Oleh. Drs. Jamhuri, MA*
BELUM lama ini saya bertemu dengan seseorang secara tidak sengaja beliau berkata “orang Gayo adalah orang kaya”, katanya. Saya katakan tidak. Lalu saya tanyakan kembali kepadanya, apa indikator yang digunakan sehingga anda mengatakan orang Gayo itu kaya. Beliau menjelaskan bahwa ketika orang kami (selain Gayo) ingin mendaftar menjadi polisi orang kami selalu katakan “jumlah uang kita masih kalah dengan orang Gayo”. Saya berupaya menjelaskan bahwa pernyataan atau anggapan beliau dan orang-orang yang terlanjur berpendapat begitu adalah salah.
Sebenarnya orang Gayo bukan orang kaya kendati juga tidak tergolong kepada masyarakat miskin, suatu tradisi dalam masyarakat Gayo dimana mereka selalu berupaya agar anak mereka hidup lebih layak dari kehidupan orang tuanya, mereka hanya tahu bahwa kehidupan bisa berubah apabila merubah profesi dari bertani kepada profesi lain, baik menjadi pegawai negeri, polisi, tentara atau menjadi karyawan di perusahaan. Karena itu mereka rela menjual harta guna mendapatkan profesi lain asal jangan menjadi petani. Kalau ingin membuktikan apakah argumen tersebut benar atau salah, bisa menanyakan kembali kepada mereka yang telah berhasil berpindah profesi tersebut apakah mereka masih mempunyai kebun untuk diwariskan kepada mereka, kebanyakan mereka hampir bisa dipatikan akan menjawab pekerjaan yang didapat itulah sebagai warisan dan anak yang telah mendapat pekerjaan tidak lagi berharap adanya harta warisan.
Itulah argumen yang penulis sampaikan kepada seorang teman yang menganggap bahwa orang Gayo itu kaya. Orang yang beranggapan sama seperti teman ini tentu bukan ia sendiri, masih banyak orang-orang yang lain yang berbendapat sama, juga jawaban yang kami berikan juga bukan satu-satunya jawaban yang paling benar, karena kalau kita minta pendapat dari orang lain pasti jawabannya boleh jadi berbeda.
Tidak hanya untuk mendapatkan pekerjaan masyarakat Gayo rela menjual atau menggadaikan harta yang telah didapat selama berpuluh-puluh tahun, bahkan untuk menyekolahkan anak mereka rela menjual atau menggadaikan harta yang dimiliki. Di satu sisi bisa dikatakan itulah semangat orang Gayo dalam berupaya untuk menjadikan generasinya menjadi lebih baik dari generasi sebelumnya, di sisi lain juga itulah upaya yang dilakukan agar generasi Gayo bisa keluar dari tradisi bertani yang selama ratusan tahun sudah dilakoni.
Semangat kerelaan berkorban masyarakat Gayo yang luar biasa dalam merubah kehidupan generasi, yang terkadang tidak memikirkan kehidupan dirinya tertermin dari ungkapan : “kin mera ni kekanakni padih sekulah ke sēn ari sihmi pē i pērah, ari atu pē i pecah ari kayu pē i belah”.
Ungkapan ini menunjukkan semangat masyarakat Gayo dalam merubah kehidupan generasi muda tidak perlu diragukan walaupun mereka tidak memiliki harta, namun apakah semangat ini ada pada generasi muda ! tentu diyakini ada, karena ketika orang tua rela menjual atau menggadai hartanya anak-anak sudah siap dengan syarat yang diminta oleh lembaga dimana mereka yang harus bekerja. Sepeti kita ambil contoh sesuai dengan pernyataan tentang orang Gayo di atas : Ketika kepolisian membuka peluang untuk generasi muda mengikuti tes, orang Gayo banyak yang lulus dan mereka memenuhi syarat dintaranya berbadan sehat dan mempunyai ukuran tinggI badan yang cukup.
Namun ketika pola ini mulai berubah, dimana para orang tua tidak lagi banyak memiliki lahan pertanian sehingga tidak mungkin lagi dijual atau digadai, lembaga kapolisian juga memperketat pada syarat akademik disamping kesehatan dan tingginya badan, maka banyak generasi muda tidak lagi mampu menyahuti keinginan para orang tua yang ingin merubah cita-cita mereka. Kegagalan yang banyak terjadi adalah pada penguatan syarat akademik bukan pada syarat kesehatan.
Kalau kita ingin melihat pergeseran nilai budaya masyarakat Gayo, maka bisa dikatakan bahwa pergeseran yang terjadi masih pada tahapan awal, dimana perubahan kehidupan atau profesi dari bertani kepada yang lain masih mengandalkan kemampuan materi yakni uang dan belum pada kemampuan akademik atau intlektual.
Dr. Yusya’ Abubakar (Dosen Fakultas Pertanian Unsyiah), ketika menjadi narasumber dalam acara Keberni Gayo di Aceh TV tanggal 5 Januari 2013 malah menganggap terjadi penururan dalam hal minat dan kemampuan akademis, beliau mengatakan pada tahun sebelum 1990-an banyak orang Gayo yang kuliah di Perguruan Tinggi yang baik di seluruh Indonesia, seperti UI, UGM, IPB, ITB, USU, Unsyiah dan lain-lain. Tapi sekarang banyak juga kata beliau, namun berkurang dari sebelumnya. Bukti lain dari keberhasilan pendidikan sebelum tahun 1990-an kita bisa melihat banyak mereka-mereka yang ikut mengajar di berbagai perguruan tinggi di seluruh Idnonesia.
Kalau pendidikan tidak diperbaiki mulai dari tingkat dasar, maka pergeseran pola kehidupan sebagai cita-cita masyarakat Gayo pada umumnya tidak bisa terjadi dan kalaupun terjadi membutuhkan waktu yang lama, kita akan kalah dengan orang atau daerah lain dan kita tidak pernah lebih maju dari daerah lain. Dan kalau pendidikan tidak diperbaiki maka anggapan orang bahwa orang Gayo adalah orang kaya karena kerelaan menggorbankan harta dengan tidak mengandalkan kemampuan akademik akan selalu terdengar.
[*] Pemerhati Sosial Budaya Masyarakat dan dosen pada Fakultas Syari’ah IAIN Ar-Raniry Banda Aceh