Membangun Karakter Bangsa, Serius?

Johansyah
Johansyah

Oleh: Johansyah*

INDONESIA Corruption Wacth (ICW), sebagaimana berita pada harian Kompas. Com (06/01/2013) mencatat 40 kasus korupsi di bidang pendidikan  dengan lima modus yang telah mengakibatkan kerugian negara hingga Rp138.9 miliar sepanjang tahun 2012. Dari 40 kasus ini, setengahnya terjadi di tingkat Dinas Pendidikan daerah. Adapun modus yang kerap terjadi berupa laporan fiktif, pungutan liar, mark up anggaran, dan penggelapan anggaran.

Apakah temuan ini mengagetkan? Tidak juga, karena kelima modus korupsi bukan lagi menjadi rahasia. Di sisi lain, lucunya pemerintah berkomitmen membumikan pendidikan karakter untuk membangun karakter generasi muda bangsa ini. Pertanyaannya adalah bagaimana pendidikan karakter akan terwujud, sementara ulah nakal para administrator pendidikan kita tidak terbendung dan semakin menggila? Mungkinkah akan lahir generasi yang berkarakter bersih, jujur, dan bertanggung jawab dari sistem pendidikan yang berlumuran noda penyimpangan?

Roti yang enak tentu hanya akan dihasilkan oleh pabrik roti yang berkualitas dengan pengelola yang profesional. Demikian pula pendidikan, peserta didik sebagai calon out put pendidikan hanya akan berkarakter jujur, berani, bertanggung jawab, bersih, dan karakter baik lainnya jika pengelola dan lembaga pendidikannya juga mengajarkan dan melakukan yang demikian. Ketika pengelola pendidikan tidak mampu meneladankan karakter jujur dan anti korupsi, maka jangan harap karakter tersebut akan mengkristal kepada anak-anak didik kita.

Lebih dari itu, barangkali kita pantas curiga bahwa jangan-jangan malah program pendidikan karakterpun dimanfaatkan juga untuk menjadi celah korupsi dengan beragama cara, misalnya membuat seminar atau pelatihan pendidikan karakter dengan dana yang besar, lalu dana tersebut dimanipulasi sedemikian rupa dalam laporan dengan memark-upnya sehingga sebagian dana tersebut dapat mengalir ke kantong pribadi.

Para pengelola pendidikan sepertinya banyak yang lupa, atau sengaja melupakan bahwa iklim dan budaya bersih, jujur, bertanggung jawab dan disiplin dalam sistem pendidikan mereka sangat berpengaruh terhadap iklim dan budaya pendidikan yang dikembangakan di sekolah. Walau bagaimana pun, sekolah-sekolah akan mengikuti sistem dan budaya pendidikan yang diterapkan oleh Dinas Pendidikan di daerah mereka. Ketika kepala sekolah sering dimintai jatah oleh pejabat dinas, sang kepala sekolahpun biasanya juga akan ‘bermain’ di sekolah karena tidak mau menanggung beban sendiri. Secara psikologis iklim tidak sehat ini akan berpengaruh kepada proses pembelajaran yang diselenggarakan oleh guru.

Sungguh ironis memang, di saat gencar dan menggemanya pendidikan karakter, maka di saat itu pula berbagai aksi-aksi penyimpangan terjadi. Rasanya sia-sia seorang guru mengajarkan nilai-nilai kejujuran kepada anak didiknya karena pada kesempatan tertentu, seperti dalam Ujian Nasional (UN) ternyata mereka diajarakan untuk melakukan kecurangan. Hal ini bukan rahasia lagi karena hampir seluruh sekolah melakukan praktik bodoh seperti ini akibat tekanan dari atasan di Dinas Pendidikan atau pimpinan di jajaran Pemerintah daerah yang menginginkan agar prestasi pendidikan di daerahnya kelihatan baik. Inilah sistem pendidikan reputatif pragmatis.

Secara struktural, pengelola pada Dinas pendidikan adalah role of model (teladan) bagi dunia pendidikan yang mereka kelola. Jika perilaku yang mereka perlihatkan adalah perilaku positif, maka hal ini akan memberi dampak positif pula pada pengawas, kepala sekolah, dan budaya dan kebiasaan di sekolah. Sebaliknya, jika perilaku yang diperlihatkan oleh pengelola pendidikan kita banyak yang negatif, hal ini juga akan memberi dampak negatif kepada semua sistem dan praksis pendidikan.

Apapun ceritanya, yang jelas temuan korupsi oleh ICW dalam dunia pendidikan merupakan masalah serius yang membutuhkan penanganan serius pula. Jika tidak, semua program untuk peningkatan mutu pendidikan dan pembentukan karakter generasi muda akan sia-sia belaka. Sertifikasi guru, perubahan kurikulum, peningkatan standar kelulusan UN dan berbagai upaya lainnya, semua itu tidak akan berarti jika dikelola dan dikendalikan oleh individu-individu yang bermental korup dan berpola pikir pragmatis-individualis.

Menelusuri Akar Masalah

Menyikapi kondisi memilukan di dunia pendidikan saat ini, kita harus berangkat dari akar masalah korupsi di dunia pendidikan. Setidaknya menurut catatan peneliti ICW Siti Juliantari, sebagaimana diberitakan pada media online  Okezone.com (12/01/2013) lalu, ada beberapa penyebab maraknya korupsi di dunia pendidikan, yaitu besarnya anggaran pendidikan, dinamika politik, kualitas tata kelola anggaran pendidikan, terkait kebijakan dan sistem pengawasan internal dan eksternal pemerintah, dan cakupan audit yang rendah juga menjadi dasar untuk menindak kasus korupsi.

Kelima akar masalah penyebab korupsi di dunia pendidikan inilah yang sebenarnya menjadi fokus perbaikan pemerintah dalam membenahi sistem pendidikan, bukan malah hanya bertumpu pada problem kemerosotan moral anak didik secara parsial. Anggaran pendidikan boleh besar namun bagaimana caranya agar pengelolaannya baik dan benar. Demikian halnya dengan dinamika politik, bahwa kita berharap pemerintah tidak membawa kepentingan kelompok kepada dunia pendidikan. Selain itu, tentu kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) harus terus ditingkatkan.

Berdasarkan beberapa akar masalah di atas, dapat disederhanakan lagi bahwa fokus utama yang perlu diperbaiki sebenarnya adalah Sumber Daya Manusia (SDM), yaitu para pengelola pendidikan kita yang sebagian besarnya masih bermental korup dan calo. Mengapa sampai pengelola pendidikan bermental seperti ini? Di antara penyebabnya adalah karena pola rekrutmen Calon pegawai Negeri Sipil (CPNS) yang tidak berkualitas, tidak ada kriteria yang jelas, dan tentu prosesnya sangat sarat dengan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Penyebab lain adalah lemahnya penegakan hukum di negeri sehingga orang tidak takut melakukan berbagai bentuk pelanggaran.

Sekiranya hal di atas tidak ditangani secara serius, tampaknya kita perlu menunda impian untuk melahirkan generasi jujur karena ternyata sistem kita masih penuh dengan manipulasi dan kecurangan. Atau kita tidak perlu berkhayal untuk melahirkan generasi yang antikorupsi dan bertanggung jawab karena pengelola pendidikan kita banyak yang melakukan korupsi dan enggan bertanggung jawab.

Sebagai catatan akhir tulisan ini, barangkali tidak berlebihan jika penulis mengatakan bahwa haram rasanya kita bicara tentang pembentukan watak dan karakter generasi muda ke depan karena itu semua hanya jargon dan omong kosong belaka. Jika memang serius untuk membangun karakter bangsa ini melalui pendidikan karakter, maka marilah kita bertobat nasuha secara nasional untuk mengakui kesalahan dan tidak mengulanginya, terutama para pengelola pendidikan yang harus berjanji untuk tidak melakukan korupsi. Semoga menjadi bahan renungan kita bersama. johansyahmude[at]yahoo.co.id)

*Mahasiswa Program Doktor (S3) Pendidikan Islam PPs IAIN Ar-Raniry Banda Aceh

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

3,627 comments

  1. Siapa Bilang Guru Tidak Bisa Korupsi

    Sindiran terhadap diriku yang memilih profesi guru sudah tak terhitung jumlahnya. Termasuk orang tua yang dengan terang-terangan menyarankan tuk beralih profesi, beralih ke tempat yang lebih basah. Saya sangat memahami sang penyindir maupun orang-orang terdekat saya atas keinginan mereka terhadap saya. Ekspektasi mereka terhadap diriku cukup besar, dan karena itu menimbulkan rasa kecewa yang kurang “membahagiakan” mereka.

    Saking bandelnya, sampai detik ini saya masih enggan keluar dari zona nyaman ku di sekolah.

    Penghasilan guru bisa dihitung tiap bulannya, cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari (standar hidup orang tidak waras ukuran saya), sehingga untuk berbagi atau sekedar membantu meringankan beban orang-orang di sekitar rasanya tidak mungkin.

    Belum lagi tuntutan kebiasaan buruk lingkungan saya yang sarat dengan materi, sebutlah upacara adat kematian maupun upacara syukuran (pernikahan, ulang tahun, rumah baru, mobil baru… agh semua yang baru baru tidak luput dari syukuran) yang menurut saya sekedar seremonial ajang pamer kekayaan.

    Guru (baca:saya) satu ini memang tidak tahu terima kasih, demikian mereka kerap ungkap, baik secara terang-terangan maupun lewat bahasa tingkat tinggi yang intinya menyindir. Beruntunglah saya yang tidak paham bahasa mereka bahkan kadang pura-pura bego.

    Dalam beberapa acara keluarga, yang lain begitu sibuk menyiapkan materi makanan-minuman-transportasi dll dsb yang sering ngutang. Sementara Guru (baca :saya) satu ini, paling hadir membawa pantat!

    Apakah saya kebal dengan sindiran?, tidak peduli kah saya dengan urusan adat, kebiasaan, budayaku? keluargaku?

    Satu-satunya cara yang aku tahu untuk memperkaya diri adalah dengan korupsi. karena berdagang aku tidak pandai gak punya modal, warisan memang banyak-warisan turun temurun yaitu hutang nenek moyang aset budaya (preeettt).

    Apasih yang tidak bisa diakali?
    Kebiasaan suka ngusil plus ngakali kebawa sampai sekarang, dan itu sangat mempuni tuk melakukan korupsi sekalipun profesi guru bagi sebagian orang tidak mungkin.

    Hal-hal apa saja yang bisa dikorupsi Guru(baca saya) :
    1. Durasi mengajar, jatah mengajar menurut jadwal selama 3 jam, yang dilakukan 2 jam. 1 jam dikorupsi.

    1 jam X 4 mata pelajaran X 4 minggu X 12 bulan = 192 jam. luar biasa kan yang bisa saya korupsi. apasih yang bisa dilakukan selama 192 jam agar menghasilkan?

    a. bukankah 192 jam pasti dibayar siswa? bukankah mengajar tak mengajar pasti dpt gaji? 192 jam X Rp.5.000 = 960.

    b. 192 jam saya gunakan tuk …. belum berani ungkap di sini jika anda perlu lewat inbox aja, katakanlah hasilnya =3 jt.

    Lha bisa saja hal ini dipertanyakan, bagaimana dengan pengawasan? bagaimana dg ini dan

    2. Sapidol, pembelian alat dan bahan praktek, pungutan liar, tugas dinas, dllllll.
    Memang kelihatan sedikit, tidak berarti. Tapi adakah korupsi dibedakan dari besar kecilnya materi yang dikorupsi?
    Lahan tuk korupsi bagi setiap pribadi pelaku bisa saja sangat berbeda, tugas tambahan juga bisa mempengaruhi.
    Lalu apa sebenarnya maksud saya atas uraian di atas?

    Begini, system apapun yang dibangun, tetap BISA DIMANIPULASI untuk kepentingan saya pribadi atau siapapun. Jadi binatang KEPENTINGAN perlu dikelola.

    Rasanya, saya perlu mendalami konteks manusia secara utuh dengan harapan sebagai guru (baca : saya) punya kemampuan mendidik manusia seutuhnya yang kelak, dimanapun mereka berada mereka mampu eksis dan menjadi agen-agen pembaharu-pelaku perdamaian, kesejahteraan, kejujuran, kebahagiaan…

    Agar keinginan tersebut terarah, maka salah satu cara adalah menulis dan iklas dikoreksi, dihina, direndahkan…

    Mungkin itu ekspektasi berlebihan terhadap diri saya, paling tidak menjadi agen pembaharu bagi diri sendiri.

  2. KPK dan Negeri Koruptor (Sebuah Nasihat)

    Berita KPK dan POLRI

    Berita Seputar KPK dan POLRI

    Pertanyaan:

    Bismillah

    Seperti yang sedang kita dengar, carut-marut media masa dijejali dengan fenomena benturan POLRI dan KPK. Pihak POLRI merasa terancam kemudian mereka berusaha memeja hijaukan Kompol Novel Basweidan. Masalahnya lagi-lagi soal korupsi. Seolah sejak dulu tidak pernah ada habisnya. Bagaimanakah sikap kita sebagai rakyat biasa? Mohon tanggapannya.

    Jawaban:

    Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, wa ba’du

    Permasalahan yang Anda sampaikan, termasuk pertanyaan kelas besar. Menyangkut stabilitas masyarakat dan negara. Tidak sembarang orang boleh memberikan fatwa dan penilaian. Yang layak memberikan fatwa beserta penjelasan hukumnya adalah mereka yang sudah pada taraf ulama. Memberikan komentar serampangan, yang menyangkut massalah stabilitas nasional, termasuk sikap orang munafik. Allah berfirman:

    وَإِذَا جَاءَهُمْ أَمْرٌ مِنَ الْأَمْنِ أَوِ الْخَوْفِ أَذَاعُوا بِهِ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُولِي الْأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ

    “Apabila datang kepada mereka suatu berita menyangkut keamanan atau ancaman ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri).” (QS. An-Nisa: 83)

    Isu pemerintahan termasuk masalah besar. Sikap yang tepat adalah menyerahkan kepada yang berhak dan tidak mudah berkomentar. Karena itu, keterangan yang kami sebutkan di sini hanya sebatas nasihat ringan dari seorang muslim kepada saudara muslim yang lain. Semoga bermanfaat dan bisa diterima dengan baik.

    Pertama, sesungguhnya pemimpin adalah cermin dari rakyatnya.

    Seolah telah menjadi sunatullah, bahwa pemimpin yang ditunjuk untuk mengatur suatu rakyat, sifatnya tidak jauh dari rakyatnya. Karena pada awalnya setiap pemimpin adalah rakyat, yang kemudian dia ditunjuk untuk mengurusi msyarakatnya.

    Oleh karena itu, jika kita berharap ingin memiliki pemimpin yang baik, jadilah rakyat yang baik. Sebaliknya, ketika umumnya rakyat adalah masyarakat yang “cacat mental”, hampir bisa dipastikan, pemimpinnya tidak jauh dari sifat itu.

    Untuk itu, boleh saja Anda mengatakan: ‘wajar saja banyak petinggi Indonesia yang korup, karena memang rakyatnya juga suka korup dan makan harta haram’

    Allah berfirman:

    وَكَذَلِكَ نُوَلِّي بَعْضَ الظَّالِمِينَ بَعْضًا بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

    “Demikianlah kami jadikan sebagaian orang zalim sebagai pemimpin bagi orang zalim yang lain, disebabkan perbuatan maksiat yang telah mereka lakukan.” (QS. Al-An’am: 129).

    Mari kita perhatikan, sebab utama Allah menunjuk orang zalim sebagai pemimpin adalah perbuatan maksiat yang pernah dilakukan oleh rakyatnya. Karena sejatinya, perbuatan maksiat termasuk bentuk kezaliman.

    Mengapa Harus Pemimpin yang Zalim?

    Ya, keberadaan pemimpn zalim yang menguasai urusan mereka, akan menjadi hukuman dunia bagi rakyatnya yang juga telah melakukan kezaliman dengan berbagai maksiat.

    Dari sinilah para ulama mengatakan:

    كما تكونون يولى عليكم عمالكم أعمالكم

    “Sebagaimana kondisi kalian, maka seperti itulah pemimpin yang akan mengatur kalian. Pemimpin kalian itu sesuai dengan amal kalian.”

    Keterangan ini diriwayatkan al-Qudhai dalam Musnad asy-Syihab dari Hasan al-Basri, dari Abu Bakrah al-Anshari, secara marfu’ (dengan mencantumkan nama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam). Namun yang benar, ini bukan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana keterangan as-Sakhawi dalam al-Maqasid al-Hasanah.

    Kalimat ini benar secara makna, meskipun bukan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Disamping itu, dikuatkan oleh beberapa dalil lainnya.

    Diriwayatkan al-Baihaqi dari Ka’b al-Akhbar, beliau mengatakan:

    إن لكل زمان ملكا يبعثه الله على نحو قلوب أهله ؛ فإذا أراد صلاحهم بعث عليهم مصلحا ، وإذا أراد هلاكهم بعث عليهم مترفيهم

    “Sesungguhnya di setiap zaman ada pemimpin yang Allah tunjuk sesuai dengan keadaan hati masyarakatnya. Jika Allah hendak memperbaiki masyarakat ini maka Allah tunjuk pemimpin yang baik. Dan jika Allah hendak membinasakan mereka, Allah tunjuk pemimpin yang zalim. (Syuabul Iman Al-Baihaqi, 9:491).

    Ibnul Qoyim dalam Miftah Dar As-Sa’adah mengatakan:

    وتأمل حكمته تعالى في أن جعل ملوك العباد وأمراءهم وولاتهم من جنس أعمالهم بل كأن أعمالهم ظهرت في صور ولاتهم وملوكهم فإن استقاموا استقامت ملوكهم وإن عدلوا عدلت عليهم وإن جاروا جارت ملوكهم وولاتهم وإن ظهر فيهم المكر والخديعة فولاتهم كذلك وإن منعوا حقوق الله لديهم وبخلوا بها منعت ملوكهم وولاتهم ما لهم عندهم من الحق وبخلوا بها عليهم

    “Renungkanlah hikmah Allah Ta’ala, dimana Dia menjadikan pengusaha para hamba-Nya, pemimpin mereka, yang sejenis dengan amal perbuatan mereka. Bahkan amal perbuatan mereka, nampak dalam sikap pemimpin dan penguasa mereka. Jika para hamba bisa istiqamah, maka pemimpin mereka akan istiqamah, sebaliknya, jika mereka menyimpang maka pemimpin mereka juga akan menyimpang. Jika mereka berbuat zalim, pemimpin mereka juga berbuat zalim, jika rakyat suka menipu maka pemimpin mereka juga sama. Jika rakyat tidak mau menyerahkan hak-hak Allah yang menjadi kewajiban mereka maka pemimpin akan menghalangi mereka untuk mendapatkan hak rakyat dan bersikap bakhil terhadap rakyat…” (Miftah Dar as-Sa’adah, 1:253).

    Saatnya memulai perbaikan dari diri kita masing-masing. Jika kita berharap memiliki pemimpin yang bebas korupsi, bebas kezaliman, perhatian terhadap rakyat kecil, aspiratif, berupaya mewujudkan syariat Islam, dan seabreg harapan lainnya, maka hadapkan satu pertanyaan untuk diri Anda. Sudahkah Anda melakukan melakukan hal itu secara personal?

    Kedua, perbanyak memohon kepada Allah, agar Dia memberi hidayah dan taufiq bagi pemimpin kita.

    Kebiasaan semacam ini telah menjadi ciri ahlus sunah sejak masa silam. Meskipun bisa jadi ada pemimpin mereka yang zalim, mereka berusaha untuk tetap mendoakan kebaikan bagi pemimpinnya.

    Imam al-Barbahari mengatakan:

    وإذا رأيت الرجل يدعو على السلطان فاعلم أنه صاحب هوى وإذا سمعت الرجل يدعو للسلطان بالصلاح فاعلم أنه صاحب سنة إن شاء الله

    “Jika Anda melihat ada orang yang mendoakan keburukan untuk pemimpin, ketahuilah bahwa dia adalah pengikut hawa nafsu (aqidahnya menyimpang). Dan jika Anda melihat ada orang yang mendoakan kebaikan untuk pemimpin, ketahuilah bahwa dia Ahlus Sunah, insya Allah.” (Syarh as-Sunnah, Hal. 51).

    Selanjutnya, al-Barbahari membawakan riwayat perkataan seorang ulama besar, Fudhail bin Iyadh rahimahullah, yang memberikan nasihat:

    لو كان لي دعوة مستجابة ما جعلتها الا في السلطان

    “Andaikan saya memiliki satu doa yang pasti terkabulkan, tidak akan aku ucapkan kecuali untuk mendoakan kebaikan pemimpin.”

    Kemudian ada orang yang bertanya, mengapa harus demikian? Beliau menjawab:

    إذا جعلتها في نفسي لم تعدني وإذا جعلتها في السلطان صلح فصلح بصلاحه العباد والبلاد فأمرنا أن ندعو لهم بالصلاح ولم نؤمر أن ندعو عليهم وإن جاروا وظلموا لأن جورهم وظلمهم على أنفسهم وصلاحهم لأنفسهم وللمسلمين

    “Jika doa itu hanya untuk diriku, tidak akan kembali kepadaku. Namun jika aku panjatkan untuk kebaikan pemimpin, kemudian dia jadi baik, maka masyarakat dan negara akan menjadi baik. Kita diperintahkan untuk mendoakan kebaikan untuk mereka, dan kita tidak diperintahkan untuk mendoakan keburukan bagi mereka, meskipun mereka zalim. Karena kezaliman mereka akan ditanggung mereka sendiri, sementara kebaikan mereka akan kembali untuk mereka dan kaum muslimin.” (Syarh as-Sunnah, Hal. 51).

    Allahu a’lam

    wassalam,.

  3. BILA BUDAYA KORUPSI MERACUNI BIROKRASI,……???

    Oleh Ustadz Zainal Abidin, Lc.

    BUDAYA KORUPSI MAKIN BERKARAT,…..!!!!!!

    BILA BUDAYA KORUPSI MERACUNI BIROKRASIMasyarakat Indonesia sudah tidak asing lagi dengan kata korupsi bahkan rakyat jelata yang tinggal dipelosok desa pun mengenal korupsi. Gerakan anti korupsi digelar disetiap tempat, gerakan pemberatasan KKN digulirkan dan jihad melawan kriminal birokrasi ditegakkan dengan harapan prilaku insan birokrasi dan sistem pemerintahan berubah menjadi lebih baik. Hampir seluruh lapisan masyarakat Indonesia berkeinginan negerinya yang tercinta bebas dari penyakit korupsi serta sistem birokrasi yang ruwet sehingga tercipta sistem sosial, politik dan ekonomi yang adil, bermoral dan agamis. Namun harapan indah itu saat ini seakan hanya ada dalam angan-angan bahkan mungkin sebuah mimpi karena betapa banyak usaha yang telah dilakukan namun penyakit ini seakan sudah mengakar kuat kuat sehingga tidak bergeming. Bahkan berbagai bencana yang mendera negeri kita belum juga mampu merubah perilaku para koruptor dan para birokrat.

    Berbagai kejahatan berlindung di bawah payung hukum positif dan tanpa diketahui masyarakat atau bahkan aparat penegak hukum terlibat didalamnya. Apabila ada yang terbongkar, itu hanya kasus-kasus tertentu saja dan itupun terkadang tidak ada tindak lanjutnya hingga masyarakat lupa dan kasus dianggap selesai.

    Ajaran agama dan nilai moral seolah tidak lagi mempan membendung kejahatan korupsi dan menghindarkan umat manusia dari kecenderungan berkhianat, menyimpang dan berdusta. Nasihat agama sepertinya tak berbekas, para tokoh agama kehilangan wibawa, moral dan ritual ibadah mandul tidak memberi pengaruh pada prilaku keseharian. Seharusnya setiap ibadah mampu merubah prilaku lebih bagus dan mental lebih baik sebagaimana firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala tentang shalat,

    Sesungguhnya shalat itu mampu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. (Qs al-Ankabût/29:45)

    Benar apa yang dikatakan al-Hasan al-Bashri rahimahullah bahwa barangsiapa yang shalatnya tidak bisa mencegahnya dari perbuatan keji dan munkar maka shalatnya tidak bisa disebut shalat bahkan akan menjadi bumerang bagi pelakunya.[1]

    Beribu-ribu umat Islam baik pegawai negeri maupun karyawan swasta menunaikan shalat bahkan hampir seluruh masjid perkantoran dan perindustrian tiap waktu shalat tidak pernah sepi dari jamaah, acara kerohanian yang berupa kajian agama, dzikir berjamaah, istighasah, renungan dan mabit mereka lakukan, namun cacatan kejahatan agama, moral dan kemanusiaan tidak berkurang. Aksi kriminalisasi sosial dan agama makin marak, bahkan korupsi, suap, sogok, pungli dan money politics, termasuk penyelundupan, illegal logging (pembalakan liar), illegal fishing (pencurian ikan) dan illegal mining (penambangan liar) makin subur.

    Kenapa korupsi dan budaya suap menjadi tradisi yang susah diberantas ? Sebab utama adalah keimanan yang lemah, kesempatan terbuka lebar, lingkungan yang mendukung dan sanksi hukum yang tidak tegas terhadap pelaku korupsi bahkan sebagian pelakunya ada yang tidak tersentuh hukum sama sekali.
    SEBAB-SEBAB KORUPSI

    Mental korupsi melekat pada diri sebagian anak bangsa. Limbah suap mencemari setiap lorong kehidupan. Budaya KKN menghiasi hampir seluruh lapisan masyarakat baik kelas bawah, menengah maupun atas. Tidak bisa dipungkiri, para koruptor yang bekerja di instansi pemerintah maupun swasta adalah manusia biasa, kadang imannya menguat, kadang melemah. Ketika iman sedang menguat, keinginan untuk berbuat baik juga menguat. Namun ketika iman melemah, kecenderungan berbuat jahatpun menguat termasuk korupsi dan maksiat lainnya. Ada beberapa faktor yang secara signifikan mendorong seseorang untuk melakukan tindakan korupsi dan menistakan harga diri dengan menerima suap dan uang pelicin dalam menjalankan tugas dan amanah pekerjaannya, diantaranya :

    Lemahnya semangat keagamaan dan menurunnya indikasi keimanan.
    Mengikuti keinginan syahwat dan menuruti kelezatan dunia yang semu yang tak pernah kenal batas.
    Pembelaan dan nepotisme terhadap keluarga secara berlebihan sehingga mematikan sikap obyektif, rasa keadilan, prilaku amanah dan profisionalime.
    Memilih teman-teman buruk, pembisik-pembisik jahat, patner-patner culas dan kroni-kroni yang korup sehingga peluang korupsi terbuka lebar.
    Menempatkan para pejabat atau petugas yang kurang ikhlas dalam pengabdian dan kurang bertanggung jawab dalam mengemban tugas sehingga mereka banyak melakukan aji mumpung yaitu mumpung jadi pejabat.
    Terpengaruh dengan gaya hidup yang glamor dan serba hedonis.
    Terpengaruh dengan pemikiran dan prinsip-prinsip hidup yang meyimpang dan matrialistis.
    Terpedaya dengan kehebatan materi dan kenikmatan harta sesaat sehingga silau dengan fatamorgama dunia. Bahkan muncul anggapan bahwa harta benda adalah segala-galanya.
    Diktator dalam mengendalikan kepemimpinan membuat para pemimpin dan pejabat gampang korupsi.
    Tekanan pihak asing yang senantiasa mengatur kebijakan politik dan ekonomi suatu negara akan membuat para pengelola negara gampang terjebur dalam tindak korupsi.

    Barangsiapa yang ingin memerangi korupsi hendaknya menganalisa sebab-sebab diatas secara cermat dan mencari solusi serta penangkalnya secara bijaksana dan penuh dengan ketegasan dalam memberi sanksi. Namun sehebat apapun aturan hukum yang ingin diterapkan maka Islam merupakan solusi utama untuk menghilangkan tradisi korupsi karena dengan keimanan kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala secara benar yang disertai dengan keimanan kepada nama-nama dan sifat-sfat-Nya secara aplikatif lalu ditambah beriman kepada malaikat yang senantiasa mencatat semua ucapan dan perbuatan manusia. Jika ini sudah benar, maka akan muncul murâqabah, control penuh dan interopeksi sempurna terhadap seluruh tindakan yang diperbuat seorang hamba.
    MENGUBUR TRADISI KORUPSI DAN BUDAYA SUAP

    Mengakarnya budaya korupsi, suap, sogok, money politics, pungli dan kelompok turunannya di tubuh birokrasi setiap lembaga, baik negeri maupun swasta merupakan fakta dan tantangan paling fenomenal bagi agama-agama samawi, terutama agama Islam, yang secara tegas mengutuknya. Sebagaimana yang telah ditegaskan Abdullah bin Amr radhiallahu ‘anhu dengan perkataan beliau,

    لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم الرَاشِي وَالمُرْتَشِيْ

    Rasulullah mengutuk orang yang menyuap dan orang yang disuap.[2]

    Dalam bahasa agama, korupsi, suap, sogok, uang pelicin, money politics, pungli dan kelompok turunannya digolongkan sebagai risywah, yakni tindakan atau perbuatan seseorang yang memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada orang lain dengan tujuan mempengaruhi keputusan pihak penerima agar keputusannya menguntungkan pihak pemberi meski dengan melawan hukum.

    Umumnya, risywah terjadi melalui kesepakatan antara dua pihak yaitu pemberi suap (râsyi) dan penerimanya (murtasyii). Tapi, kadang ia juga melibatkan pihak ketiga sebagai perantara atau dikenal sekarang dengan sebutan markus (makelar kasus).

    Praktik risywah semula berakar dan tumbuh hanya di ruang pengadilan, kemudian berkembang hampir ke semua lini kehidupan masyarakat, bahkan untuk suatu yang tidak logis. Risywah tidak hanya subur di negara kita, di negara lain, termasuk di negara maju sekalipun juga berkembang. Padahal, Islam menegaskan, risywah merupakan tindakan yang sangat tercela, dibenci agama, dan dilaknat Allâh dan Rasul-Nya.

    Risywah terus terjadi tanpa mengenal henti. Ia mengakar, menjamur, bahkan selalu menabur benih baru korupsi dan semakin memberi impresi tentang parahnya fenomena risywah di negara kita, seakan mementahkan komitmen pemerintah dalam memberantas korupsi, suap, sogok dan sebangsanya.

    Oleh karena itu, memelihara dan menjalankan amanah pada koridor yang benar suatu keharusan. Sebab, amanah merupakan inti dari tugas mulia yang Allâh Subhanahu wa Ta’ala berikan kepada hamba-Nya di dunia. Menghamba secara tulus kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala berarti menjalankan amanah. Ulama dan ahli agama menjalankan amanah dengan menyebarkan risalah agama, presiden menjalankan amanah melalui jabatannya, semua wakil rakyat, pejabat publik dan kita sebagai rakyat, wajib menjalankan amanah dengan menjadi warga negara yang baik. Dengan kata lain, semua harus menjalankan ketaatan, patuh, dan tunduk sesuai dengan posisi masing-masing. Bila sikap amanah menjadi penghias dalam bekerja dan muamalah, kesuksesan dan kepercayaan akan teraih. Tak heran jika Islam sangat mengutamakan amanah dalam bekerja dan muamalah meskipun kepada orang kafir.

    Sesungguhnya Allâh menyuruh kamu untuk menunaikan amanah kepada yang berhak menerimanya dan (menyuruh kamu) apabila kalian menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkannya dengan adil. Sesungguhnya Allâh memberikan pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allâh adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat (Qs an-Nisâ‘/4:58).

    Amanah yang dimaksudkan di sini mencakup semua bentuk amanah yang wajib atas manusia, mulai dari hak Allâh atas hamba-Nya, seperti shalat, zakat, puasa, kafarat, nazar, dan lain sebagainya. Juga sesuatu yang diamanahkan meski tak seorang hamba pun mengetahuinya, seperti titipan dan lain sebagainya. Allâh Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan untuk menunaikannya.

    Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allâh dan Rasul (Muhammad) dan janganlah kamu mengkhianati amanah-amanah yang dipercayakan kepadamu sedangkan kamu mengetahui (Qs al-Anfâl/8:27)

    Dalam menafsirkan ayat di atas, Ibnu Abbâs radhiallahu ‘anhu, dalam riwayat Ibnu Abu Hâtim rahimahullah, berkata, “Seluruh pekerjaan yang diamanahkan Allâh Subhanahu wa Ta’ala kepada setiap hamba-Nya yaitu perkara fardhu, maka Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya ‘Janganlah kalian khianati Allah, yakni jangan kalian mencuranginya.’[3]

    Bermodal kesadaran di atas, seharusnya kita mampu keluar dari kebiasaan buruk risywah dan mengubur tradisi korupsi sedalam-dalamnya. Risywah membuat orang lain kehilangan hak, negara kehabisan devisa, dan rakyat terancam masa depan dan hidup menderita.

    Risywah yang dilakukan oleh perorangan itu, pada akhirnya membawa kerusakan yang konkrit secara kolektif dan menyeluruh. Moral bangsa rusak secara sistematis, kredibilitas negara rusak, nama harum bangsa ternodai, karakter anak bangsa tercemar dan kita kehilangan pegangan dalam menentukan masa depan anak cucu.
    EFEK SUAP DAN KORUPSI

    Budaya suap-menyuap, korupsi, kolusi yang mendarah-daging di Indonesia, semakin menyulitkan bahkan menggagalkan upaya kita untuk menempuh jalur bisnis dan birokrasi yang lurus dan bersih. Tampaknya, semua urusan bisa berjalan lancar asalkan ada “saling pengertian”. Bahkan, semua menjadi “bisa diatur” sesuai dengan keinginan dan hawa nafsu. Ini sudah menggurita dan berdampak buruk bagi individu, masyarakat dan negara.

    Pelaksanaan tender proyek di beberapa instansi misalnya, seperti proyek pengadaan barang dan jasa, pembangunan dan lain sebagainya. Sungguh tak lagi berjalan secara profesional. Nilai kontrak dalam pengadaan barang dan jasa sering kali di-mark up atau digelembungkan sebelum dilaksanakan. Dan sudah menjadi rahasia umum siapapun yang bisa lolos me-mark up anggaran akan mendapat imbalan, padahal mereka sudah digaji. Dan bagaimana uang semacam itu dapat mengalir kepada mereka padahal tidak ada perinciannya dalam anggaran ? Tentu karena ada penyimpangan.

    Ada seseorang yang pernah terjebur dalam urusan semacam itu mengatakan bahwa ia menawarkan kepada suatu instansi, harga satu rim kertas HVS Rp 26.000, Ia sudah mendapatkan laba untuk perhitungan itu. Di luar dugaan, pihak instansi memberikan harga lebih mahal, Rp 28.000 dan yang lebih mengagetkan lagi mereka meminta agar kuitansi tagihannya ditulis dengan harga Rp 45.000. Alasannya macam-macam. Karena orang yang menawarkan ini mengetahui hukum me-mark up anggaran dan sanksinya di dunia maupun di akherat, dia menolak tawaran itu, yang artinya dia rela melepas keuntungan sekitar Rp 10 juta per bulan. Bagaimana dengan proyek bernilai milyaran?

    Yang pasti, saat mark up dilakukan, upeti dijalankan, sehingga pekerjaan dan hasilnya pun tidak profesional seperti yang diharapkan. Karena sering kali ada istilah “saling pengertian” dengan mengorbankan kualitas komponen dan spesifikasi pekerjaan akan lolos saat pemeriksaan. Karena si pemeriksa sudah dibutakan dengan tebalnya amplop. Maka jangan heran jika jembatan baru dibangun jebol, jalan umum baru dibuat rusak, gedung baru dibikin hancur.

    Jelas, suap dan semacamnya hanya akan merugikan negara dan masyarakat. Rakyat kecil yang tidak tahu-menahu akan terus hidup sengsara. Kekayaan negara yang seharusnya dapat dipergunakan untuk kemaslahatan mereka menjadi salah alokasi bahkan hanya untuk memperkaya pribadi. Akibat selanjutnya, kepercayaan masyarakat kepada para pengelola pemerintah memudar. Ditambah lagi dengan berita tentang hukum yang dapat diperjual-belikan. Ini semakin membuat pesimis para pencari keadilan sehingga kondisinya persis seperti yang digambarkan Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam dalam sabdanya,

    بَادِرُوْا بِالأَعْمَالِ سِتًّا: إِمَارَةُ السُّفَهَاءِ وَكَثْرَةُ الشُّرَطِ وَبَيْعُ الحُكْمِ وَاسْتِخْفَافًا بِالدَّمِ وَقَطِيْعَةُ الرَّحِمِ وَنَشْأً يَتَّخِذُوْنَ القُرْآنَ مَزَامِيْرَ يُقَدِّمُوْنَ أَحَدُهُمْ لِيُغَنِّيَهِمْ وَإِنْ كَانَ أَقَلَّهُمْ فِقْهًا

    Bergegaslah melakukan amal (sebelum datang-red) enam perkara: munculnya pemimpin yang pandir, banyaknya pembela pemimpin dzalim, jual beli hukum, meremehkan darah, putusnya silaturahim, hadirnya generasi muda yang menjadikan al-Qur’ân sebagai seruling, ia dijadikan tokoh bagi umat manusia meskipun ilmunya sangat sedikit.[4]

    Akhirnya, kecemburuan kepada orang kaya dan para pengelola negara tak terbendung, kebencian rakyat kepada mereka memuncak sehingga mereka sangat mudah terprovokasi dan terbawa arus anarkis.

    Bagi dunia bisnis atau usaha swasta, semua yang tidak dijalankan secara profesional akan menurunkan daya saing. Kalau kebesaran dan kemajuan bisnis hanya bergantung kepada kedekatan dengan pejabat, kerabat, atau dukungan aparat, bukan dilandasi profesionalisme, akan mudah goyah dan tak akan mampu berkompetisi dalam persaingan sehat. Dan bila para pengusaha dan aparat negara sudah kongkalikong, timbullah penyelewengan, penyelundupan, penggelapan dan seterusnya.

    Bila nepotisme dan suap menjadi azas dalam dunia kerja, maka pegawai yang diterima tidak lagi profesional dan transparan, tidak lagi berdasarkan kualifikasi yang benar. Sehingga terjadilah ketidakadilan. Orang-orang yang memenuhi syarat terzalimi; Orang yang seharusnya pantas memegang amanah pekerjaan dan jabatan, tersingkirkan.

    Ketika diminta menjelaskan dampak suap-menyuap, Syaikh Bin Bâz rahimahullah menguraikan, “Di antara dampak suap adalah antara lain menzalimi orang-orang lemah, melumatkan hak-hak mereka, atau mereka terlambat dalam mendapatkan hak-hak tersebut, dan demikian itu setelah melalui proses berbelit-belit atau pemberian uang pelicin. Suap bisa merusak moral orang-orang yang mengambil uang suap, baik seorang hakim, pegawai dan yang lainnya. Bahkan mereka memenangkan kepentingan hawa nafsunya dan merampas hak-hak orang lain yang tidak memberi uang suap atau mereka tidak mendapatkan hak-haknya sama sekali. Ditambah lemahnya keimanan orang yang mengambil uang suap. Maka dia berada dalam lembah murka Allâh k dan siksaan-Nya baik di dunia dan akhirat. Allâh k hanya menunda, bukan karena lupa. Dan boleh jadi siksaan disegerakan di dunia sebelum akhirat, sebagaimana yang telah disebutkan dalam hadits yang shahih bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

    مَا مِنْ ذَنْبٍ أَحْرَى أَنْ يُعَجِّلَ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى الْعُقُوبَةَ لِصَاحِبِهِ فِي الدُّنْيَا مَعَ مَا يَدَّخِرُ لَهُ فِي الْآخِرَةِ، مِنَ الْبَغْيِ وَقَطِيعَةِ الرَّحِمِ.

    Tidaklah ada suatu dosa yang paling layak disegerakan sanksinya oleh Allâh k bagi pelakunya di dunia, sementara masih ada simpanan baginya siksaan di akhirat dibanding melampui batas dan memutuskan silaturrahmi.[5]
    TIDAK SEKADAR PENJARA

    Dengan demikian, melawan korupsi dapat dimasukkan dalam kategori jihad, yaitu jihad melawan hawa nafsu yang menyimpang, mencegah dorongan maksiat dan keinginan-keinginan yang merusak iman; melawan kaum munafik, tukang tipu dan pengkhianat amanah; melawan perilaku kotor para koruptor, orang-orang zhalim perampas hak orang banyak, pembobol uang negara, tukang pungli dan upeti.

    Korupsi merupakan bentuk kezhaliman yang sangat licik. Koruptor adalah musuh dalam selimut. Ia senantiasa membokong orang atau pihak yang memberinya amanah. Saat ia disuruh mengamankan asset, ia justru menggelapkannya. Saat ia diberi amanah, ia mengambilnya dengan sekehendak hawa nafsu, tak peduli apakah amanah itu milik negara, perusahaan ataupun majikan. Padahal dalam muamalah, setelah Allâh Subhanahu wa Ta’ala, pihak yang dikhianatinya itu adalah yang selama ini berjasa, menggajinya dan menjamin kesejahteraan diri dan keluarganya.

    Melihat kenyataan itu, koruptor layak kita masukkan dalam kategori musuh jihad, melawan orang-orang munafik dan zalim. Koruptor, baik yang beroperasi di perusahaan atau instansi pemerintah, di depan atasan, bawahan, atau masyarakat selalu menunjukkan kesetiaan dan loyalitasnya. Visi dan misi besarnya selalu dikatakan demi kemajuan kantor, perusahaan, instansi, bahkan bangsa dan negara.

    Bahkan, saat sang koruptor memiliki jabatan di pemerintahan, baik di legislatif maupun eksekutif, ia tak segan-segan mengobral janji, bahwa apa yang dilakukannya adalah demi kemakmuran rakyat, membela kaum miskin dan rakyat jelata. Ia selalu berusaha menampilkan dirinya sebagai pendekar pembela kebenaran dan pejuang keadilan. Namun, lihatlah berbagai kasus korupsi yang terungkap belakangan ini. Semuanya tampak jelas, seperti benderangnya matahari di siang bolong. Apa yang dilakukannya berbeda jauh dengan kata-kata manis yang keluar dari bibirnya. Maka, koruptor sungguhlah orang-orang munafik, yang senang berkata dusta, yang saat berjanji ia ingkar, yang saat dipercaya ia khianat.

    Nabi bersabda,

    سَيَكُوْنَ فِي أُمَّتِي اخْتِلاَفٌ وَفُرْقَةٌ , قَوْمٌ يُحْسِنُوْنَ الْقِيْلَ وَيُسِيْئُوْنَ الْفِعْلَ

    Akan muncul di tengah umatku perpecahan dan perselisihan. Dan ada sekelompok kaum yang pandai berbicara dan buruk (kurang cakap) beramal.[6]

    Sementara itu, negara kita juga belum menemukan formula hukum yang bisa memberikan efek jera kepada para koruptor sekaligus menciptakan sistem yang bisa meminimalisir tindak korupsi. Hukuman mati masih diberlakukan dan belum akan dihapus di negara kita. Namun, berbeda dengan Vietnam dan China, hukuman mati di Indonesia tidak menyentuh pelaku korupsi.

    Kita sebagai rakyat tentu hanya bisa mengharapkan adanya sanksi yang setimpal beratnya dengan bobot kejahatan mereka, sembari memulai membangun usaha yang sungguh-sungguh (jihad) untuk paling tidak, menjauhkan diri kita dan orang-orang tercinta kita dari praktik korupsi.
    SANKSI DUNIA BAGI KORUPTOR

    Banyak sekali ragam sanksi yang diterima pemakan harta haram terutama harta haram dari hasil korupsi, mulai sanksi di dunia, sanksi di alam kubur hingga hukuman di akherat berupa api neraka Jahannam, sehingga para koruptor pasti akan mendapat sanksi berat baik di dunia maupun di akherat. Di antara sanksi mereka adalah Allâh Subhanahu wa Ta’ala tidak akan mengabulkan doanya dan mendapatkan siksaan pedih di alam kuburnya.

    Rasûlullâh shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

    وَالذِيْ نَفْسِي بِيَدِهِ، إِنَّ الشَّمْلَةَ التيَّ أَصَابَهَا يَوْمَ خَيْبَرَ مِنَ المَغَانِمَ، لمَ ْتُصِبْهَا المُقَاسِمُ، لَتَشْتَعِلُ عَلَيْهِ نَارًا

    Dan demi dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, sungguh sehelai kain kecil dari harta ghanimah yang dia curi pada perang Khaibar yang diluar pembagian ghanimah akan menjadi bara api (di alam kuburnya).[7]

    Wahai saudaraku, rintangan hidup dan sanksi rohani maupun fisik yang diperoleh para koruptor dan pencuri harta negara setelah mati akan lebih pedih dan sangat berat karena tidak ada pengadilan yang lebih adil dan jujur daripada pengadilan akherat. Perbuatan korupsi ini menimbulkan dampak negatif yang sangat banyak dan dampaknya meluas, bahkan bisa lebih parah daripada terorisme. Karena korupsi membunuh karakter bangsa, menghancurkan ekonomi negara, melumatkan hak-hak rakyat, mengancam masa depan generasi bangsa, membuat masyarakat menderita secara dzahir maupun batin, mematikan sikap amanah dan kejujuran, merusak moral dan peradaban bangsa dan menghilangkan kepercayaan investor.

    Oleh karena itu, darah daging yang tumbuh dari makanan dan minuman yang haram maka akan menjadi hidangan dan santapan api neraka. Rasûlullâh shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

    يَا كَعْبُ بْنِ عُجْرَةُ، إِنَّهُ لاَ يَرْبُوْ لَحْمٌ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ إِلاَّ كَانَتِ النَّارُ أَوْلَى بِهِ

    Wahai Ka’ab bin Ujrah, sesungguhnya daging yang tumbuh dari barang haram tidak akan tumbuh kecuali neraka paling berhak dengannya.[8]

    Adapun sanksi di dunia bisa berupa ta’zîr yaitu hukuman yang kadarnya sangat bergantung pada kebijakan pihak yang berwenang. Bahkan hukuman bagi para koruptor ini bisa dibunuh bila perbuatannya menimbulkan dampak negatif secara kolektif dan kekacauan secara umum berdasarkan firman Allah,

    Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allâh dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik[9], atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar, Kecuali orang-orang yang taubat (di antara mereka) sebelum kamu dapat menguasai (menangkap) mereka; Maka ketahuilah bahwasanya Allâh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Qs al-Mâidah/5:33-34).

    Para ulama sepakat bahwa pencopet, perampok dan perampas harta orang lain meskipun kejahatannya berat dan dosa besar tapi hukumannya bukan potong tangan. Dan diperbolehkan (bagi pemimpin neraka) dalam rangka menghentikan kejahatan mereka menerapkan untuk mereka hukuman cambuk, sanksi berat, penjara lama, dan denda besar yang membuat mereka jera.[10]

    Artikel http://www.salafiyunpad.wordpress.com disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 03 Tahun XIV

    [1]. Lihat Tafsîr al-Wasîth, al-Wahidi an-Naisaburi, 3/ 421.

    [2] . Shahîh diriwayatkan Imam Abu Daud dalam Sunannya, no. 3580, Imam at-Tirmidzi dalam Sunannya, no. 1337 dan Imam Ibnu Mâjah dalam Sunannya , no. 2313.

    [3] Lihat Tafsir Ibnu Abu Hâtim, 5/ 1684.

    [4] . Shahih diriwayatkan Imam Ahmad (10588, 9249, 8835 dan 8427) dan lihat Shahîhul Jâmi’ no. 2812

    [5] Shahih diriwayatkan Imam Ahmad dalam Musnadnya (5/ 38), Imam Abu Daud dalam Sunannya (4902), Imam at-Tirmidzi dalam Sunannya (2511) dan beliau berkata, “Hadits ini Hasan Shahih.” Imam Ibnu Mâjah dalam Sunannya (4211) dan al-Hâkim dalam Mustadraknya (3359) dan beliau t menshahihkan sedang Imam adz-Dzahabi menyetujuinya.

    [6] Lihat Shahihul Jami’ no: 3667.

    [7] Shahih diriwayatkan Imam Bukhari dalam Shahihnya (4234) dan Imam Muslim dalam Shahihnya (115

    [8] Shahih diriwayatkan Imam at-Tirmidzi dalam Sunannya (614I dan Imam ad-Darimi dalam Sunannya (2674).

    [9] Maksudnya Ialah: memotong tangan kanan dan kaki kiri; dan kalau melakukan lagi maka dipotong tangan kiri dan kaki kanan

    [10] Lihat Mulakhkhash al-Fiqhi, Syaikh Fauzân, 2/551.

    wassalam,…

  4. ” BONGKAR” KORUPSI,….!!!!!!

    Kalau cinta sudah di buang
    Jangan harap keadilan akan datang
    Kesedihan hanya tontonan
    Bagi mereka yang di perbudak jabatan

    O, o, ya o … Ya o … Ya bongkar….!!!

    O, o, ya o … Ya o … Ya bongkar…..!!!

    Sabar, sabar, sabar dan tunggu
    Itu jawaban yang kami terima
    Ternyata kita harus ke jalan
    Robohkan setan yang berdiri mengangkang……!!!

    Penindasan serta kesewenang-wenangan
    Banyak lagi teramat banyak untuk disebutkan
    Hoi hentikan
    Hentikan jangan di teruskan
    Kami muak dengan ketidakpastian dan keserakahan,…..!!!!
    O, o, ya o … Ya o … Ya bongkar,….!!!
    O, o, ya o … Ya o … Ya bongkar……!!!

    Di jalan kami sandarkan cita-cita…….???
    Sebab dirumah tak ada lagi yang bisa dipercaya,….???
    Orang tua pandanglah kami sebagai manusia
    Kami bertanya tolong kau jawab dengan cinta……..!!!

  5. ;; MA’AF SANG KORUPTOR,….!!!!!”

    Negara ini bebas bung.
    Demokrasi katamu, itu hanya teori bung
    Emang sih dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
    namun kami lah rakyat yang kau maksud

    kami di pilih karena Bantuan dari kami untuk rakyat
    maka ini lah saat nya rakyat membantu kami
    Kami perjuangkan aspirasi rakyat, maka salah kah,
    kami mengambil upah dari perjuangan itu ?

    Duduk manis sambil merokok,
    rapat, rapat dan rapat itu lah yang kami lakukan untuk rakyat
    maka tiada salah nya kami berlibur sejenak ke luar negeri atau pulau bali

    Anda bicara jujur, kami emang jujur
    sampai saat ini kami belum terbukti
    Walaupun anda tak suka
    namun itulah keputusan kami bersama
    mau di tolak gak enak rasa
    karena sedekah dari yang sedang berkuasa

    Korupsi Kolusi Nepotisme yang anda ributkan
    ini hanya nama baru yang muncul di akhir zaman
    jauh hari telah kami katakan, kami bekerja hanya satu tujuan
    hidup mulia atau mati sebagai pemenang terbanyak meninggalkan warisan
    warisan untuk keluarga kami, bukan kah mereka juga rakyat?
    Trus, di mana salah kami

    kenapa anda memandang kami sebelah mata
    menjauhi dan mencaci maki
    bukan kah itu hal yang tak terpuji
    kami di pilih oleh anda
    dan akan berkerja mengabdi kepada anda
    dengar kan dan salurkan aspirasi anda

    kadang hanya salah terima, tolong lah kami di maafkan
    karena kami tak tahu apa isinya
    hanya sebuah amplop kuning yang tebal kalau di raba
    maafkan kami …….
    maafkan kami…..
    maaf kan kami…..