Korban Lemo Lut Tawar Satukan Sikap

Tulisan protes terhadap PLTA Peusangan di lokasi Regulating Ware Kampung Hakim Takengon (Lintas Gayo | Kha A Zaghlul)
Tulisan protes terhadap PLTA Peusangan di lokasi Regulating Ware Kampung Hakim Takengon (Lintas Gayo | Kha A Zaghlul)

Takengon | Lintas Gayo – Sekitar 80 orang perwakilan masyarakat korban luapan air (lemo-red) Danau Lut Tawar bersama Kepala Kampung, Mukim dan Ketua Pemuda dari empat kecamatan, Lut Tawar, Bebesen, Bintang dan Kebayakan kembali duduk bermusyawarah di Takengon, Kamis 28 Februari 2013.

Musyawarah tersebut dilakukan untuk menyatukan sikap terkait tuntutan mereka kepada Manager Proyek Pembangkit Tenaga Listrik Tenaga Air (PLTA) Peusangan.

Dalam sambutannya Isranuddin Harun dari LSM Tajuk yang menggagas pertemuan  tersebut memaparkan hasil amatan dan mencermati proses berjalannya tuntutan masyarakat serta menanggapi surat Manager Proyek PLTA Peusangan Nomor : 005/120/PLTA. PEUSANGAN/2013, surat tersebut sangat manipulatif dan kontradiktif dan cenderung merugikan masyarakat.

“Sampai saat ini pihak PLTA belum mampu menunjukkan dokumen Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL-red) proyek dan pihak PLTA tidak pernah melakukan sosialisasi AMDAL kepada masyarakat sekitar Danau Laut Tawar,” kata Isranuddin.

Menimbang perjuangan ini akan memakan waktu dan tenaga, lanjutnya, kedepan masyarakat korban harus menyatukan visi dan misi dan memperkuat tali silaturrahmi agar tujuan perjuangan masyarakat dapat tercapai dan perlu dibentuk sebuah forum masyarakat korban yang mewadahi perjuangan masyarakat.

Suasana musyawarah korban Lemo Lut Tawar. (Lintas Gayo | Ishar)
Suasana musyawarah korban Lemo Lut Tawar. (Lintas Gayo | Ishar)

Berbagai tanggapan yang muncul dari masyarakat dalam musyawarah tersebut yang pada intinya mengutuk surat PLTA dan mendesak penghentian pengerjaan proyek untuk sementara.

Tokoh masyarakat Lut Tawar, M. Saleh Muhammad dalam tanggapannya mendesak  pemerintah Aceh Tengah tidak diskriminatif dan pilih bulu dalam menanggapi tuntutan masyarakat berkaitan dengan pembangunan PLTA.

“Masih jelas dalam ingatan kita bagaimana tanggapnya pemerintah Aceh Tengah menangani ganti rugi keramba untuk kedua kalinya dibantaran sungai Peusangan”. tegasnya,

Selanjutnya Presiden PEMA Gajah Putih, Imran menyatakan pihaknya merasa terpanggil untuk mendampingi para korban, ini merupakan salah satu dari Tri Dharma kami sebagai mahasiswa” sebut Imran.

Hal senada juga disampaikan oleh Khairuna alias Phiton. “PLTA hanya kepentingan segelintir orang pekerja banyak dari luar daerah, PLTA hanya malapetaka bagi masyarakat Gayo, kami akan akan ikut membela masyarakat, bila perlu BEM se-Sumatera akan kita libatkan membela hak-hak masyarakat korban” sebutnya.

Sementara Tgk. Haikal Sadik yang menjabat sebagai Mukim Laut Tawar juga menyampaikan pendapatnya.

“Saya mewakili masyarakat kemukiman Lut Tawar menyerahkan urusan ini kepada LSM Tajuk, mahasiswa dan aktivis lingkungan yang ada di Aceh Tengah, kalau kelak akibat PLTA ini kami tidak mampu memenuhi kebutuhan keluarga, biarlah lubang tanggul yang dibuat oleh PLTA menjadi kuburan kami kelak” ujar Mukim ini dengan mata berkaca-kaca.

Salah seorang inisiator pertemuan, Sadikin alias Gembel menegaskan perlunya dibentuk sebuah forum untuk menangani keresahan masyarakat tersebut.

“Agar informasi bagi para korban dapat tersalur secara seimbang dan dapat mengurangi tingkat keresahan masyarakat yang menjadi korban, perlu dibentuk sebuah forum dan untuk ini akan dirumuskan konsep perjuangan forum,” kata Gembel. (Ishar/red.03)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.