Adat Gayo Bernuasa Islami

Oleh: Isfariyanto*

URANG Gayo mempunyai adat-istiadat yang khas. Kental dengan nuansa Islami. Berbagai ungkapan, tersurat dalam pepatah-pepatah bijak dengan makna yang dalam dan banyak ditemukan dalam kebudayaan Gayo. Salah satunya adalah ungkapan: Asal Linge Awal Serule, petuah bijak yang menyiratkan jati diri. Ungkapan tersebut berarti kalau Urong Gayo berasal dari Linge dan berawal dari Selure. Ungkapan Asal Linge Awal Selure juga adalah sebuah semboyan. Dalam kesenian Saman di setiap pembukaannya selalu menyebutkanAsal Linge Awal Selure. Ini dimaksudkan sebagai sebuah indentitas diri Urang Gayo.

Kerajaan Linge pada masa kejayaannya, adalah pusat peradaban Gayo. Bahkan salah satu putra kerajaan Linge telah memberikan konstribusi besar terhadap berkembangnya kerajaan Aceh yang dulu kedaulatannya sampai ke Negeri Johor Malaysia.

Murip I kanung edet, mate I kanung bumi, (Hidup di kandung adat mati dikandung bumi) adalah ungkapan yang menggambarkan penataan kehidupan bermasyarakat Gayo. Kalimat ini bermakna betapa urang gayo sangat menghargai adat dalam kehidupannya. Murip I kanung edet, mate I kanung bumi, berarti segala hal perbuatan dalam masyarakat harus sesuai dengan adat dan sesuatu yang mutlak dan tidak boleh dilanggar.

Keterikatan antara adat Gayo dengan Islam tercermin dalam ungkapan edettullah, hukummullah. Dalam adat Gayo salah satu pungsi adat adalah untuk menjaga syariat Islam. Ini sesuai dengan ungkapan edet mumegeri hokum (Adat yang memagari hukum), yang berarti adatlah yang menjaga hukum (syariat).

Contoh eratnya keterkaitan adat dengan Syariat Islam adalah ketentuan larangan perkawinan satu belah atau dalam satu kelompok, dalam masyarakat Gayo. Belah dalam masyarakat Gayo antara lain Bukit, Gunung, Lot dan Suku. Dalam hukum adat Gayo, dilarang melakukan perkawinan antara orang yang berasal dari belah yang sama, umpamanya sama-sama belah Bukit. Ketentuan ini di maksudkan agar tidak terjadi pelanggaran yang menjurus kepada perzinahan. Dengan adanya larangan tersebut, akan timbul anggapan bahwa orang yang berada dalam satu belah itu merupakan muhrim dan harus saling menjaga.

Masih banyak ungkapan dalam adat Gayo seperti Munyuket enti rancungmunimang enti mangik (kalau menakar jangan lebih, menimbang jangan kurang). Pelolo bedameluke besalinkemung berpenumpu (Berkelahi berdamai, luka berobat, dan dipertanggujawabkan). Sikul I kucakenI amat mutubuh I pangan murasa.Simumbuntul enti itamuni, silemah entu ikuruki. (Yang besar dikecilkan, dipegang berbadan, dimakan punya rasa, yang berbukit jangan ditambuni, yang lemah jangan disakiti).

Kebudayaan Gayo timbul sejak orang Gayo bermukim di wilayah ini dan mulai berkembang sejak kerajaan Linge Pertama abad ke X M, atau abad ke IV H. Meliputi aspek kekerabatan, komunikasi sosial, pemerintahan, pertanian kesenian dan lain–lain.

Adat Urang Gayo menganut Prinsip Keramat Mupakat, Behu Berdedale yang punya makna kemulian didapat kerana mufakat dan berani sama-sama.  Ungkapan lainTirus lagu gelas belut lagu umut rempak lagu resi susun lagu belo yang punya arti kuatnya persatuan orang gayo yang tidak mudah dicerai berai.

Nyawa sara pelok ratep sara anguk punya arti tekad yang melahirkan kesatuan sikap dan perbuatan. Selain itu banyak lagi terdapat kata – kata pelambang yang mengandung kebersamaan dan kekeluargaan serta keterpaduan. Berbagai ungkapan tersebut menggambarkan tentang Pemerintah dan ulama saling harga menghargai serta menunjak pelaksanaan agama dalam adat Urang Gayo.

Di dalam sistem nilai budaya Gayo telah merumuskan prinsip–prinsip adat yang disebut kemalun ni edet. Prinsip ini menyangkut “harga diri” (malu) yang harus dijaga, diamalkan, dan dipertahankan oleh kelompok kerabat tertentu, kelompok satu rumah (sara umah), klen (belah), dan kelompok yang lebih besar lagi.

Prinsip adat meliputi empat hal berikut ini. Pertama, Denie – terpancang adalah harga diri yang menyangkut hak – hak atas wilayah. Kedua, Nahma teraku adalah harga diri yang menyangkut kedudukan yang sah. Ketiga, Bela mutan ialah harga diri yang terusik karena ada anggota kelompoknya yang disakiti atau dibunuh. Keempat adalah Malu tertawan yang merupakan harga diri yang terusik karena kaum wanita dari anggota kelompoknya diganggu atau difitnah pihak lain.

Didalam sistem adat Gayo ada tahapan adat yaitu, mukemel (harga diri ), tertip (tertib), setie (setia), semayang Gemasih (kasih sayang), mutentu (kerja keras), amanah (amanah), genap mupakat (musyawarah), alang tulung (tolong menolong), bersikemelen (kompetitif)

Tahapan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut. Sistem nilai budaya Gayo terbagi menjadi nilai “utama” yang disebut “harga diri” (mukemel). untuk mencapai harga diri itu, seorang harus mengamalkan atau mengacu pada sejumlah nilai lain, yang disebut nilai “penunjang”. Nilai – nilai penunjang itu adalah: “tertib”, “setia”, “kasih sayang”, “kerja keras”, “amanah”, “musyawarah”,  “tolong- menolong”.

Untuk mewujudkan nilai–nilai ini dalam mencapai “harga diri” mereka harus berkompetisi. Kompetisi itu sendiri merupakan sebuah nilai, yaitu “nilai kompetitif” yang merupakan nilai penggerak.(bali_atu[at]yahoo.co.id)

*Konsultan Good corporate governance (GCG) Jakarta, Alumni Fak Hukum Universitas Diponegoro asal Atulintang, Aceh Tengah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

3,627 comments

  1. EDET ISTIEDET GAYO
    Edet istiedet Gayo, kalau boleh saya bilang suatu adat yang sangat tinggi nilainya, EDET ARI LINGE, HUKUM ARI KITABULLAH, saya mengatakan karna saya sudah ber keliling dibeberapa daerah di Indonesia, namun sayang dengan perjalanan waktu edet Gayo mulai tersingkir oleh budaya2 baik dari dalam negeri maupun budaya luar negeri, congtoh SUMANG PECERAKAN,SUMANG PELANGKAHAN,SUMANG PENE NGONEN, ini sudah tidak ada lagi, sekarang anak urum ama sudah sara cerpa, seingat saya tahun 1962 , silayak kunul tar uken dia kunul tar uken , kalau sekarang tidak lagi demikian, CONTOH yang paling menarik saat itu Aman Mayak Inen Mayak Nayu (penganten baru) kalau ketemu dengan mertua hormatnya melibihi dari menghormati seorang Raja, ceritanya secara kebetulan sang mertua dengan menantu laki berpa pasan jalan kaki Sang menantu (kile) berhenti menghadap ke semak atau rumah setelah sang mertua (tuen) telah dekat maka terlontar suatu pertanyaan kepada sang mertua (Tuen) Taaa..ari sihen ama ?, sang mertua (tuen)pun mejawab aku ari iumahni Kil mu (atau tempat lain)
    Inilah salah satu bukti kuatnya Edet Gayo saat itu, sekarang ?…mari kita bertanya kepada diri kita. Penulis dari pedalaman Kalimantan Timur peduli Tanoh Tembuni