Di tengah-tengah perkembangan dunia yang sangat komplek baik informasi dan teknologi. Pengaruh peradaban antar bangsa, negara, wilayah dan suku bangsa terjadi baik di bidang politik, pendidikan, sosial dan budaya. Masing-masing dari suku bangsa mempersiapkan strategi penyelamatan, pengembangan dan menebarkan virus kebudayan ke suku bangsa lain baik dengan terstruktur maupun tanpa struktur/ tanpa disengaja. Jika suku bangsa memilki kesadaran yang tinggi akan pentingnya kebudaayaan, suku bangsa itulah yang akan trus eksis dan mencapai masa keemasan. Sebaliknya, suku bangsa yang lemah tingkat ketahanannya akan punah secara identitas dengan cepat atau perlahan.
Kepunahan sebuah suku bangsa dibagi menjadi dua macam kepunahan, pertama punah secara kesuluruhan dalam artian hilangnya penduduk dari sebuah suku bangsa. Kepunahan ini biasanya disebabkan oleh bencana alam, penyakit dan peperangan seperti punahnya suku bangsa Karankawa. Karankawa adalah kelompok penduduk asli Amerika yang memainkan peran integral dalam sejarah Texas. Akan tetapi, penyakit, konflik dengan orang Eropa dan hilangnya wilayah menyebabkan mereka punah. Suku lain yang punah adalah Aborigin Tasmania. masyarakat adat di negara bagian Tasmania yang hancur oleh penyakit. Perang Hitam antara 1828 dan 1832 antara kolonis Inggris dan Aborigin Tasmania juga berkontribusi terhadap kepunahan kelompok ini.
Bentuk kepunahan suku bangsa yang kedua adalah kepunahan kebudayaan baik bahasa, nilai budaya dan seni. Ada banyak suku bangsa yang punah pada sektor kebudayaan seperti suku bangsa Tomini-Tolitoli di Papua.
Lalu bagaimana denga suku bangsa Gayo? Jika melihat dari penomena yang berkembang saat ini, suku bangsa Gayo yang tersebar di kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah, Gayo Lues, sebagian di Aceh Tenggara, Lokop Serbejadi di Aceh Timur. kepunahan suku bangsa Gayo masuk dalam kategori kepunahan yang kedua, punah disektor kebudayaan. Kenyataan ini bisa dilihat dari 2 aspek, bahasa dan nilai budaya.
Bahasa
Bahasa sebagai bagian dari produk budaya memiliki peran yang sangat pital dalam penandaan identitas kelompok. Bahasa Gayo sebagai bahasa ibu merupakan salah satu bahasa daerah dari 722 bahasa daerah di Indonesia (Ethnologue 2009) yang diperkirakan akan segera punah. Berdasarkan hasil penelitian SIL International-Indonesia yang dilakukan di Aceh Tengah pada tahun 2011 bahwa âBahasa Gayo mempunyai ketahanan atau daya hidup di lepel 6b (terancam punah), berdasarkan skala EGIDS (Exstend Intergenrational Discruption Scale merupakan suatu skala ketergantungan antar generasi berlandai yang diperluas. Egid membantu memberikan gambaran untuk mengidentifikasi tingkat ketahanan suatu bahasa)â.
Indikasi dari keterancaman punah ini bisa dilihat dari berbagai aspek. Pertama, Â kebanyakan kosa kata bahasa Gayo sudah hilang, sebagai contoh beben (sejenis pelana yang digunakan di atas kuda berfungsi untuk sebagai tempat untuk membawa barang bawaan hasil pertanian). Kata benda ini hilang akibat benda ini tidak lagi digunakan oleh masyrakat karena pengaruh tekbologi yang digunakan. Kedua, banyak bahasa Gayo sudah tergantikan dengan bahasa Indonesia, contoh Tingkep menjadi Jendela. Hal ini di karenakan bahasa Gayo sudah jarang digunakan dalam komunikasi sehari-hari.
Lebih lanjut, hampir disemua sektor kehidupan pendidikan, rumah sakit, perkantoran, pasar tradisional dan modern, surau-surau penutur bahasa Gayo tidak lagi menggunakan bahasa Gayo sebagai alat komunikasi dalam berintaksi.
Nilai Budaya
Theodorson dalam Pelly (1994) mengemukakan bahwa nilai merupakan sesuatu yang abstrak, yang dijadikan pedoman serta prinsip â prinsip umum dalam bertindak dan bertingkah laku. Keterikatan orang atau kelompok terhadap nilai menurut Theodorson relatif sangat kuat dan bahkan bersifat emosional. Oleh sebab itu, nilai dapat dilihat sebagai tujuan kehidupan manusia itu sendiri.
Sedangkan yang dimaksud dengan nilai budaya menurut Koentjaraningrat (1987:85) adalah nilai budaya terdiri dari konsepsi â konsepsi yang hidup dalam alam fikiran sebahagian besar warga masyarakat mengenai hal â hal yang mereka anggap amat mulia. Sistem nilai yang ada dalam suatu masyarakat dijadikan orientasi dan rujukan dalam bertindak. Oleh karena itu, nilai budaya yang dimiliki seseorang mempengaruhinya dalam menentukan alternatif, cara â cara, alat â alat, dan tujuan â tujuan pembuatan yang tersedia.
Di suku bangsa Gayo ada banyak norma-norma/nilai budaya bisa ditemukan, Menurut Joni MN, M.Pd âada 1000 bahkan lebih nilai budaya/norma-norma terdapat di suku bangsa Gayoâ. Nilai budaya ini dijadikan landasan dalam berintraksi di tengah-tengah masyarakat baik dengan Tuhan, Manusia (antar sesama suku bangsa Gayo dan masyrakat diluar suku bangsa Gayo) dan dengan alam yang bertujuan agar terjadi harmonisasi.
Nilai-nilai budaya yang ada di Gayo belum terdokumentasi dengan pasti berapa jumlah persisnya bentuk buku atau pun tulisan yang lain.
Di sisi lain, kebanyakan masyarakat Gayo tidak lagi mengemplementasikan nilai-nilai ini dalam sendi kehidupan bermasyarakat. Sebagai contoh, nilai âsetie mate gemasih papaâ, nilai-nilai ini tidak lagi diterapkan di masyarakat kalaupun ada hanya segelitir masyarakat saja. Kesetian sekarang diukur dengan materi seperti kesetiannya hanya karena sebuah kepentingan. Selanjutnya hegemoni yang berkembang adalah setiap individu-individu hanya memikirkan nasib sendiri, lihatlah penomena yang terjadi berapa banyak fakir miskin, anak yatim piatu yang hidup dibawah garis kemiskinan. Atau jika ingin lebih ekstrim lagi, ketakpedulian akan norma-norma Gayo seudah merambah kampung-kampung. Lihatlah tradisi Alang tulung berat berbantu (gotong royong/saling membantu antar sesam) kini hanya tinggal cerita. 10 tahun yang lalu kita masih bisa menyaksikan bagaimana tradisi yang dilakukan bebujang (pemuda) pada saat musim bersawah. Mereka bahu membahu saling bergotong royong membantu persawahan janda-janda, anak yatim, raja kini tidak lagi bisa di temukan.
Masalah ini semakin konplit dengan semakin berkurangnya tokoh-tokoh masyarakat yang menngetahui dan paham akan nilai-nilai budaya yang ada di Gayo. Disisi yang lain, generasi muda sebagai pewaris budaya ini hanya berdiam disudut pragmatis dan hidonis kehidupan.
Akhirnya jika kondisi ini terus beralanjut maka Gayo dari persfektif budaya akan punah segera dan Gayo akan berada dalam dokumen suku bangsa-suku bangsa yang telah punah nusantara.(bintang.mukhlis[at]ymail.com)
*Pamong Budaya Aceh Tengah
Sahen ken nenek muyang ni urang Gayo secara antropolis da n biologis ?
Saya sangat mengapresiasi tulisan serinen muklis, dibutuhkan orang-orang yang dapat mengingatkan kita tentang siapa sebenarnya kita dahulu,saat ini dan masa yang akan datang. Kalau boleh saya mengusulkan walaupun ini mungkin pernah dilakukan yaitu, seminar tentang budaya gayo, dimana pesertanya tokoh pemuda/I dari setiap desa (kampung) dengan demikian seluruh lapisan generasi ini dapat mengetahui dan memahami perkembangan disekitarnya saat ini. Kemaslah acara seminarnya seapik mungkin dengan beberapa acara gayo yang anggotanya pemuda/I sendiri minsanya lomba sebuku, melengkan, tengkeh,didong ,saman ,bines,didong sesuk, kekeberen, dan lain-lain. Kalau memungkinkan adakan pemeran budaya gayo pada saat bersamaa, dengan menampilkan peradaban urang gayo, seperti alat pertanian, alat nelayan, cara menagkap hewan hutan (berburu) edet mengerje dan sebagainya. Gandeng pemda dari ketiga kabupaten Gayo Raya Seperti Aceh Tengah, Gayo Lues Dan Bener Meriah sebagai pendukung utama dengan dinas terkaitnya. Esensi dari seminar ini adalah penetrasi kelapisan inti dari urang gayonya agar efektif nantinya yaitu menyelamatkan budaya gayo. Lebih kurange kutiro maaf serinen dan berizin ken maklume.