Oleh: Ghazali Abbas Adan*
KEWAJIBAN penegakan dan palaksanaan syari’at Islam terhadap setiap muslim adalah yang pertama dan utama berdasarkan doktrin aqidah. Banyak ayat-ayat Quran dan hadis-hadis sahih sebagai dalil qath-‘i berkaitan dengan kewajiban itu. Terlebih lagi atas setiap muslim yang tinggal dan hidup di tanah Aceh, karena selain doktrin aqidah juga konstitusi negara sebagaimana dalam UU No 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh (UUPA).
Memang selama ini yang amat gencar diblow-up tentang UUPA adalah isinya berkanaan dengan dana ini dan dana itu, lex specialis ini dan lex specialis itu untuk Aceh, dan ini sah dan wajar belaka. Tetap isi undang-undang tersebut berkaitan dengan pemberlakuan dan kewajiban setiap muslim mengakkan dan mengatur berbagai aspek hidup dan kehidupan sesuai syari’at Islam (Islam kaffah) di Aceh terkesan tidak begitu ditonjolkan kepada khalayak.
Padahal sejatinya ia juga amat sangat penting diketahui segenap kaum muslimin dan muslimat seluruh Aceh. Bahwa inilah salah satu hal yang sangat monumental yang didapatkan rakyat Aceh hasil perjuangan (sesuai fungsi, kapasitas dan cara masing-masing) yang cukup lama dengan rupa-rupa pengorbanan, baik yang di dalam maupun di luar teritori Aceh, sekaligus implementasi dan hasil dari peringatan Allah ‘Azza wa Jalla melalui salah satu ayat-Nya dalam Al-Qur-anul karim; “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan (nasib) suatu kaum sebelum mereka (berusaha) mengubah keadaan diri mereka sendiri” (QS, Ar-Ra’d, ayat 11).
Satu hal lagi yang sejatinya secara terbuka dipermaklumkan kepada khalayak di segala lapisan masyarakat, ialah isi pidato Allaahu yarhamuh Teungku Hasan Tiro yang kerap saya dengar melalui media online Yuo Tube di bawah tajuk “deunge peue njang neupeugah le wn dan bek djak ngui-ngui nan wali keu alat mita asoe pruet dan meukeusud-meukeusud djeuheut laen”, antara lain beliau menyatakan; “Geutanyoe Aceh bansa Islam, geutanyoe jihad fii sabilillah, peudong hukom Islam, peudong nanggroe Islam, lawan kedzaliman. Peudong nanggroe Islam, nanggroe merdeka, meunye mate, mate syahid. Kewajiban geutanyoe Islam, liyuhiqqal haqqa wayubthilal baathila (kita Aceh bangsa Islam, kita berjihad di jalan Allah, menegakkan hukum Islam, negara Islam, melawan kedzaliman. Mendirikan negara Islam, negara merdeka, apabila mati, mati syahid. Kewajiban kita orang Islam, membenarkan yang benar dan menyatakan yang batil itu batil)”. Dari pidato Allaahu yarhamuh ini memberi pemahaman kepada saya, demikianlah mabda’ (dasar/landasan) dan ghaayah (tujuan) perjuangan beliau untuk Aceh.
Fakta dan Realitas Politik
Ada ungkapan yang masyhur dalam literatur klasik, namun senantiasa aktual; “maa laa yudraku kulluhu laa yutraku kulluh (apa yang tidak didapat seluruhnya, tidak ditinggalkan seluruhnya)”. Adalah fakta dan realita hari ini, secara teritori politik Aceh tidak merdeka. Masih tetap dalam pangkuan NKRI. Alinea kedua Mukadimah MoU Helsinki menyatakan; “Para pihak bertekad untuk menciptakan kondisi sehingga pemerintahan rakyat Aceh dapat diwujudkan melalui proses yang demokratis dan adil dalam negara dan konstitusi Republik Indonesia”.
Yang jelas, tegas dan pasti Pemerintah RI dalam wujud legal formal melalui UUPA telah melimpahkan wewenang kepada rakyat dan Pemerintah Aceh, memberlakukan, menegakkan dan melaksanakan syari’at Islam secara kaffah di Aceh.
Bab XVII, Syari’at Islam dan Pelaksanaan. Pasal 125, (1) Syari’at Islam yang dilaksanakan di Aceh meliputi aqidah, syar’iyyah dan akhlak. (2) Syari’at Islam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi ibadah, ahwal al-syakhshiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), jinayah (hukum pidana), qadha (peradilan), tarbiyah (pendidikan), dakwah, syiar, dan pembelaan Islam. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan syari’at Islam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Qanun Aceh.
Pasal 126. (1) Setiap pemeluk agama Islam di Aceh wajib menaati dan mengamalkan syari’at Islam. (2) Setiap orang yang bertempat tinggal atau berada di Aceh wajib menghormati pelaksanaan syari’at Islam. Pasal 127. (1) Pemerintahan Aceh dan Pemerintahan Kabupaten/Kota bertanggungjawab atas penyelenggaraan dan pelaksanaan syari’at Islam.
Tanggungjawab Bersama
Sebagaimana saya sebut di atas, bahwa lahirnya UUPA yang di dalamnya ada Bab dan Pasal berkaitan dengan bukti nyata political will dan political action Negara dan Pemerintah RI bagi rakyat dan Pemerintah Aceh untuk menegakkan dan memberlakukan syari’at Islam di Aceh sebagai hasil perjuangan dan pengorbanan seluruh rakyat Aceh.
Dengan fakta ini, tidak berlebihah apabila saya harus katakan, adalah sesuatu yang sia-sia dari hasil perjuangan dan pengorbanan itu, apabila nyatanya syari’at Islam kaffah, rahmatan lil’alamin dan untuk seluruh umat manusia yang merupakan karakter dasar risalah yang dibawa Rasullah terakhir Muhammad saw (QS, Al-Ambiyaa’, ayat 107, QS, Sabaa, ayat 28) belum sepenuhnya tegak dan terwujud di Aceh.
Demi hal ini, yakni tegaknya syari’at Islam di Aceh, semua stakeholder, sebagai pribadi, komunitas (jamaah) dan pemerintah harus bertanggungjawab.
Pertama, tanggungjawah personal setiap muslim (mas-uuliyyatun fardiyyah), yakni, dalam segala ruang dan waktu, apapun yang dilakukan meyakini senantiasa dalam pantauan dan pengawasan Allah ‘Azza wa Jalla, malaikat Raqib dan ‘Atid (QS, Al-Infithaar, ayat 10-16). Meyakini adanya alam akhirat, mencakup alam barzakh/kubur tempat menanti hari kiamat (QS, Al-Mukminuun, ayat 100), hari kebangkitan (QS, Al-Mukminun, ayat 16), hari mahsyar (QS, Al-Hijr, ayat 25), hari perhitungan (QS, Al-Israa’, ayat 13), hari pembalasan, surga dan neraka (Az-Zumar, ayat 71-75). Dengan keyakinan seperti ini, niscaya dalam hidup dan kehidupan di dunia, apapun profesinya senantiasa disesuaikan dengan syari’at.
Kedua, tanggungjawah kolektif/komunal (mas-uuliyyatun jamaa-‘iyyah), yakni pro-aktif, berani, tegas, transparan dan terus menerus melakukan amar ma’ruf nahi munkar, pubuet surouh peujeu-ouh teugah (QS, Ali ‘Imraan, ayat 104 dan 110, At-Taubah, ayat 71). Saya memahami, bahwa amar ma’ruf nahi munkar itu tidak hanya berkaitan dengan hal ihwal ritual dan spiritual (ibadah mahdhah) tetapi menyangkut berbagai aktifitas/profesi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara (ibadah ghairu mahdhah).
Bahwa dalam masyarakat ada ormas. Kita harapkan ormas itu tidak sekedar papan nama. Tetapi pro-aktif, berani dan transparan melakukan amar ma’ruf nahi munkar, dan setidaknya untuk anggotanya sendiri.
Demikian juga sejatinya organisasi politik (partai politik). Jangan hanya dengan rupa-rupa modus operandi dan cakologi berusaha memperbanyak jumlah pendukung, dijadikan robot/mesin politik. Apalagi pendukungnya itu dijadikan “herder” (asee peulasoun), tanpa dibekali aqidah, akhlak dan tatakrama dilepas ke tengah-tengah masyarakat dalam rangka memburu dan/atau mempertahankan kekuasaan di lembaga legislatif dan eksekutif.
Wabilkhusus lagi orang-orang yang sudah menabalkan diri atau ditabalkan sebagai ulama, baik yang tergabung dalam organisasi maupun tidak, harus lebih berani dan transparan melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Mengapa saya katakan harus berani? Karena demikianlah sejatinya sosok dan karakter ulama menurut Al-Quran, bahwa yang dikatakan ulama adalah orang-orang memiliki ilmu dan takut hanya kepada Allah (QS, Al-Faathir, ayat 28).
Ulama juga dikategorikan sebagai waratsatul ambiya, yakni warisan/pewaris para Nabi, dan sifat para nabi itu berani-berani. “Para Nabi dan Rasul yang menyampaikan syari’at Allah kepada manusia, mereka takut kepada-Nya, dan tidak takut kepada siapapun selain kepada Allah.Cukuplah Allah sebagai penjamin bagi mereka” (QS, Al-Ahzaab, ayat 39). Ayat ini merupakan bagian dari lambang Persatuan Ulama Islam se Dunia (al-Ittihaad al-‘Aalamiy li-‘Ulamaa’ al-Muslimiin). Dengan dasar pegangan seperti ini, menurut saya tidak laik dan tidak pantas siapapun disebut dan menyebut dirinya ulama apabila berperangai pengecut (geusuen).
Demikian pula orang-orang yang sudah menabalkan dirinya Teungku (Tgk). Jangan malah sebagaimana kerap diberitakan media massa, ada yang sudah digelar atau diberi laqab Tgk, tetapi aktif atau membiarkan pemungutan pajak liar dalam masyarakat, bahkan menjadi aktor intelektual dalam perampokan dan berbagai perbuatan fasad (merusak) lainnya.
Di sisi lain dalam masyarakat ada orang-orang yang memilki keahlian berpidato, dan terjun dalam bidang dakwah, apakah dalam kategori amatiran atau profesional. Kategori da’i profesional ada yang bergelar da’i kondang, yakni setiap musim hari-hari besar Islam padat jadwalnya dalam kegiatan dakwah.
Tentu kita memberi apresiasi dan bergembira atas kiprah mereka. Karena banyak mendapat peluang dari masyarakat untuk berdakwah dalam rangka amar ma’ruf nahi munkar. Kita juga tidak mengharapkan para da’i, apalagi yang sudah menempati maqam da’i kondang itu dalam penambilannya di atas mimbar dakwah justru berbanding terbalik dan kontra produktif dengan hakikat missi dakwah itu, yakni amar ma’ruf nahi munkar, menyeru ummat berperilaku dan menebar kebajikan (ihsan), serta dalam waktu yang sama menjauhi dan berani menentang segala perbuatan fasad, pabila materi dakwah yang disampaikan da’i itu lebih menonjolkan lawakan dan/atau dongeng-dongeng israiliyat. Ceritera-ceritera atas nama dakwah Islamiyah, tetapi tidak berdasarkan referensi mu’tamad yang dielaborasi berdasarkan ayat-ayat Al-Quran dan hadis-hadis sahih.
Menurut saya, dagelan, peugot cagok, lawakan dan dongeng atas nama dakwah Islamiyah merupakan virus yang menggerogoti fondasi konstruksi syari’at Islam, sekaligus candu bagi kaum muslimin, sehingga membuat ummat kecanduan dengan “dakwah-dakwah”model demikian, dan dalam waktu yang bersamaan menjadi tidak tertarik dan enggan mengikuti dakwah Islamiyah yang sejatinya, amar ma’ruf nahi munkar bernash dan konfrehensif.
Last but not least, peran jamaah media massa amat sangat diharapkan, terutama yang dikelola kaum muslimin. Niscaya pro-aktif, berani, tegas dan transparan beramar ma’ruf nahi munkar. “liyuhiqqal haqqa wayubthilal baathila walaw karihal mujrimuun (mengatakan yang haq (benar) itu benar, yang batil itu batil, sekalipun orang-orang kafir membenci itu)” (QS, Al-Anfaal, ayat 8). Ini merupakan salah satu wujud nyata partisipasi dan tanggungjawab menegakkan syari’at Islam.
Ketiga, tanggungjawab pemerintah/penguasa (mas-uuliyyatun hukuumiyyah), yakni; Pertama, menunjukkan keteladan dalam pemahaman, pelaksanaan dan pembelaan terhadap syari’at Islam.
Rasulullah Muhammad saw, baik sebagai kepala keluarga, maupun kepala pemerintahan, senantiasa menunjukkan keteladanan dan mulai untuk dirinya sendiri terhadap apapun yang diperintahkan kepada keluarga/ummat. Sebagaimana dinyatakan dalam salah satu hadisnya; “ana awwalukum ‘alaa maa amartukum bih (saya adalah orang pertama yang melakukan terhadap apapun yang saya perintahkan kepadamu wahai ummatku)”.
Dalam konteks pemerintahan temporer berkaitan dengan penegakan syari’at Islam, dalam hal ini pemerintahan Aceh, para top leader pejabat publik sejak dalam proses menuju jabatan itu harus sesuai syari’at Islam, yakni menempuh cara-cara elegan, demokratis, cerdas, mulia, terhormat dan beradab. Tidak mendapatkan dan/atau mempertahankan kekuasaan dengan cara-cara fasistik.
Kedua, memenuhi janji yang pernah disampaikan kepada khalayak. Amanah dan adil dalam menjalankan pemerintahan. Karena memenuhi janji, melaksanakan amanah dan berperilaku adil merupakan keniscayaan dan kewajiban yang harus diwujudkan menurut syari’at Islam. Mampu menjelaskan dan melaksanakan pembangunan sesuai syari’at Islam.
Ketiga, secara terprogram dan kontinyu melakukan sosialisasi syari’at Islam sesuai dengan doktrin, karakter dan misinya. Memfasilitasi segala hal yang dibutuhkan dalam pelaksanaan syari’at Islam.
Keempat, melalui qanun-qanun (regulasi) memantapkan dan menguatkan lembaga-lembaga terkait dalam upaya penegakan dan pembelaan eksistensi serta supremasi syari’at Islam.
Kelima, sanksi yang adil terhadap siapapun yang melakukan pelanggaran terhadap syari’at Islam.
“Hai orang-orang yang beriman, jika kalian berjihad untuk membela Islam, niscaya Allah akan menolong kalian dan meneguhkan langkah-langkah kalian. Orang-orang kafir itu akan tersungkur di dalam neraka. Allah akan jadikan semua usaha mereka sia-sia” (QS, Muhammad, ayat 7-8).
“Wahai kaum mukmin, teguhkanlah diri kalian berpegang pada tali (agama) Allah. Janganlah kalian bercerai-berai. Ingatlah nikmat Allah kepada kalian, ketika kalian dahulu bermusuhan, lalu Allah mempersatukan hati kalian, sehingga dengan karunia-Nya kalian menjadi bersaudara, sedangkan (ketika itu) kalian berada di jurang neraka (kesengsaraan), lalu Allah menyelamatkan kalian dari sana. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kalian, agar kalian memperoleh petunjuk”(QS, Aali ‘Imraan, ayat 103).(ghazali.adan[at]gmail.com)
*Anggota Majelis Syura Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) Aceh, Ketua Majelis Dakwah Komite Penguatan Aqidah dan Peningkatan Amal Islam (KPA-PAI) Pemko Banda Aceh