Catatan; Maharadi
KONON katanya Kopi Gayo telah berumur seabad lebih, sejak 1918 kopi sudah ditanam secara profesional dan pada tahun 1924 Belanda dan investor Eropa telah memulai menjadikan lahan didominasi tanaman kopi, teh dan sayuran di Dataran Tinggi Gayo , lihat (John R Bowen, Sumatran Politics and Poetics, Gayo History 1900-1989, halaman76).
Hingga kini kopi diyakini sebagai urat nadi perekonomian rakyat Gayo yang mendiami Kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah dan sebagian kecil Kabupaten Gayo Lues yang merupakan areal lahan kopi yang terluas di Indonesia dan di Asia Tenggara.
Dengan jumlah petani Kopi di Aceh Tengah mencapai 34.476 kepala keluarga (KK) dengan luas lahan 48.000 hektare. Kabupaten Bener Meriah sekitar 20 ribu KK dengan luas areal kopi 40.000 hektare dan sebagian kecilnya ada di Kabupaten Gayo Lues dengan tingkat produktivitas antara 700 hingga 1.000 kg per hektare.
Kopi Gayo juga memiliki cita rasa khas. Tanggal 10 Oktober 2010 saat Event Lelang Special Kopi Indonesia di Bali, Kopi Arabika Gayo memperoleh kembali score tertinggi saat Cupping Score. Bukan hanya itu, Kopi Gayo juga telah menerima sertifikat IG (Indikasi Geogafis) dari Menteri Hukum dan HAM. Dan terakhir Petani Kopi Gayo Organik (PPKO) telah mendapat Fair Trade Certified™ dari Organisasi Internasional Fair Trade pada tanggal 27 Mei 2010.
Kopi Gayo juga memenuhui persyaratan kualitas ekspor. Kopi Gayo punya angka grade 1-2 punya Spesialty dan organic sehingga Kopi jenis ini sangat laku di pasar internasional. Volume eskpor kopi di bulan Januari- September di tahun 2009 saja sudah mencapai 4,635 ribu ton dengan nilai 14,699 juta dolar AS (Rp14,699 miliar), lihat data Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi dan UKM Aceh.
Pendapatan Asli Daerah (PAD) Aceh Tengah pun terbesar dari kopi, hingga mencapai Rp8 miliar per tahunnya. Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah memiliki potensi yang cukup besar di bidang pertanian.
Tanah Gayo adalah ‘Tanah Surga’, di mana perkebunan kopi menjadi andalan utama. sebagian besar rakyat Dataran Tinggi Gayo berprofesi sebagai petani kopi, sehingga tak dapat dipungkiri lagi begitu besarnya peranan kopi terhadap roda perekonomian rakyat Gayo. Membahas masalah kopi di Aceh Tengah berarti membahas nasib puluhan ribu petaninya.
Namun sayang, Pemerintah Daerah kurang serius membahas kopi, hemat penulis pemerintah masih beranggapan bahwa peningkatan produksi secara otomatis akan meningkatkan kesejahteraan petani.
Ternyata tidak, itu salah besar. Beberapa hari yang lalu penulis bertemu Mahdi Usati, pakar citarasa kopi Gayo dari Gayo Cuppers Team, pemasaran kopi Gayo yang konon katanya di jual ke Medan Sumatera Utara sudah tidak ada jaminan lagi, apakah itu kopi Gayo atau bukan, di duga kopi yang dari Gayo di campur dengan kopi yang bukan dari Gayo dan di jual oleh mafia.
Menjadi pertanyaan kita adalah siapa bertanggung jawab apabila semisalnya ke khasan Kopi Gayo tidak lagi di nikmati pasar Dunia karena dari rasa dan aroma sudah berubah ? sebenarnya bukan soal peningkatan produksi akan meningkatkan kesejahtraan petani. Kemudian sebagaimana kita ketahui kenyataannya harga jual kopi selalu berfluktuasi. Saat ini kondisi harga kopi turun drastis dari harga 7000 Gelodong ke 4500.
Setidaknya banyak pihak menyadari betul bahwa pasar internasional sangat menentukan naik turunnya harga kopi, tapi seringkali juga fluktuasi tersebut terjadi di tingkat lokal karena permaninan harga yang dilakukan tengkulak.
Lagi-lagi petani kopi berada pada posisi kesejahteraan yang tidak menentu. Lalu dimanakah peran Pemerintah Daerah? jangan kan Qanun setingkat Peraturan Bupati Tentang Kopi pun tidak ada, alangkah lucu nya negeri ini, Kopi yang sudah di kenal lebih se abad belum juga punya aturan yang jelas.
Uang kopi Gayo senilai Rp2,1 Terliun pun di biarkan beredar di negeri orang. Dimanakah Pemerintah Daerah kita, Pangan dedak!.(maharadi_gayo[at]yahoo.com)