Bangsaku & Etikanya

Oleh: Quadi Azam*

quadi-azam-214x300SUDAH 66 tahun bangsa ini berusaha untuk belajar memahami teori maupun mencontoh suri tauladan yang tertuang dalam buku, internet, televisi, dan media sosial lainnya tentang moralitas, etika, kesopanan, kesantunan, akhlak. Juga tidak ketinggalan lembaga pendidik saling berkoordinasi dengan lembaga lain untuk menemukan selongsong peluru, agar etika dan moral ini dapat menusuk dalam tubuh semua orang yang ada dalam bangsa ini.

Terkadang pekerjaan ini melelahkan, agama sebagai salah satu pendukung agar etika dan moral ini menjadi garda terdepan dalam menyelesaikan semua masalah. Pun absen juga untuk mengingatkan semua orang yang hadir dan berdoa pada Tuhannya. Aparat negara juga didorong untuk melakukan tugas yang tegas serta tuntas. Terkadang juga menghadapi masalah ketimpangan etika atasan dan bawahan.

Bukan tanpa alasan tulisan ini dinarasikan. Pertama, kita sering dengar di televisi dan media yang lain seorang ibu membunuh anaknya sendiri, seorang bapak kandung menyetubuhi anak kandungnya, dan begitu sebaliknya. Kedua, pejabat negeri ini yang mempertontonkan kebobrokan moral dan etikanya seolah itu merupakan prestasi yang wajib disiarkan keseluruh orang di dunia. Seperti korupsi, kolusi, asusila, dan lain sebagainya, menjadi muatan aplikasi diri sebagai reses kehidupan. Ketiga, pornografi dan pornoaksi yang tidak lagi memiliki batas antara umur dan tontonan seolah batasan tontonan di media TV dan internet hanyalah sebatas simbol yang diyakini prasyarat pembentukan sebuah UU.

Keempat, bagaimana aparatur negara dijadikan sebagai lawan dalam lapangan medan juang, dan juga sebaliknya masyarakat sipil dijadikan ajang percobaan pembunuhan, untuk mengamankan kekuasaan. Budaya transparan tidak berani lagi keluar dari bibir penghisap rokok, hanya saja kebohongan yang tertuang sedemikian rupa, rapi dan sistematis yang terkemas dalam ruang dan aturannya. Kelima, para tokoh, ustadz, pendeta, pejabat, dan suri tauladan lainnya, kebanyakan telah terpuruk dalam dunia pragmatis, semua hanyalah uang, hidup untuk uang, makan uang untuk kehidupan, serta profesi itu ladang uang yang harus dijual.

Kemana Amalan Agama?

Salah satu nilai dasar kehidupan adalah ruang agama sebagai landasan atau tiang penyanggah untuk semua umat manusia. Tidak ada ajaran agama yang melanggar ketentuan-ketentuan yang telah diatur oleh negara. Negara mengakomodir apa yang diperintahkan oleh agama sebagai pedoman. Lahirnya bangsa Indonesiapun tidak terlepas dari peran besar agama, baik Islam, Perotestan, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu yang diakui di negara ini.

Kebaikan ajaran agama sampai mencerminkan kebijakan baik dalam memberikan putusan. Hati tulus, iklas, dan tegas merupakan bagian dan moralitas manusia. Pun diajarkan dalam menanggulangi manusia. Semua agama memiliki kitab suci masing-masing, dalam ajarannya ā€œmencegah kemungkaran, dan membumikan kebajikanā€. Itulah landasan teori mengapa agama sebagai bagian tak terpisahkan dari kehidupan, apa yang kita alami dan permasalahkan di dunia ini telah tertuang solusinya dalam ajaran agama.

Semakin besarnya agama, mengapa semakin bobrok ini negara. Siaran televisi yang berlandaskan agama, seperti sinetron bernuansa religius tak mampu lagi memberikan suntikan pemikiran cerdas kepada penontonnya. Ketentuan-ketentuan yang diatur dalam agama sungguh tiap minggu ditelurkan, bahkan tiap pagi jika sering melihat televisi. Namun, sepertinya terbalik semakin diberi pemahaman, maka semakin besar peluang untuk melanggar aturan. Apakah ini yang dinamakan dengan beragama?.

Tentunya tidak. Agama tidak pernah lalai dalam memberantas kemungkaran. Yang lalai adalah tokohnya yang kebanyakan telah memamfaatkan agama sebagai peluang politis, pragmatis, serta interest individualis. Baiknya pelajaran yang berharga bagi tokoh-tokoh agama kita, jangan sampai ikhtiar yang dilakukan semakin hari semakin menjerumuskan semua kedalam neraka.

Pancasila Cerminan Bangsa

Lima pointer Pancasila jika kita hayati telah memuat semua bingkai kehidupan negara. Setiap sekolah membaca dan mendengarkan pada saat upacara. Tentunya bisa ditafsirkan seorang yang pernah duduk dibangku sekolah tahu dan paham tentang nilai-nilai yang tertuang didalamnya. Sosialisasi 4 pilar setiap tahun diadakan diberbagai daerah oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Memberikan ketegasan dalam bernegara dan kehidupan berbangsa.

Perguruan tinggi juga setiap harinya memberikan pelajaran berharga, khususnya mengenai pembangunan karakter. Memahami UU dan ketentuan lain yang mengatur perbuatan yang bisa dilakukan tertuang dalam prosedur hukum. Hampir setiap pejabat, tokoh, dan pimpinan lembaga di Negara ini pernah menjadi mahasiswa. Juga tidak ketinggalan keluarga, juga memberikan pemahaman nilai-nilai Pancasila kepada seluruh anak-anak, tetangga didekat rumahnya.

Tapi, mengapa tetap nilai-nilai Pancasila masih belum mampu masuk dalam benak sebagian warganya. Tentunya yang melakukan tindakan-tindakan yang melampaui aturan yang telah ditetapkan. Setidaknya kesadaran dan kebobrokan nilai etika ini bisa dijaga. Begitupun tetap saja setiap hari media memberitakan ada saja kelakuan yang memalukan bangsa ini.

Pernahkah kita sadari bahwa ā€œkita adalah cerminan bangsaā€. Apakah kalimat ini tidak cukup untuk mengusik hati, perasaan, dan watak yang selama ini dibawa kemana-mana? Bukankah dalam mukadimah UUD 1945 tertuang katan beradab? Atau kita sudah tidak lagi memahami bahasa ibu kita yang dibuat dengan seksama?

kesimpulan

Orientasi berpikir kita terbalik, rusak, dan hipokrit, tidak lagi terbungkus rapi dalam ruang bersih dan terang. Betapa tidak, hanya orang yang cegeng yang mengunci hatinya dengan keburukan. Atau orang sudah bosan bernegara serta berbangsa. Apapun itu, hanya tafsiran yang hadir akibat realitas kehidupan.

Baiknya yang dilakukan adalah Agama jangan sampai menelanjangkan kebobrokan, akibat perbuatan sendiri. Karena sesungguhnya dasar pintu masuk dalam kehidupan ini ada 2 dengan beragama dan dengan berbangsa. kedua, jadikanlah orang yang terdekat dari kita melek akan Hukum dan HAM, karena dengan hukum kita dapatkan ketegasan dan dengan HAM kita dapatkan kepentingan dan kesadaran. Ketiga, cerdaskanlah diri dan teman-teman disekitar untuk memberikan hukuman sosial bagi pejabat, tokoh agama, politik, dan lainnya. Keempat, agar penyelenggara ini konsisten terhadap ucapan dan perbuatannya. Terakhir, kekuatan media untuk melakukan edukasi dan kampanye pentingnya etika dalam berbangsa.(azamrights[at]gmail.com)

* Peneliti Pusat Studi HAM UnimedĀ Ā Ā 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.