Catatan Akhir Pekan a.ZaiZa
GAYO adalah salah satu suku bangsa yang mendiami pedalaman Aceh. Gayo secara umum, kini terbagi dalam empat wilayah pemerintahan yakni Aceh Tengah, sebagai kabupaten tertua. Dari Aceh Tengah ini melahirkan Aceh Tenggara yang kemudian lahir lagi Gayo Lues. Terakhir si bungsi Bener Meriah.
Secara umum, Gayo berbeda dengan suku bangsa lain yang mendiami wilayah Aceh. Selain bahasa, adat istiadat dan tradisi sejarah. Dalam berbagai berbagai ungkapan sejarah yang terbukti secara ilmiah, juga menunjukan bahwa suku Gayo itu merupaka suku bangsa tertua di Aceh.
Hal ini bisa merujuk dari pemberitaan Lintas Gayo, Senin 18 Maret lalu, dimana berdasarkan hasil tes Deoxyribo Nukleid Acid (DNA) kerangka manusia pra sejarah loyang (gua-red) Ujung Karang dan loyang Mendale Kecamatan Kebayakan Kabupaten Aceh Tengah dinyatakan secara absolut sama dengan dua orang warga kawasan tersebut.
Ini artinya menurut ketua tim Arkeolog dari Balai Arkeologi Medan Sumatera Utara, Ketut Wiradnyana yang secara berkelanjutan melakukan penelitian di kedua lokasi tersebut sejak beberapa tahun silam ini, kerangka manusia pra sejarah tersebut adalah benar sebagai nenek moyang Urang Gayo.
“Kerangka yang di uji DNA berumur sekitar 4400 tahun untuk di loyang Ujung Karang dan sekitar 3000 tahun untuk loyang Mendale,” jelas Ketut.( http://www.lintasgayo.com/36006/).
Sebagai suku bangsa tertua, peradabanpun dan sejarahpun secara otomatis juga paling “senior” di provinsi paling ujung barat pulau Sumatera Indonesia ini. Sayangnya, peradaban dan sejarah itu banyak yang tidak tercatat sehingga kurang terwarisi, sehingga saat ini, peradaban dan sejarah itu sebagian menjadi legenda.
Contoh kecil saja, sejarah Reje Linge yang sampai sejauh ini masih menimbulkan berpedaan cerita antara satu pihak dengan pihak, perpebedaan pandangan akan keberadaan Raja yang konon menjadi cikal bakal lahirnya Kerajaan Aceh Darussalam itu.
Namun kita tetap berharap, semua penelitian tentang Gayo baik yang sudah maupun yang belum harus terus dilakukan dan dikembangkan. Sehingga, indentitas Gayo itu semakin jelas dan terang benderang.
Dari sekelumit cerita diatas, dengan kejayaan dan kebanggaan akan sejarah, budaya dan adat istiadat serta tradisi yang sudah sangat terkenal, di zaman modern ini, tentunya kita sebagai generasi muda Gayo tidak mesti terlena akan kejayaan tersebut.
Namun, kita harusnya menjadi generasi petualang yang akan terus memperkenalkan Gayo kepada masyarakat dunia. Sehingga nama besar Gayo yang telah di ukir nenek moyang kita tempoe doeloe hilang ditelan zaman.
Caranya bagaimana. Sejauh ini, dari amatan penulis banyak cara yang telah dilakukan untuk memperkenalkan Gayo. Diantaranya Kopi. Siapa yang tidak kenal kopi Arabika asal Gayo. Bannyak pihak yang telah secara bahu-membahu memperkenalkan kopi Gayo ke dunia internasional.
Suatu saat nanti, kita berharap bukan saja kopinya saja yang terkenal hingga ke mancanegara, namun juga para petaninya bisa menjadi petani refrensi dunia dalam hal kopi arabika. Artinya, bukan toke, pengusaha saja yang bisa sejahtera dengan kopi, tapi petaninya juga.
Selain itu, ada namanya Danau Laut Tawar. Jika orang menyebut Danau Laut Tawar, maka imajinasi orang akan jauh membayangkan Aceh Tengah, sebagai sebuah negeri yang tercipta dari sekeping tanah di surge.
Selain itu, Saman. Saat ini siapa yang tak kenal Saman. Masyarakat duniapun sudah mengenal tarian energik, filosifi dan religi atas Gayo Lues ini. Sehingga Unesconya menjadikan salah satu warisan dunia bukan benda.
Lalu apa lagi. Tentunya masih banyak lagi pastinya. Berbagai upaya memperkenalkan Gayo itu semakin hari semakin terasa terlihat. Ada yang memperkenalkannya dalam skala besar ada yang berskala kecil, namun penuh makna.
Sebut saja Sabela Gayo dengan World Gayonese Association (Persatuan Masyarakat Gayo Dunia) yang semakin melengkapi kehadiran rakyat Gayo di semua lini dan tingkatan sosial kemasyarakatanya khusus ditataran internasional.
Lain halnya dengan dua penyair Aceh Fikar W Eda dan Salman Yoga S, yang kini sedang menggarap Gayo lewat “persiapan persalinan” buku Puisi Kopi”. Mereka akan berusaha mempekenalkan lagi Gayo lewat dunia sastra. Ini langkah maju yang terus terjaga, meski sebelumnya mereka sudah sukses menggarap Puisi Pasa (puasa) dalam tiga bahasa, yakni Gayo, Indonesia dan Inggeris.
Yang terbaru, sebagaimana dilansir media online yang sedang kita baca ini, yakni memperkenalkan keurawang Gayo dalam nuansa batik yang dilakukan Yuli Wahed. Apa yang dlakukan Yuli ini sungguh mengharukan. Sebab, tujuan utamanya hanya guna manaikan wibawa kerawang Gayo.
Penulis yakin, masih banyak anak muda Gayo yang memiliki inovasi yang inovatif untuk terus memperkenalkan Gayo kepada dunia internasional. Dan tentunya, semua itu harus dicatat dalam lembaran sejarah baru nan modern Gayo. Sehingga suatu saat nanti, itu bukan menjadi cerita legenda kembali.
Selain catat, cara mudah lagi untuk mengabadikan Gayo adalah lewat foto. Jadikan Gayo dalam bingkai sejarah. Bahwa peradaban dalam kemodrenan bisa menjadikan Gayo terus berkembang dan lestari sepajang masa, dihati saya, anda dan kita semua.
Diakhir catatan ini, ingin saya katakan, siapapun kita, mari berbuat untuk Gayo. Dan saya yakin, kita bisa melakukan itu semua. Hingga suatu saat nanti, ketika orang menyebut: kopi, Saman, Lut Tawar, Linge, peradaban, sejarah, kerawang, Depik, sastra, penyair, wisata, penulis, politisi, pelajar cerdas, masiswa inovasi dan kreatif dll = GAYO!!!.
Artinya, GAYO bukan Kopi, Saman dan Lut Tawar saja. Sepakat…(aman.zaiza[at]yahoo.com)