup untuk makan sehari-hari saja.”ujar sang kakek.

Hati saya berdesit, masih ingin tahu lebih jauh cerita lelaki yang tunawisma itu. Akan tetapi saya juga sempat berfikir, apakah pantas saya bertanya panjang lebar kepada sang kakek tua dan tidak  memiliki sanak saudara. Keinginanku belum tercapai dengan jawabannya tadi.

Setelah mendengar suara sang kakek, yang lagi serak-serak saya bertanya apakah kakek sedang sakit? “kakek pun menjawab tidak nak.”  Kakek cuma tidak enak badan saja, lalu saya mengajak kakek itu kerumah sakit tapi kakek itu menolak. Disaat itu hati saya yang pertama ingin masuk pustaka. Namun hati kedua saya masih ingin berbincang-bincang dengan sang kakek.

Namun saya juga tidak melarang lelaki menderita itu, duduk disamping pintu masuk masjid. Yang pertama saya tidak mampu membiayainya, untuk sendiri saja masih mengharap dari orang tua. Saya hanya bisa mendoakan kakek yang berduka itu. Tak lama kemudian saya mohon pamit kepada sang kakek. Wajah kakek, terasa berat dengan kata-kata pamit saya dengan kepala mengangguk. Saya harus pergi dalam detik itu. Air mata saya yang menetes, dan sangat berat untuk meninggalkan si tua itu. Sampai dua meter saya berjalan mata saya masih melihat wajah kakek.

Tiba di pustaka, saya menyimpan tas di loker dan langsung mencari buku Psikologi Komuniasi. Hati saya juga masih membayangkan, bagaimana nasib si kakek tadi. “mudah-mudahan dia dimudahkan rezeki oleh Allah.

Jam sudah menunjukkan pukul 3 siang. Saya mengingat masuk kuliah jam 4 sore. Jadi saya harus segera bergegas untuk pulang. Sebelum pulang saya berniat untuk menjenguk kakek yang tua menderita tadi. Ternyata sang kakek masih ditempat semula, saya menghampirinya untuk berpamitan. Berakhirlah pertemuan saya dengan sang lelaki tunawisma itu.

Setiba dikampus, saya langsung shalat ashar sebelum masuk kelas, sedang menunggu dosen mata kuliah pers releas saya sempat bercerita kepada kawan-kawan dikelas tentang kakek tunawisma tadi. Kawan-kawan mendengar dengan seksama. Mereka bertanya-tanya. Belum siap saya menceritakan, sudah ditanyakan lagi. Ada seorang kawan saya Ira, mengatakan sungguh kasihan ya.

*Maulida, adalah mahasiswa Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam Fakultas Dakwah IAIN Ar-Raniry Banda Aceh.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.