“Amunisi Politik” Elit PA

Muhamad Hamka*

Hamka (5)

MoU Helsinki sudah direduksi menjadi “amunisi politik” elit Partai Aceh (PA) dalam membangun hegemoni kekuasaan. Qanun Wali Nanggroe dan Qanun Lambang dan Bendera Aceh yang merupakan amanah MoU Helsinki, dibelokkan substansinya untuk menyuburkan dominasi kekuasaan sekelompok orang; bukan kemaslahatan seluruh rakyat Aceh.

Ketika Qanun Wali Nanggroe dibentuk, ada banyak protes dari elemen masyarakat Aceh. Protes tersebut bukan tanpa sebab, tapi karena memang qanun tersebut sudah dibonsai guna mengokohkan hegemoni kelompok tertentu dalam percaturan politik Aceh. Sehingga tak heran, Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) dipelorot hingga 40 miliar rupiah sebagai biaya operasional lembaga Wali Nanggroe, yang mana tugas pokok serta fungsinya (tupoksi) tak jelas apa maslahatnya buat rakyat Aceh.

Pembajakan MoU

Kita tidak mempersolakan amanah MoU, karena MoU Helsinki merupakan katalis yang membawa Aceh menghirup udara damai setelah puluhan tahun di dera konflik. Persoalanya sekarang adalah pembajakan amanah MoU Helsinki untuk kepentingan privat segelintir orang. Pembajakan ini kian terang-benderang, ketika Rancangan Qanun Lambang dan Bendera Aceh disahkan menjadi qanun.

Bendera Aceh yang diduga dicomot sesuka hati dari model bendera kelompok tertentu semakin membuat publik Aceh gusar. Sehingga pemerintah pusat (Jakarta) pun dibuat panik. Maka tak heran kalau Mendagri menghimbau warga Aceh untuk tidak mengibarkan bendera tersebut. Bahkan SBY membicarakan persoalan pengibaran bendera bulan-bintang ini dalam rapat terbatas.

Bendera yang tak mencerminkan kebhinekaan Aceh ini semakin menegaskan bahwa ada upaya serius kelompok tertentu di Aceh untuk menggelincirkan Aceh dalam tirani kekuasaan. Gerakan sistematik ini tentu saja menimbulkan gesekan yang serius di tengah masyarakat Aceh. Mengingat negeri Serambi Mekkah, tidak saja di diami oleh satu etnis tapi di huni oleh pelbagai etnis. Jadi, sudah menjadi sebuah kemestian sebenarnya untuk menghargai dan mengapresiasi eksistensi semua etnis yang ada.

Begitupun dengan gambar Bouraq pada lambang Aceh, semakin memperlihatkan bahwa tidak ada upaya serius dari elit PA sebagai pemegang kekuasaan untuk konsisten mendukung syariat Islam di Aceh. Gambar wanita yang memperlihatkan aurat pada lambang Aceh tak saja ahistoris, tapi juga sebagai upaya delegitimasi eksistensi Aceh yang notabene sebagai satu-satunya provinsi di Republik ini yang berhak menjalankan syariat Islam seturut dengan predikat otonomi khususnya.

Langkah Mundur

Arogansi privat yang diperlihatkan oleh para elit PA ini merupakan langkah mundur bagi demokrasi Aceh. Besarnya ekspektasi publik Aceh kepada Zaini Abdullah dan Muzakkir Manaf (Zikir) seyogianya dimaknai sebagai besarnya dukungan masyarakat Aceh dalam mewujudkan harmoni; kesejahteraan dan kedamaian di negeri Iskandar Muda.

Namun yang terjadi justru ironi, dimana ekspektasi yang besar dari rakyat Aceh direduksi bahkan dikooptasi oleh elit PA sebagai sarana untuk mengokohkan klan kekuasaan. Elit model ini—meminjam perspektif Eman Hermawan (2008)—merupakan elit hedonis dan pragmatis, bahkan menjadi elit komprador yang menikmati kebahagian dan kenikmatan dunia di atas penderitaan masyarakatnya.

Yang paling dirugikan dari muslihat politik sektarian ini adalah etnis minoritas. Suku Gayo, Alas, Aneuk Jamee, Kluet, dan Tamiang, secara substantive dan normative di lenyapkan eksistensinya oleh dua qanun yang menerabas kemanusiaan di atas. Lalu apa yang diharapkan dari pemerintahan Zikir dengan model kepemimpinan seperti ini?

Kalau kita berangkat dari pemikiran utuh dan jernih maka tindakan nir-kemanusiaan oleh elit yang menguasai Aceh diatas, kita akan sampai pada sebuah konklusi, dimana ada upaya yang serius dan sistematik dari kelompok tertentu untuk membawa Aceh dalam monarki kekuasaan yang absolut serta memberangus eksistensi suku-suku minoritas. Pertanyaanya sekarang, masih waraskah kita bergabung dalam sebuah “habitus” yang penuh dengan ketidak-warasan.

Panggilan Kemanusiaan

Maka satu-satunya langkah radikal dalam memosisikan eksistensi serta kemanusiaan kita sebagai suku yang masih waras dan bermartabat adalah berdiri di atas kaki sendiri. Membentuk provinsi sendiri adalah langkah yang manusiawi dan bermartabat. Jadi, pembentukkan provinsi Aceh Leuser Antara (ALA) tidak sekadar soal interest para pihak, tapi yang paling utama dan esensial adalah panggilan kemanusiaan. Sekali lagi, pembentukkan provinsi ALA merupakan panggilan kemanusiaan.

* Analis sosial & politik

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.