Mempertanyakan FAKTA ILMIAH Reje Linge (Sebuah Tanggapan untuk Salman Yoga)


 Win Wan Nur

Oleh : Win Wan Nur*

Beberapa waktu yang lalu, kita masyarakat Gayo dihebohkan dengan pengangkatan serinente Iklil Ilyas Leubee sebagai Reje Linge ke- 18. Jika pengangkatan ini hanya sekedar sebuah kegiatan budaya saja, sebenarnya tidak akan menimbulkan gejolak apapun di masyarakat. Tapi karena kejadian pengangkatan Reje Linge ini berdekatan dengan proses pengangkatan Wali Nanggroe ditambah dengan adanya penggiringan opini bahwa Reje Linge adalah penguasa seluruh Gayo di masa lalu. Mengakibatkan kesan politis dari peristiwa pengangkatan ini jadi sulit untuk dihindari.

Tak heran jika kemudian pengangkatan ini menjadi kontroversi. Ada banyak pendapat pro dan kontra di masyarakat Gayo akibat dari adanya pengangkatan itu. Sampai-sampai RRI Takengen merasa perlu untuk melakukan satu acara khusus untuk membahas peristiwa ini. Bahkan tidak cukup sampai di situ, pengangkatan Iklil Ilyas Leubee sebagai Reje Linge, kemudian memicu klaim dari beberapa tokoh atau yang mengaku tokoh masyarakat Gayo bahwa merekalah sebenarnya keturunan Reje Linge yang asli.

Menariknya, di tengah kontroversi yang berkembang. Tiba-tiba seorang akademisi yang juga adalah sahabat penulis sendiri, Salman Yoga S muncul dengan klaim yang dimuat di media ini dengan menyatakan bahwa keberadaan Reje Linge dan urutan-urutan Raja-nya telah terbukti berdasarkan penelitian ILMIAH http://www.lintasgayo.com/34101/ini-dia-fakta-ilmiah-urutan-pemangku-reje-linge.html. Ini adalah sebuah klaim yang sangat berani.

Ini penulis katakan sebagai sebuah KLAIM yang sangat berani, karena dengan mengatakan bahwa keberadaan REJE LINGE dan urut-urutan rajanya adalah FAKTA ILMIAH artinya keberadaan Reje Linge dengan semua urut-urutan rajanya telah menjadi FAKTA yang kebenarannya bersifat universal. Padahal agar sebuah hasil penelitian ilmiah bisa mencapai tahap seperti itu,sayaratnya sama sekali tidak gampang. Karena untuk bisa disebut sebagai FAKTA ILMIAH, hasil dari sebuah penelitian harus terlebih dahulu melalui sebuah tahapan observasi yang menerapkan prinsip-prinsip metode ilmiah (scientific method) yang di dalamnya termasuk membuat sebuah pengamatan empiris dan telah diuji secara valid dan terpercaya. Definisi tentang penelitian ilmiah ini dapat dibaca di <http://www.nos.noaa.gov/coris_glossary/index.aspx?letter=s> di sini dijelaskan bahwa definisi saintific (ilmiah) itu TIDAK LEPAS dari EMPIRICAL OBSERVATION, yaitu persepsi pancaindera. Yang kemudian diuji oleh kalangan ilmiah.

Memang ketika kita bicara tentang Reje Linge, berarti kita sedang bicara sejarah di mana dalam beberapa hal tingkat akurasi observasi empiris-nya tidak seakurat ilmu eksakta. Tapi tetap saja, sejarah yang telah menjadi salah satu cabang ilmu sosial selama ratusan tahun. Dalam menjamin akurasi hasil kesimpulannya. Sebagaimana cabang ilmu sosial lainnya, juga telah mengikuti mengikuti tradisi ilmu pengetahuan alam dalam melakukan observasi, yaitu melandaskan dirinya atas fakta sejarah, sehingga keseragaman dan objektivitasnya bisa terjamin.

Karena itulah sekalipun tidak se-eksak ilmu pengetahuan alam, karena hakekatnya memang berbeda. Dalam ilmu sejarah, fakta ini kemudian dibagi-bagi ke dalam urutan kredibilitasnya. Yang paling kredibel tentunya adalah data, yaitu dokumen-dokumen asli, diikuti oleh dokumen-dokumen salinan/turunan atau berita-berita resmi (misalnya surat kabar). Pendapat pribadi boleh disitir, tetapi dengan reserve akan objektivitasnya, sebab mungkin saja pendapat pribadi itu hanya merupakan pendapat satu individu yang menyeleweng dari masyarakatnya. Jika itu semua TIDAK ADA, atau tidak bisa didapat, baru orang boleh mengambil dari dongeng (mitos, tetap dianggap memiliki dasar sejarah), tetapi harus dengan JELAS DINYATAKAN SUMBERNYA, supaya bisa dibedakan oleh pembaca.

Tradisi ilmiah dalam ilmu-ilmu sosial seperti ini bisa dibaca di banyak buku-buku sejarah dan ilmu-ilmu sosial modern, penjelasan tentang hal ini biasanya di bagian terdepan (Forewords atau Introduction). Contoh tradisi seperti ini bisa kita baca di buku Willem Remmelink, <The Chinese War and the Collapse of the Javanese State, 1725-1743>, 1994 KITLV Press, Leiden, Holland (terjemahan bahasa Indonesia diterbitkan oleh Kompas). Ini bisa kita baca pada bagian introduction terutama di halaman 6-8, yang mengupas peranan Babad Tanah Jawi sebagai chronicle, bukan sebagai data utama, melainkan sebagai tambahan atas analisa moral dan etika, untuk menyokong data-data yang otentik.

Pengertian bahwa FAKTA ILMIAH harus didasarkan atas observasi empiris sebagaimana dijelaskan dalam link di atas, memiliki dampak (konsekwensi) yang sangat jauh. Ini terutama disebabkan oleh karena pengalaman (empiri) seseorang itu sangat terbatas oleh ruang maupun waktu. Karena itulah demi memperluas bidang empiri ini, para peneliti ilmiah HARUS bisa belajar dari para koleganya, yaitu melalui PUBLIKASI.

Tujuan dari publikasi ini supaya hasil penelitian ilmiah tersebut mendapat sorotan dari para koleganya, untuk dilakukan VERIFIKASI dan FALSIFIKASI.

Dari sinilah dasar lahirnya tuntutan bahwa publikasi ilmiah itu HARUS bisa dipercaya, tidak berisi angan-angan atau pemikiran-pemikiran yang subjektif belaka, yang dampaknya justru akan MENYESATKAN para kolega, bukannya memperluas bidang observasinya.

Karena itulah sebuah penelitian ilmiah, bukan saja data-datanya (hasil observasi) harus objektif dan tidak boleh dipalsukan, tetapi jika diambil dari data orang lain, maka sumbernya (referensi) harus jelas dan bisa ditelusuri. Dan pada akhirnya, semua sumber harus bisa ditelusuri sampai kepada observasi empiris yang mula-mula.

Dalam tradisi ilmiah, mempublikasikan pemikiran dipandang tidak ada manfaatnya bagi ilmu pengetahuan, selama itu tidak memiliki hubungan atau tidak dihubungkan dengan dunia nyata, yaitu yang bisa dipersepsi secara empiris. Karena itulah para peneliti ilmiah tidak mempublikasikan hasil pemikirannya, melainkan hasil RISET nya, baik itu riset metodologi (teoretis) maupun eksperimental, ini bertujuan agar hasil-hasil riset tersebut bisa dimanfaatkan oleh para koleganya. Karena itulah sebuah hasil penelitian Ilmiah selalu memiliki keterkaitan, berkesinambungan dan bisa dipadukan dengan hasil-hasil penelitian ilmiah sebelumnya.

Tiap bidang ilmu memiliki wadah sendi Jurnal Ilmiah sendiri, melalui Jurnal inilah sebuah penelitian ilmiah diperdebatkan dan diuji oleh sesama kolega. Untuk sejarah misalnya, ada daftar Jurnal ilmiah yang validitasnya diterima oleh masyarakat akademis Internasional. Contoh Jurnal-jurnal ilmiah ini seperti Bryn Mawr Classical Review, Historical Journal, Asian Survey, Journal of Asian Studies. Untuk bisa diterbitkan di Jurnal resmi seperti ini sebuah karya penelitian ilmiah harus terlebih dahulu melewati penilaian dari dewan juri yang berasal dari lembaga-lembaga semacam JSTOR, Project MUSE, the History Cooperative atau the American Historical Association

Hasil penelitian baru bisa dikatakan sebagai FAKTA ILMIAH jika hasil penelitian yang telah terpublikasi itu SELALU BISA DIVERIFIKASI dan BELUM PERNAH TERBUKTI SALAH.

Contoh publikasi dengan ciri ilmiah seperti ini, meskipun belum dipublikasikan di Jurnal Ilmiah yang resmi, dapat kita lihat pada hasil penelitian arkeologi di Loyang Mendale dan Loyang Ujung Karang yang dipublikasikan menjadi sebuah buku yang berjudul ‘Gayo Merangkai Identitas’. Buku yang dari awal sampai akhir kita baca melulu berisi hasil RISET yang dalam kesimpulannya berkesinambungan dengan hasil riset kolega mereka sesama arkeolog seperti Matthew, Heekern dan Belwood yang sebelumnya telah memberikan kesimpulan ilmiah tentang bentuk kapak, pola hias gerabah dan beberapa pola perilaku manusia yang sezaman (yang disimpulkan berdasarkan hasil pengujian yang telah disepakati bersama akurasi kebenarannya, yaitu pengujian radiokarbon) dengan kerangka yang ditemukan di Loyang Mendale.

Lalu, tidak bisakah kita membuat definisi FAKTA ILMIAH kita sendiri tanpa harus mengikuti definisi yang dibuat para ilmuwan modern?

Bisa saja, contohnya seperti yang dilakukan oleh KH Fahmi Basya, Dosen UIN Syarif Hidayatullah yang mengaku sebagai ahli matematika Islam, sebuah cabang ilmu baru yang dia ciptakan sendiri.

Mengikuti metode ciptaannya sendiri, sebagaimana diberitakan oleh Republika http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-mancanegara/10/09/27/136654-borobudur-peninggalan-nabi-sulaiman-  Berdasarkan atas penelitian ilmiah versinya sendiri ini, KH Fahmi Basya melalui hasil riset Lembaga Studi Islam dan Kepurbakalaan yang dipimpinnya sendiri menyimpulkan, bahwa sebenarnya “CANDI BOROBUDUR” adalah bangunan yang dibangun oleh “TENTARA NABI SULAIMAN” termasuk didalamnya dari kalangan bangsa Jin yang disebut dalam Alqur’an sebagai “ARSY RATU SABA”, sejatinya PRINCES OF SABA atau “RATU BALQIS” adalah “RATU BOKO” yang sangat terkenal dikalangan masyarakat Jawa, sementara patung-patung di Candi Borobudur yang selama ini dikenal sebagai patung Budha, sejatinya adalah patung model bidadara dalam sorga yang menjadikan Nabi Sulaiman sebagai model dan berambut keriting. Yogyakarta dan sekitarnya adalah negeri Saba yang dimaksudkan dalam Al Qur’an, sebab daerah itu diapit oleh Hutan Saba (Wonosobo), nabi Sulaiman adalah suku Jawa karena Nabi Sulaiman adalah satu-satunya nabi yang namanya diawali dengan kata SU, sebagaimana nama Sukarno, Suharto dan Susilo Bambang Yudhoyono. Nama Sleman di Yogyakarta diambil dari nama Sulaiman.

Penelitian ini tentu sangat ilmiah menurut KH Fahmi Basya dan para pendukungnya, tapi Fakta Ilmiah seperti ini kontan menjadi bahan tertawaan kalangan ilmiah di seluruh dunia karena metodenya tidak mengikuti metode ilmiah yang berlaku universal serta hasilnya bertentangan dengan semua hasil penelitian ilmiah yang universal yang metode penelitiannya mengikuti kaidah-kaidah sebagaimana diuraikan di atas.

Kembali ke soal penelitian ilmiah tentang Reje Linge. Seperti apakah definisi Ilmiah versi Salman Yoga ketika dia melakukan penelitiannya?. Seperti definisi ilmiah yang bersifat universal yang kebenarannya bisa diterima semua orang?.

Sudahkah penelitian tentang Reje Linge melewati tahapan-tahapan seperti  yang diuraikan di atas sehingga kita berani mengklaimnya sebagai sebuah FAKTA ILMIAH?.

Atau jangan-jangan Fakta Ilmiah-nya Reje Linge adalah Fakta Ilmiah dengan definisi suka-suka sendiri seperti versinya Dosen UIN Syarif Hidayatullah KH Fahmi Basya?. Sampai saat ini belum ada kejelasan.

Untuk itu kita mohon sahabat kita Salman Yoga yang merupakan seorang akademisi agar sudi kiranya menerangkan definisi Fakta Ilmiah-nya kepada kita para awam, yang merupakan masyarakat Gayo kebanyakan.

“Analis sosial budaya, tinggal di Jakarta

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

3,627 comments

  1. Saya sependapat dengan Win Wn Nur salah satu dari keturunan bangsa Linge termasuk saya, karena tidak sependapat dengan yang namanya penulis ilmiyah Salman, RAJA LINGGE tdk pernah menobatkan dirinya Raja tetapi KEJURUN, KEJURUN jabatannya di atas RAJA, anak dari kejurun adalah reje Cik Serule, Reje Cik benu Penarun reje Cik Delung Prajah (datu saya sendiri) Di Gewat danh reje cik Kedah Isaq, Dalam silsilah yg di paparkan ada XIX dan Reje Linge V dan XVII sama Reje Linge Alisyah, dari silsilah tersebut yang benar MERAH JOHAN BIN ADI GENALI BIN MERAH JERNANG BIN MERAH MERSAH DAN BIN MERAH ISHAQ, ini silsilahnya dan khusus untuk di atasnya saya shar di FB saya, Tulisan Sejarah linge dari Tangan HAMZAH adalah tulisan bapak saya dan di tanda tangani di situ pemberi wasiat tengku MS Abarita Reje Cik Delung Prazah dan di tanda tangani di buku HAMZAH tersebut. Saya kirim silsilah Reje http://www.facebook.com/photo.php?fbid=10200405435433489&set=a.1255586824815.2038770.1083912079&type=1&theater

    1. Seperti dikatakan oleh Winata Gunadiya Gunadiya, pengetahuan saya tentang silsilah dan urut-urutan Reje Linge ini masih di Level PAUD. Jadi saya tidak dalam kapasitas untuk memperdebatkan mana silsilah Reje Linge yang benar dan mana yang tidak benar.

      Tapi bagaimana pun terima kasih atas informasinya karena ini sangat membantu untuk menambah wawasan saya.

  2. http://www.lintasgayo.com/34101/ini-dia-fakta-ilmiah-urutan-pemangku-reje-linge.html

    ini LINK berita yang kemudian dikomentari Win Wan Nur. Sepengetahuan saya, berita itu Salman hanya melanjutkan hasilpenelitian Reje Linge sebelumnya, dan sepengetahuan saya juga Salman Yoga tidak pernah meneliti Reje Linge, yang betul dia meneliti Tgk Ilyas Leube untuk keperluan buku biografi “Ilyasleube” yang di dalamnya kemudian ada hubungan Tgk IlyasLebe dengan Reje Linge. Mudah-mudahan tidak salah maksud berita alenia pertama tsb….