Takengon | Lintas Gayo – Seniman Gayo multi talent Ibrahim Kadir mengaku cemas atas pergeseran nilai-nilai seni budaya Gayo saat ini, terutama dalam seni tari dan didong.
“Praktisi seni tari Gayo mesti bisa membedakan tari tradisi dan tari kreasi Gayo, agar kita tidak mewariskan seni tari asli Gayo yang salah kepada generasi penerus,” kata Ibrahim Kadir di Takengon, Sabtu 19 Mei 2013.
Menurut dia, akar dari tari tradisi Gayo adalah jentik ni kerlang (gerak bahu-red) baik itu dalam tari Guel maupun Didong. “Jentik ni Kerlang adalah akar semua gerakan dalam seni tari Gayo. Jika itu tidak ada maka bukan tari Gayo asli namanya,” tegas Ibrahim Kadir.
Lebih jauh dijelaskan, seni tradisi Gayo itu ada 4 saja yakni tari Guel, Saman, Bines dan Didong. Dalam pengembangannya, tari Guel menjadi 2, tari Anyung yang diispirasi dari kebiasaan urang Gayo duduk di ujung lepo dan tari turun ku belang yang diinspirasikan dari prosesi panen padi (munoling).
Tari Gayo kreasi itu, kata dia, diciptakan mesti berakar dari tari tradisi Gayo, jangan asal-asalan. “Tari Munalo, Resam Berume dan lain-lain termasuk Didong banan itu bukan tari tradisi, namun tari kreasi Gayo,” kata pemeran sang penyair di film Tjut Nya’ Dhien yang kesohor beberapa tahun silam ini.
Diungkapkan, pergeseran cara bertari Gayo tradisi mulai bergeser sejak tahun 1976 hingga 1980 seiring dengan berpulangnya Ceh Sahak.”Semasa hidup ceh Sahak, belum terjadi pergeseran cara menarikan tari tradisi Gayo,” ujarnya. Dan tokoh tari Guel Gayo, selain Sahak ada Aman Rabu, Syeh Kilang dan To’et. (Kha A Zaghlul)
