Oleh: Mukhlis Muhdan Bintang*
SUKU bangsa Aceh pesisir, Kelut, Jame, Alas memiliki sejarah sendiri, pun begitu dengan suku bangsa Gayo. Suku bangsa Gayo yang mendiami pedalaman provinsi Aceh memiliki sejarah sendiri sebagai sebuah identitas diri, namun sejarah akan identitas suku bangsa Gayo memiliki sejarah yang bervariasi dengan sumber yang bervariasi juga. Seperti yang terdapat Dalam buku “Pelangi Gayo” setidaknya ada delapan versi sejarah Gayo. Keberagaman sejarah ini semua kebanyakan berdasarkan penuturan lisan.
Miskinnya sumber tertulis kuno yang di dapati mengenai sejarah suku bangsa Gayo ditanggapi sinis oleh sebagian masyarakat. Mereka beranggapan bahwa Leluhur Gayo-lah yang bertanggung jawab atas ketiadaan manuskrip ini. Dalam diskusi kusir di warung kopi seringkali rangkuman pembicaraan mereka: “Leluhur Gayo ogoh (bodoh) karena tidak menulis sejarahnya sendiri”. Benarkah rangkuman ini? hemat penulis rangkuman ini hanya pendapat dangkal dari orang yang dangkal pemikirannya. Menurut tokoh Linguitik kebenaran anggapan itu di dasari berbagai tindak lanjut (Baca: Source, Linguitik).
Untuk menelusuri apakah leluhur Urang Gayo bodoh dan ada tidaknya manuskrip sejarah Gayo yang tersimpan, mari sejenak kita analisi lewat perspektif bahasa-kosakata.
Sebuah Tinjauan Bahasa-Kosakata
Menurut Soedjito dalam Tarigan (1994:447): Kosakata merupakan: (1) semua kata yang terdapat dalam satu bahasa; (2) kekayaan kata yang dimiliki oleh seorang pembicara; (3) kata yang dipakai dalam satu bidang ilmu pengetahuan; dan (4) daftar kata yang disusun seperti kamus disertai penjelasan secara singkat dan praktis. Secara sederhana, kosa kata dibagi menjadi dua jenis berdasarkan munculnya kosa kata tersebut. Pertama, kosakata dihasilkan melalui kesepakatan masyarakat itu sendiri umumnya untuk mencukupi keperluan dalam berkomunikasi dalam satu suku bangsa. Kedua, manakala terjadi hubungan dengan masyarakat bahasa lain atau bergeser ke dalam peradaban baru, sangat mungkin muncul gagasan, konsep, atau barang baru yang datang dari luar budaya masyarakat itu. Dengan sendirinya juga diperlukan kata baru. Salah satu cara memenuhi keperluan itu seringkali suatu suku bangsa akan menyerap kosa kata baru dari suku bangsa lain yang disebut dengan kosakata serapan.
Lalu bagaimana dengan bahasa-kosakata suku bangsa Gayo? Jika ditelusuri lebih mendalam dan mengklasifikasikan kosa kata bahasa Gayo, ada banyak penyerapan dari bahasa Melayu seperti (sepengetahuan penulis) Menulis dan membaca. Istilah kosa kata menulis dan membaca tidak ada dalam bahasa Gayo.
Munculnya kosakata ini setelah suku bangsa Gayo mengenal istilah tulisan dan bacaan dan kemudian diserap dari bahasa Melayu. Sebelum masuk pada peradaban tersebut, masyarakat Gayo mengenal istilah menge (mendengar), becerak (berbicara), munete/bejaloh (bercerita). Maka leluhur Gayo dulu menjelaskan sesuatu hanya lewat tuturan cerita dan meyimpan dokumen-dokumen peting dalam “museum bergerak” melalui falsafah, benda, atau pada karya seni baik seni sastra maupun seni ukir. (lihat: Yusra Habib Abdul Gani, www.acehvision.com ‘Falsafah “Tari Guel”’)
Lihatlah dan telitilah disekeliling kita, dalam seni, nilai-nilai budaya, legenda, bebatuan, air, rumput, gua-gua, tanah, udara semua tersimpan identitas kita.
Gayo Sekarang
Kini kita berada pada abad melenium dimana yang tidak mungkin bisa mungkin, legenda dikaji bisa jadi fakta. Tapi anehnya, kita masih sibuk dengan debat kacangan, diskusi-diskusi yang tak bermuara, mencela kebaikan mengagungkan celaan, berorasi dengan pengeras suara, berhenti bertapa dan mengkaji. Pemerintah daerah disibukan dengan penciptaan dinasti keluarga dalam rodanya, hati kita berlumpurkan dusta, sehingga tabir kemuliaan Gayo ini tidak pernah terbuka. Gambarkan masyarakat Gayo kini seperti tertuang sebuah syair ceh Daman: Ara keber rakan mude nge leboh/ Kengon nge mata nge temotoh/ Ulu ku atas kutoyoh/ Ko map jarang jarang/ Enti beralasan ko ku kasor lesoh/ Kero ayo tangko/ ken sana sib oboh/ Suep bermen tegang/ Sulem ilen pengajinte/ Kenak icerite/. Ada kabar anak-anak muda sudah tidak lagi mempunyai gairah/ kulihat mata sudah mengantuk/ ingin cepat-cepat menikamti empuknya kasur/makan dan buang hajat/untuk apa makan/ makan dengan rakus/ pengaijan masih dalam pengantar/inginnya diceritakan.
Akhirnya, jika masih ada yang bertanya dimanakah manuskrip kuno Gayo itu tersimpan? Jawabannya sederhana, dokumen-dokumen penting itu tersimpan dalam “Alam Gayo beserta isinya” itulah museum Gayo sesungguhnya. Berhentilah mengkambing hitamkan leluhur Gayo karena jelas-jelas “mereka” (semoga syurga atas mereka) telah menjadi “Renggali” (meminjam bahasa Yusra Habib Abdul Gani) di bumi Aceh bahkan dunia.(bintang.mukhlis[at]ymail.com)
*Pamong Budaya Aceh Tengah
si mumerin leluhur ni gayo ogoh oyale jema sigere bersyukur kotekni jema we si telas unang-unang we jemen simurebut gayoni ari penjajah belene, pekeri cerak si tangkuh kati enti perin jema suret te nge mutetir, erep nge moyong