Ramlah, Perempuan Gayo, Isu, Sepi, dan Lagu

ramlah_1Catatan Jauhari Samalanga*

Ramlah menangis? begitu peristiwa singkat pertemuan kami dengan sosok fenomenal Ramlah di Warung Apresiasi (Wapres), Kamis 28 Maret 2013. Tangisannya bukan tangisan biasa, tetapi kali ini Ramlah betul-betul trenyeuh dengan peristiwa Ulu Naron, tatkala dia terpaksa menjual tomat dan sayur-sayuran untuk memenuhi hidup keluarga, sementara suami tercinta tidak juga pulang ke rumah.

Aneh memang, penyanyi Gayo yang sudah berusia 60 tahun itu justru tidak menghapus air matanya. Dia membiarkannya mengering seraya bercerita perihnya hidup di tinggal suami, dan kerap kali lantunan lagunya pada pesta perkawinan orang, dia nyanyikan karena “rindu” pada sosok pria yang dia kenang. Katanya, “buge sangup aku ni win, gere ne mera aku ulak urum bapakmu,” katanya singkat.

Rupanya Ramlah sudah dua tahun berpisah dengan suami tercinta, Mahlil. Dia menyadari betul kali ini tidak mungkin lagi bersatu, walau sebenarnya hasrat hati masih membumi dan mencintai sang mantan suami. Katanya, kalau dulu dia selalu menerima suami kembali, maka sekarang tidak lagi. Tentu, Ramlah memampukan diri bertahan sendiri, apalagi anak tertuanya Susilawati mendukung keputusan sang Ibu.

Begitulah Ramlah, sebelumnya kerap kali berubah pikiran. Hanya kali ini, katanya, tidak lagi. Sudah berkali-kali sang suami memintanya kembali dan Ramlahpun bertahan.

Itulah kisah pelantun “Rempate” yang kontroversial. Ramlahlah yang selalu berkata dirinya “balu” dan tidak meng-enakan berada diantara orang ramai lantaran cuma menjadi omongan saja. Namun bagaimana lagi, untuk biaya hidup satu-satunya kini sangat bergantung pada “panggilan” bernyanyi.

Pada omongan “miring” orang bukanlah hal baru bagi Ramlah. Dia sudah berpuluh-puluh tahun memendam perasaan “tidak enak” hanya gara-gara di sebut “pengganggu”. Ramlah mengaku hanya diam, namun sebenarnya cintanya hanya satu Saja, yaitu suaminya yang juga penyanyi. Berkali-berkali bercerai dan berkali-kali pula memaafkan suami, hingga akhirnya harus memutuskan “sudahlah”.

Lagu “Rempate” yang terkenal itu merupakan salah satu simbol betapa sakitnya di tinggal, dan Ramlah tidak mau di tinggal suami, sehingga dia berusaha mengejarnya hingga suami kembali lagi, namun hanya untuk beberapa saat saja, peristiwa cerai terjadi kembali, Ramlah lagi-lagi dirundung “malang”. Barangkali inilah cinta sejati Ramlah, dan hanya ada satu cinta sejatinya, yakni Mahlil.

Perjalanan

Kisah diatas diceritakan Ramlah selama berada di Wapres, dan pada sorenya Saya bersama dua orang teman, Dharmawan (Lintas Gayo), Aliye Laskar Gayo dan Bobi bergerak mengantar Ibu Ramlah pulang ke rumahnya di daerah Brawang Gadeng, Aceh Tengah. Dalam perjalanan rupanya Ramlah cukup humoris, dan terkadang muncul kata-kata “nakal” yang unik, spontan kami tertawa di buatnya. Semisal ketika laju kendaraan agak cepat, Ramlah mengingatkannya dengan pelan, “win male kusi mai ko aku,” katanya. Itu pertanda Ramlah tidak suka mobil melaju cepat.

Didalam mobil Avanza itu, kami pun memberi pertanyaan-pertanyaan ringan, semisal bagaimana pertemuan pertama dirinya dengan Mahlil, Ramlah tertawa. katanya waktu dirinya muda, di Uning ada pesta perkawinan, dan disitulah dia melihat pria tampan dengan pipi yang merah. “Ino gagah di jemani,” candanya. Dan meledak tawa kami serentak, Ramlah pun berlantun Ahooooi wiw.ramlah_2

Namun rasa gembira Ramlah hanya sejenak ketika saya bertanya padanya, diantara ratusan lagu yang dia nyanyikan,lagu yang mana paling menjadi pilihannya?. Lalu Ramlah menjawab, “Emon Siatas”. mengapa lagu itu? dia kembali menjawab, itulah sebuah perjalanan dengan Bapakmu. terlihat rautnya kembali resah luar biasa. Lalu lagu yang mana? katanya, Kusi Kuperahi. “lagu-lagu itu punya kenangan khusus,” ucapnya.

Namun Ramlah tidak menjabarkan mengapa dirinya sulit menerima suaminya kembali, hanya saja dia menyebutkan kalau peristiwa seperti lalu pasti kembali akan berulang, menikahi perempuan lain tanpa sepengetahuan dirinya. Lalu dia kembali sendiri dengan lagu-lagunya.

lalu dia berkisah sedikit tentang lagu “Kusi Kuperahi” kala dia menyanyikannya di sebuah pesta perkawinan di Pondok Baru, Bener Meriah, beberapa waktu lalu. Dia melantunkannya lantaran melihat sang mantan berada di lokasi, namun tidak kuat, Ramlah menangis lagi, tetapi hanya dia sendiri saja yang mengetahuinya.

sebelum memasuki kawasan tinggalnya, Ramlah sempat tersentak ketiga ditanya siapa nama Ramlah sebenarnya. Dia bernama Siti Ramlah,lahir di Berawang Gadeng. Ayahnya Abdul Wahab asli Brawang gading. Anehnya, Ayah Ramlah seorang Gayo, tapi Syech Seudati. Dan ibunya Siti Maryam asal kampungyang sama merupakan seorang seniman Syaer.

Ramlah merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Abangnya Alyasa di paya Kolaq, dan adiknya Siti Murni juga di Paya Kolaq. Ramlah punya putra-putri 6 orang, yang pertama Susilawati (petani), Kedua Mahdy (petani), ketiga Abdul Rahman (supir),keempat Yuliani (tani), Kelima Tarbiah (Satpol PP Takengon), dan Keenam Asra.

Tidaklama kemudian kami tiba di kediaman Ramlah, kira-kira 50 meter sebelum sampai ke pasar Berawang gading, belok ke kiri. itu kalau dari arah Kuyun. Tidak jauh kekiri,hanya berselang beberapa rumah, disitul tempat tingga Ramlah, sebuah rumah yang berukuran sekitar 4 meter, namun memajang ke belakang. halamannya agak “Mutingok” ke depan diantara rumah tetangganya.

Kami persis berhenti di depan pintu rumahnya. Ramlah langsung turun dan mengambil kunci di dalam tas. tetapi sebelumnya dia bertanya, “Ggere ke foto kite mulo?”. tentu,lantas kami mengabadikannya.

Hanya berselang beberapa menit pintu rumah sudah terbuka, Ibu Ramlahpun mempersilakan kami masuk. Karena model rumah yang memanjang, posisinya ruang tamu,kamar, dan dapur saja. Di ruang Tamunya, terpampang foto-foto, dan foto terbesar adalah nasaruddin, Bupati Aceh Tengah. selanjutnya foto diri Ramlah. diatas Bupet yang membatasi ruangan terlihat pula sebuah foto Ramlah bersama seorang laki-laki berkaca mata hitam, dan itulah Mahlil, suami tercinta.

Ramlah menawarkan kami minum, namun kami menolaknya karena baru saja meminum kopi di Wapres. Lalu Ramlah mengambil sebuah buku dan dia membukanya. Ramlah memanggil Aliye Laskar Gayo dan menunjukan beberapa lagu yang ada dalam salinan di buku. kata Ramlah, ini lagu kita duet bersama untuk acara malam besok (Acara Kado Indah untuk Sahabat Ikmal-Eva) ,lantas merekapun bersenandung tembang “Pis Diatemu”.

Lalu Ramlah terdiam sejenak ketika saya bertanya padanya, Apakah Ramlah pernah mendapat piagam atau penghargaan atas jasanya pada lagu-lagu Gayo. “Gere penah,” jawabnya ringan. Apakah Ramlah pernah ke Luar Negeri? “Gere penah,” jawabnya lagi. “Si ara i osah penghargaan tanda terima kasih meh berdidong,oya we” katanya singkat. “Ike keluar negeri gere penah, perjelenenku cume Bener Meriah, BelangKejeren, Kutecane, Banda Aceh, Medan, Jakarta, Bandung, nye Surabaya. Oya we,” jelas Ramlah.

Tragis memang, orang sehebat Ramlah belum pernah mengenal Bali yang terkenal pencinta tradisi, belum pernah melihat Malaysia, Jepang, Australia, danlain-lain layaknya seniman tradisi di Jawa. Rupanya Ramlah bukan tipe peminta soal itu, baginya berkesenian dimanapun tetap sama saja.

Namun begitu Ramlah takpernah membantah, dia ikuti kata hatinya. Termasuk Ramlah juga tidak membantah apabila lagu-lagu sekarang kebanyakan setelah dia “mengunyahnya” dan penyanyi tinggalmenelannya saja. Begitupun soal nasib rumah tangganya, dia jalani semampu hantinya, hingga kini ramlah betul-betul “berdiam” dengan lagu-lagu indah yang pernah menghiasi hati, sampai nanti, ramlah telah siap dengan sebuah lagu baru, khusus tentang perpisahan abadi dengan “suami terkasih”, tanpa ada yang lain lagi.

*Pegiat Seni Budaya, tinggal di Banda Aceh

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.