SELEPAS Juma’atan Khalisuddin, pegawai Dinas Kebudayaan, Pariwisata dan Olahraga Kabupaten Aceh Tengah menghubungiku, ia mengajakku dan Ihwan untuk menemani tamunya yang berasal dari Perancis jalan-jalan, akupun mengiyakannya.
“Nama saya Hugo” ujar tamu tersebut dengan Bahasa Indonesia yang terpatah-patah saat berkenalan denganku. Seperti perawakan orang Eropa pada umumnya, Hugo memiliki postur tubuh tinggi, berkulit putih bermata biru dan berambut agak merah. Aku sempat menduga umurnya sekitar 28 tahun, ia menggeleng demi mendengar tebakanku, umurnya baru menginjak 25 tahun.
Salah satu pekerjaan Hugo membuat film dokumenter daerah-daerah yang dikunjunginya, fokusnya pada lingkungan dan kebudayaan untuk disajikan di website yang dikelolanya. Untuk Indonesia selain Aceh, ia sudah mengunjungi beberapa kota di Pulau Jawa, dan akan menjelajahi Provinsi Sumatera Utara, Sumatera Barat, Pulau Sulawesi serta Papua.
Menemani seorang teman berjalan-jalan apakah ia berasal dari dalam maupun luar negeri memiliki kesenangan tersendiri buatku. Banyak hal baru yang kutemukan melalui perjalanan singkat tersebut. Termasuk bersama Hugo, ia sangat kritis, dalam hal positif tentunya. Hampir di sepanjang perjalanan ia terus bertanya padaku maupun Khalis, hanya Ihwan saja yang fokus pada jalanan karena ia yang memegang kendali pada setir mobil.
Aku dan Khalis kadang kelimpungan menjawab pertanyaan Hugo, padahal pertanyaannya biasa saja, tentang kehidupan Masyarakat Gayo pada umumnya. Kendalanya pada Bahasa Inggris yang kami kuasai. Khalis yang semasa Sekolah Menengah Atas (SMA) pernah menjadi guide namun karena jarang menggunakan Bahasa Inggris, ia jadi lupa bahkan kaku untuk berbicara. Aku, jujur tidak pernah menambah perbendaharaan kosa kata Bahasa Inggrisku, jangan tanya tentang grammar, karena yang terpenting pada sebuah percakapan adalah saling mengerti. Lain lagi dengan Ihwan, sambil menyetir ia menyesali diri yang semasa sekolah tidak pernah tertarik dengan Bahasa Inggris.
Seorang nenek yang melihat komunikasi antara aku, Hugo dan Khalis menasehati cucunya, “itulah belajar yang rajin, yang tinggi supaya bisa berbahasa Inggris. Tidak seperti nenek”. Ya, kita tidak harus memiliki rencana ke luar negeri dulu baru belajar Bahasa Inggris bukan?
Saat aku masih duduk di bangku sekolah, kendati bapakku tidak bisa Bahasa Inggris, ia mengajarkanku trik untuk menghapal vocabulary Bahasa Inggris yang lain baca-lain tulis. Yaitu dengan menuliskan satu kata pada secarik kertas kecil, satu kata ini disertai dengan cara baca dan artinya. Kertas tersebut dibawa kemanapun pergi, hingga kata tersebut terhapal di luar kepala. Begitu seterusnya untuk kata-kata yang lain. Sayangnya aku tidak mematuhi bapakku, sehingga vocabulary yang kumiliki masih tergolong sedikit.
Hugo penasaran, siapa yang membawa kuda ke Takengen, karena ia hampir tidak pernah melihat kuda di daerah-daerah yang sudah ia kunjungi di Indonesia. Ia begitu antusias saat kuceritakan setiap hari minggu dapat melihat latihan pacuan kuda tradisional di Lapangan Belang Bebangka. Menurut Khalis dari dulu memang sudah ada kuda di Takengen, namun sekarang beberapa diantaranya sudah ada yang dikawin silangkan dengan kuda dari luar negeri seperti Kuda Australia.
Hugo juga bertanya, “apakah di Takengen sering ada sabung ayam?” Aku terkejut dengan pertanyaannya. Karena pada dasarnya sabung ayam dilarang oleh pemerintah dan Agama Islam. Pertanyaan itu muncul karena ia memperhatikan di sepanjang perjalanan dari Desa Belang Gele menuju Pantan Terong banyak yang memelihara ayam jago. Aku berdalih kemungkinan itu untuk dimakan, walau aku sendiri sangat tidak yakin dengan jawaban yang kulontarkan, seakan mementalkan pertanyaan “benarkah?” pada diriku sendiri.
Aku jadi teringat akan cerita Hugo tentang demonstrasi yang baru-baru ini terjadi di negaranya, yaitu tentang keinginan sejumlah warga untuk melegalkan pernikahan antara sesama wanita, atau pasangan lesbi. Di Indonesia hampir tidak ada demonstrasi yang menuntut adanya pelegalan yang sedari awal sudah di larang oleh pemerintah apalagi oleh Agama. Namun tetap dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Ironi.
Perjalanan kami lebih diwarnai dengan menyinggahi tempat-tempat yang berhubungan dengan kopi. Hugo tertarik membuat film dokumenter tentang Kopi Gayo organik, kendati ia adalah pecinta teh. Ia kerap bertanya tentang harga kopi, tentang darimana datangnya sebuah ide kopi organik yang “dianut” oleh Masyarakat Gayo. Ditambah lagi, Khalis yang seorang pecandu berat kopi, sehari ia bisa menenggak 5 gelas kopi, ia seperti orang sakau jika keinginannya ngopi belum terpenuhi, meminta kami menyinggahi cafe yang menyediakan Kopi Gayo. Dalam 4 jam perjalanan, 2 kali kami duduk di cafe untuk menyesap nikmatnya segelas kopi.
Saat aku hendak Shalat Ashar, Hugo memintaku untuk mengajarinya. Aku tersenyum padanya, pasalnya ia mengenakan celana pendek di atas lutut, sedangkan menurut tata krama Orang Timur hal tersebut tidak sopan. Bahkan di beberapa Mesjid di Aceh, dipasang pengumuman untuk berpakaian Muslim jika memasuki pekarangan Mesjid. Hugo bertanya padaku “apakah di Mesjid ada batik?”, batik yang ia maksud mungkin adalah sarung. Aku mencoba mencari di sekeliling Mesjid, tidak tersedia. Ia menelan kecewa dan sambil tersenyum ia mengatakan padaku “tidak apa-apa, aku akan bermain bola saja”. Di depan Mesjid yang terletak di Pasar Pagi tersebut, terdapat lapangan, dan sore itu banyak anak-anak kecil sedang bermain bola kaki.
Yang terlintas di benakku adalah kenapa ia tergugah untuk meminta diajari Shalat padaku. Di negaranya sendiri dulu Islam pernah berjaya, ia juga menunjukkan padaku sebuah foto Mesjid di dekat rumahnya. Mungkin pikirku, jika ia meminta diajari di negaranya, sudah tertanam di benaknya bahwa hal tersebut sama dengan ekstrim, jalur kiri. Dan ia belum siap untuk keluar dari zona nyamannya sekarang. Semoga di kemudian hari jika ia memang berniat dan bersungguh-sungguh untuk mempelajari Islam, ia menemukan orang yang tepat, dan semoga hidayah itu segera menghampirinya.
Aku menanyakan padanya tentang Takengen yang ia lihat selama beberapa jam kebelakang. Ia menyukai kota kecilku, penduduknya juga ramah. Ia mengomentari tentang betapa tidak terawatnya penginapan-penginapan murah yang di Takengen. Dinding yang penuh bercak-bercak, seprai dan lantai yang tidak bersih, belum lagi kamar mandinya. Aku menyetujuinya, kendati mematok harga murah, tidak ada salahnya jika kebersihan kamar tetap terjaga. Karena yang berlibur ke Takengen bukan hanya yang memiliki banyak uang, ada backpacker diantaranya yang menghendaki biaya seminim-minimnya.(Ria Devitariska)