Di Aceh, Proses Penegakan Hukum Tumpul Atas dan Bawah

Banda Aceh | Lintas Gayo – Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) Aceh ditahun 2012 setidaknya mencatat ada empat hal dalam proses penegakan hukum yang terkesan seperti tumpul untuk ditegakkan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia yang terabaikan pemenuhannya.

Empat hal yang menjadi monitoring dan evaluasi KontraS Aceh. Pertama, budaya yang melegalkan praktek kekerasan yang berbasiskan agama. Kedua terkait kekerasan oleh aktor keamanan yang sepertinya sudah menjadi darah daging dan tentu saja harapan dari hal tersebut setidaknya praktek impunitas dan upaya perlindungan koprs menjadi hilang.

Destika Gilang Lestari selaku koordinator KontraS Aceh, dalam siaran pers yang diterima Lintas Gayo, Kamis (3/1) menilai kasus kekerasan di Aceh masih tinggi, terutama terkait dengan kasus penegakkan syariat Islam.

“Berdasarkan catatan KontraS pada tahun 2012 terjadi 50 kasus, ini artinya kasus hampir setengah dari tahun 2011, terjadi 46 kasus dan tahun 2010 tercatat 55 kasus. Dalam kasus penegakan syariat Islam tersebut, bentuk pelanggaran hukum yang muncul adalah seperti proses memandikan warga atau melakukan kekerasan terhadap mereka yang diduga melakukan pelanggaran syariat Islam,” urai Gilang.

Dikarenakan hal tersebut, KontraS  Aceh sangat menyayangkan bentuk kekerasan yang muncul, dimana proses penegakan hukum yang seharusnya dimunculkan akan tetapi malah justru proses penghakiman jalanan yang lebih dikedepankan. Tentu saja kita mendesak agar institusi berwenang terkait penegakan syariat Islam harus terus-menerus mensosialisasikan larangan ‘main hakim’ sendiri oleh warga yang telah menangkap pelaku pelanggaran syariat, harap Destika Gilang Lestari.

KontraS Aceh sangat mengharapkan praktek-praktek kekerasan yang mengatasnamakan kebenaran yang belum tentu dibenarkan oleh aturan hukum itu sendiri, justru akan menumpulkan penegakkan hukum bagi pelaku main hakim. Bila ini dibiarkan, maka tidak ubahnya kita melegalkan praktek impunitas, tidak boleh ada yang kebal hukum di Aceh.

Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Aceh, menegaskan bahwa hal ini merupakan suatu masalah hukum dan keamanan yang serius. Seperti kejadian amuk massa pada 16 Nopmber 2012 di Plimbang, Bireun yang berujung pada bentroknya kedua kubu dan kemudian berakibat jatuhnya korban di antara kedua belah pihak.

Kegagalan untuk menghindarkan terjadinya amuk massa dipicu oleh lemahnya fungsi intelijen dan kesiapan petugas kepolisian untuk mengantisipasi dan mencegah kejadian bentrokan tersebut. Seperti kejadian pada Jum’at malam hingga Sabtu subuh dini hari seperti membuktikan adanya loss of control dari aparat penegak hukum sehingga bentorkan massa dengan leluasa berlangsung. KontraS Aceh prihatin dan sangat menyesalkan kejadian tersebut dan mengajak semua pihak untuk menghormati supremasi hukum.

Dalam  catatan laporan akhir tahun 2012 KontraS Aceh, dengan berat hati mengatakan bahwa pihak kepolisian Aceh berada diperingkat teratas institusi vertikal yang melakukan tindak pelanggaran hukum. Catatan KontraS Aceh, polisi berada digaris terdepan dalam melakukan praktek kekerasan, ada 16 kasus kekerasan, disusul TNI tiga kasus, dan aparatur negara enam kasus. Ini artinya, dari tahun 2011 terjadinya peningkatan di tahun 2012 ini.

Bila ditahun 2011 kasusnya berupa, “Tiga kasus penembakan warga dan lima kasus penganiayaan, maka ditahun 2012 ini kasus yang paling mencolok adalah delapan kasus penganiayaan atau penyiksaan, satu kasus penembakan, lima kasus penangkapan sewenang-wenang, satu kasus perampasan harta benda, dan satu kasus pemerasan. Dari hal tersebut, dengan berat hati KontraS Aceh menyimpulkan reformasi perpolisian di Aceh sepertinya gagal,” sebut Gilang.

Selain itu, penting bagi pihak kepolisian untuk memberitahukan kepada publik sampai sejauh mana berbagai proses penyelidikan yang dilakukan. Hal ini penting untuk membuktikan bahwa aparat kepolisian memang sedang bekerja dan tidak lemah dalam menjaga dan memberi keamanan bagi masyarakat. Hal ini juga penting guna menunjukkan kepada pihak luar bahwa Aceh memang bukan lagi wilayah rawan konflik.

Polri selaku aparat penegak hukum dituntut mampu berperan dalam menunjang terwujudnya supremasi hukum. Kehendak untuk mewujudkan supremasi hukum merupakan tantangan bagi Polri, karena Polri diharapkan untuk mampu meningkatkan profesionalisme  dan kinerjanya melalui penerapan paradigma baru dalam proses penegakan hukum.

“Harusnya kepolisian Aceh dalam memperbaiki citranya, mengutamakan pembuktian pada masyarakat telah berhasil menjalankan tugas dan fungsinya dengan baik,” jelasnya.

Untuk TNI ditahun 2012 ini, berdasarkan hasil pantauan KontraS Aceh, TNI juga terlibat dalam budaya praktek kekerasan di Aceh. Bila di tahun 2011, KontraS Aceh mencatat lima kasus. Maka ditahun 2012 ini, setidaknya ada tiga kasus, seperti dua kasus penyiksaan/penganiayaan dan satu kasus penembakan.

Ketiga, dalam segi anggaran praktek tersebut seperti adanya pembenaran untuk pengalokasian anggaran untuk instansi vertical di Aceh. KontraS Aceh setidaknya mencatat bahwa legislative atau pun eksekutif dan instansi vertikal itu sendiri masih terlalu gatal dalam meng-anggarkan atau meminta jatah untuk mendapatkan dana hibah yang berasal dari APBD dan APBK.

Sebagaimana hasil monitoring KontraS Aceh tahun 2009 – 2012, menemukan ada alokasi anggaran untuk TNI/Polri seperti honorarium, pembangunan infrastruktur, Operasional, dan dana hibah lainnya yang dialokasikan melalui Anggaran Pendapat dan Belanja Kabupaten/Kota. Adapun perbandingan dari tahun ke tahun anggaran yang diplotkan tersebut, untuk tahun 2009 mencapai Rp8,5 miliar lebih di delapan kabupaten/kota, tahun 2010 mencapai Rp13,7 miliar lebih di tiga kabupaten/kota, tahun 2011 sebesar Rp7,5 miliar lebih di empat kabupaten/kota dan tahun 2012 mencapai Rp23,6 miliar lebih di 10 kabupaten/kota.

Dan celakanya lagi, hasil penemuan KontraS Aceh masih ada rencana plot anggaran untuk tahun 2013 yang hendak diberikan kepada dua instansi vertikal di Kabupaten Aceh Utara dengan anggaran mencapai Rp. 2,1 miliar.

Sepertinya, dengan dikeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri (permendagri) No. 59 tahun 2007 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Menjadi pembenaran bagi institusi militer TNI/Polri untuk mendapatkan dana hibah dari APBD dan APBK. Alasan yuridis ini yang dipakai oleh pemerintah daerah dan pemerintah kabupaten/kota dalam mengalokasikan dana bagi TNI/Polri di Aceh.

Padahal anggaran TNI sudah diatur dalam UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI. Dimana dalam pasal 66 (1) TNI dibiayai dari anggaran pertahanan negara yang berasal dari anggaran pendapatan dan Belanja Negara. (2) keperluan anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh Departemen Pertahanan.

Mekanisme perolehan anggaran militer di atur pada pasal 67 (1) Dalam hal pemenuhan dukungan anggaran TNI, Panglima mengajukan kepada Menteri Pertahanan untuk dibiayai seluruhnya dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. (2) Dalam hal pemenuhan dukungan anggaran operasi militer yang bersifat mendesak, Panglima mengajukan anggaran kepada Menteri Pertahanan untuk dibiayai dari anggaran kontijensi yang bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara. (3) Dukungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dimintakan persetujuan oleh Menteri Pertahanan kepada Dewan Perwakilan Rakyat.

Sementara dalam pengelolaan dana TNI harus mengacu pada Pasal 68 (1) TNI wajib mengelola anggaran pertahanan negara yang dialokasikan oleh pemerintah. (2) TNI wajib mempertanggungjawabkan pengelolaan anggaran pertahanan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Menteri Pertahanan. (3) Pengelolaan anggaran pertahanan negara oleh TNI sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan berdasarkan prinsip transparansi, akuntabilitas, pertanggungjawaban, serta efisiensi untuk menerapkan tata pemerintahan yang baik. (4) Pengelolaan anggaran pertahanan negara oleh TNI dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Maka jika dikaji secara hukum keberadaan permendagri ini melanggar dengan perundang-undangan lebih tinggi yaitu UU No 34 tahun 2004 tentang TNI.

Keempat adalah isu dalam konteks pengungkapan kebenaran atau perjuangan masyarakat korban konflik yang menuntut diperlakukannya Qanun KKR. Setidaknya dengan hadirnya qanun tersebut, prospek atau kebutuhan untuk perdamaian Aceh menjadi lebih bijaksana dimana semenjak penandatangan Memorandum Of Understanding (MoU) pada 2005 dan hadirnya Badan Reintegrasi Aceh, pengungkapan kebenaran atau proses reparasi sebagaimana di amanahkan oleh MoU dan UUPA N0. 11/2006 seperti enggan dihadirkan.

Padahal sebagaimana diketahui, Qanun KKR Aceh sempat menjadi harapan bagi rakyat Aceh, khususnya masyarakat korban konflik yang memang sudah sangat-sangat menunggu janji-janji yang diutarakan oleh legislative dan eksekutif kita. Kita masih ingat ketika Legislatif Aceh pada Febuari 2012 silam mengesahkan 21 rancangan qanun prioritas, dan Qanun KKR berada dalam daftar nomor urut dua (2). Ketua Badan Legislasi DPRA Teungku M. Harun menyebutkan, Rancangan Qanun KKR Aceh terdiri atas 14 bab dengan 62 pasal. Rancangan Qanun KKR lahir dilatarbelakangi oleh konflik Aceh yang telah menimbulkan kerugian jiwa, harta dan benda, serta pelbagai fasilitas umum, di samping terjadinya pelanggaran hak asasi manusia dan tindak kejahatan kemanusiaan.

Menurut Harun, selama ini tidak ada proses hukum yang memadai terhadap pelbagai kasus pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap kemanusiaan, selain korban konflik tak mendapat perhatian dari pemerintah.

“KKR Aceh adalah langkah signifikan untuk mengatasi kelemahan pendekatan keadilan transisi dan menguatkan proses perdamaian di Aceh,” kata Harun. Pembentukan KKR Aceh menemui kendala setelah Mahkamah Konstitusi mencabut UU No 27/2004 tentang KKR Nasional. Namun, kata Harun, meski UU KKR telah dianulir oleh MK, tak menyurutkan masyarakat untuk membentuk KKR di tingkat Provinsi Aceh. “KKR ini bisa menjadi proses pengungkapan kebenaran di tingkat lokal yang dirancang dan dilaksanakan di Aceh,” kata politikus Partai Aceh itu. “Ini bertujuan mendengarkan pengalaman dan harapan korban.”

 Celakanya lagi, pengungkapan kebenaran atau KKR tersebut juga menjadi mandate dari Undang-undang (UU) nasional, seperti UU No. 26/2000. Namun alih-alih membicarakan atau menghadirkan qanun atau UU tersebut, para politisi dan pejabat pemerintahan enggan membicarakannya lebih lanjut di legislative.

Menurut KontraS Aceh, Pemerintah Aceh dan Pemerintah Pusat seharusnya harus lebih proaktif untuk segera bertindak guna menyelesaikan persoalan carut-marut ini. Hampir delapan tahun paska MoU Helsinki ditandangani, arah penyelesaian konsep Aceh yang lebih beribawa seperti tidak menemui titik terang. Padahal ini serius, jalannya sangat mudah dilaksanakan, dimana dalam artikel 3.2.6, disebutkan Pemerintah Aceh dan Pemerintah Indonesia akan membentuk Komisi Bersama Penyelesaian Klaim untuk menangani klaim-klaim yang tidak terselesaikan. Hal ini sangat krusial dihadirkan, karena mengingat mandat BRA pada 2012 sudah berakhir.

Sebagaimana diketahui, Komisi Bersama Penyelesaian Klaim atau Joint Claim Settlement Commission (JCSC) adalah satu dari tiga instrumen dari kesepakatan MoU Helsinki yang ditanda tangani pihak GAM dan Pemerintah RI.

Dalam artikel 3.2.6 MoU Helsinki disebutkan, Pemerintah Aceh dan Pemerintah Indonesia akan membentuk Komisi Bersama Penyelesaian Klaim untuk menangani klaim-klaim yang tidak terselesaikan. JSCS merupakan intrumen penting dalam kaitan reparasi hak-hak korban konflik, terutama berkaitan dengan ganti rugi harta benda yang dirusak, hilang atau dimusnahkan selama masa konflik. UUPA mengamanatkan, JSCS dibentuk paling lama satu tahun sejak UUPA disahkan. (SP/Red.03)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.