Sekamar dengan To’et, Seperti Wartawan, Penyair adalah Pencatat

To'et, saat bersama warga di pasar tardisional Takengon. (foto ; koleksi Mahjasa Budi)
To’et, saat bersama warga di pasar tardisional Takengon. (foto ; koleksi Mahjasa Budi)

Catatan Fikar W.Eda, penyair dan jurnalis, kini tinggal di Jakarta. Disampaikan dalam diskusi “Membedah To’et” di Oproom Bupati Aceh Tengah, Senin, 4 April 2011, bersama Habib Yusra Abdul Gani dan LK Ara.
—————————

I. Dialog

“Siapa penyair?” tanya saya.

“Seperti wartawan, penyair adalah pencatat,” jawab To’et.

“Wartawan mencatat untuk diterbitkan surat kabar. To’et mencatat untuk didendangkan,” lelaki yang bernama To’et ini menambahkan.

“Syair saya tentang Kapal Gurita, bahannya saya baca dari surat kabar serambi. Saya mengolahnya dengan ini,” lanjutnya sambil menunjuk keningnya yang berkerut.

“Kalau begitu ajarkan saya membuat syair?” kata saya.

“Wah sulit. Kita ini sudah masing-masing,” jawabnya.

“Tolong tunjukan cara menyusun syair?” kata saya lagi.

“Wah bagaimana, ya. Payah, payah. Seperti wartawan, bagaimana cara membuat berita. Kau cuma mencatat sedikit. Besoknya lalu keluar di surat kabar. Hebat ha…ha…Begitulah. Payah memang payah.” To’et tak kuasa mendiskripsikan secara jelas bagaimana caranya membuat syair.

“Berarti sulit?”

“Betul sangat sulit. Kalau mengarang, pertama sekali dicari lagunya agar pas,” kata To’et sambil memperlihatkan irama sebuah lagu yang baru ia dapatkan.

“Sudah berapa banyak karangan pak To’et?”

“Sejak dulu mungkin seratus, ya, seratus.”

“Ada catatannya?”

“Tidak. Tidak saya catat. Semua ada di sini,” ia menunjuk kepala.

“Susah memang kalau nanti To’et meninggal, ya,” katanya lagi.

“Apakah bakat berdidong ini ada turun kepada anak-anak?”

“Hanya satu orang saya lihat berbakat. Anak saya ke-7. Dia sekarang banyak yang memesan berdidong kesana kemari. Anak-anak yang lain tidak ada, Abangnya tukang azan, begitu pula abangnya yang lain, banyak yang tukang azan. Mereka tidak berbakat berdidong,” ujar To’et.

 “Kalau anak saya yang satu itu, lihai dia bersyair. Sering dalam saat-saat terakhir pertandingan didong, dia bangkit dan menyerang lawan-lawanya. Hebat dia itu. Seperti saya,” sambung To’et lagi.

“Sekolah Pak To’et apa?”

“Sampai kelas 6 SD. Lalu berdidong kesana kemari. Sekolah akhirnya tidak tamat. Bapak marah besar pada saya.”

“Berdidong sejak kapan?”

“Mulai tahun 1939. Waktu itu sulitnya bukan main. Untuk berdidong ada kalanya saya harus berjalan kaki bermalam-malam lamanya. Lalu menetap di kampung itu. Dan pindah lagi ke kampung yang lain memenuhi undangan berdidong. Lawan tanding saya berdidong Ceh Lakiki. Kasihan dia sekarang. Sudah tua. Badanya mati sebelah. Sesekali saya datang ke rumahnya. Lalu mendendangkan syair-syair didong miliknya. Cemburu sekali dia.”

“Dulu berdidong mendapat bayaran?” Tanya saya.

“Tidak. Tidak pernah. Selama 15 tahun saya berdidong tidak mendapat imbalan apa-apa. Hanya makan atau segelas air putih. Kita berdidong sampai pagi. Mata cekung. Ini mata kaki saya menebal dan sempat dioperasi, karena keseringan duduk. Sempat juga saya jera berdidong. Dan tidak mau menerima permintaan dari masyarakat,” kata To’et.

“Tapi nyatanya Pak To’et terus berdidong?”

“Saya dirayu oleh si pengundang. Lalu mengatakan, asal mau berdidong akan diberi uang. Ha…ha… sejak itu saya pakai siasat. Diberi uang dulu baru saya mau…ha…ha.”

“Pak To’et sekarang terkenal, ya?”

“Iya, ini berkat penyair LK Ara. Dia yang membawa saya kemana-mana. Sekarang LK Ara di Jakarta.”

“Hasil dari berdidong sekarang kan sudah banyak, Kemana habis uangnya?”

“Saya bantu anak-anak. Anak-anak saya 10 orang. Saya bantu mereka beli kebun. Mereka sudah punya anak. Cucu saya 60.”

“Kerja pak To’et juga bertani?”

“Tidak. Saya hanya berdidong. Anak-anak saya yang bertani.”

“Sekarang keinginan Pak To’et apa?”

“Saya ingin punya rumah. Saya sudah menghadap ke Gubernur. Ini suratnya. Surat ini sudah ke tangan Bupati Aceh Tengah. Kata Gubernur, tolong penyair To’et dibantu. Tapi sampai sekarang belum ada bantuan. Tolonglah kau urus agar saya cepat dibantu. Saya tadi jumpa dengan Syech Abdullah Geunta. Dia sudah kaya sekarang. Tgk Adnan PMTOH juga sudah kaya. Hebat dia, punya rumah, punya mobil.” Sebut To’et. Ia lalu mengeluarkan selembar foto copy surat Gubernur Aceh yang diteken Sekwilda Malik Ridwan Badai, SH. Surat bernomor: 431/32324 tanggal 9 Nopember 1996 itu ditujukan kepada Bupati Aceh Tengah. Isinya: Agar permohonan Ceh To’et mendapat perhatian dan penyelesaian.

“Alat pendengar Pak To’et rusak?”

“Iya. Sulit sekali saya sekarang. Syukurlah ada yang membantu. Dan saya akan langsung ke Medan untuk membeli alat tersebut, Kalau tidak, sedih sekali saya, Ingin menangis rasanya.”

II. Lima Hari Sekamar

Petikan dialog di atas berlangsung selama lima hari bergaul dengan To’et, termasuk pengalaman “sekamar” dengan penyair tua ini, di Wisma Seni Taman Budaya Banda Aceh pada awal 1997. Memang wawancara tidak mungkin berjalan berurut, karena keterbatasan pendengaran. Di samping memang, ulah To’et sendiri yang seringkali menimpali pembicaraan dengan mendendangkan syair-syairnya. Itulah sebabnya, “sekamar”  dengan To’et tak hanya dialog yang terjadi, melainkan juga meluncur dendangan puisi. Sepanjang hari, sebelum kemudian dia lelah dan tertidur, To’et nyaris tak pernah henti berdendang.  Atribut kamar di Wisma Seni Taman Budaya ikut dia libatkan dengan mengetok-ngetok atau memukulnya. Termasuk koper pakaian yang terbuat dari kulit, ikut dia mainkan. To’et juga sangat hafal dengan syair-syair dari penyair didong seangkatannya, berikut kelebihan-kelebihan dari masing-masing penyair itu. Muhammad Basyir Lakiki, Daman Dewantara, Sali Gobal adalah penyair didong yang sebangun dengan To’et. Dari nama-nama itu, hanya To’et yang tetap bertahan berdidong.

Basis kesenian To’et memang didong (syair yang didendangkan). Salah satu jenis kesenian tradisional Gayo yang paling digemari masyarakat. Dalam penampilannya, syair didendangkan oleh penyairnya (dalam bahasa Gayo disebut Ceh) dengan iringan oleh tepukan bantal  kecil atau tepukan tangan dari sejumlah pendukung (penunung, biasanya sampai 30 orang). Didong dipentaskan secara bertanding antara dua grup, berlangsung sampai satu malam penuh. Ceh atau penyair yang populer sejaman dengan Toe’t adalah nama-nama yang sudah disebutkan diatas. Dengan grup-grup merekalah, To’et – – ketika itu membentuk grup Sinar Pagi – – sering bertanding. Lawan tanding paling lama, konon adalah penyair Basyir Lakiki dengan grup Lakiki. Namun lawan yang paling dia takuti adalah Sali Gobal bersama grup Kemara. “Gobal itu orang berbahaya. Kata-katanya tajam. Saya takut padanya,” kata To’et. Sayang, Sali Gobal tidak berumur panjang, tambah To’et.

III.Fenomena

To’et adalah sebuah fenomena. Karena dialah satu-satunya penyair didong yang kemudian berdialog sendirian. Dari rumah kerumah, dari satu kampung ke lain kampung, sampai sekarang. Ketika tampil solo, To’et melengkapi diri dengan instrumen accordion pemberian seorang temannya pada 1972.

Ia tak lagi terikat oleh grup seperti halnya penyair didong lain. Ia pun tidak terikat oleh ruang dan waktu. Ia terus berdendang, sampai mengantarnya ke pentas sastra nasional dan dibicarakan oleh banyak orang.

Lahir di Desa Kemili 1922. Memiliki 14 anak, 10 dari istri keduanya bernama Bani, dan 4 lagi dari istri ke 4 Malawati. To’et memiliki empat istri. Pertama kali menikah dengan Samidah. Malang istri pertamanya ini meninggal. Lalu menikah lagi dengan Bani. Selang beberapa waktu kemudian menikah lagi dengan Siti Hajar, dan terakhir dengan Malawati, wanita asal Meureudue, Pidie. Namun yang tetap mendampinginya adalah Bani. Dengan istri yang lainnya bercerai.

Tertarik dengan didong semasa masih kanak-kanak. Namun baru di tahun 1939, ketika berumur 15 tahun, secara resmi ikut menjadi ceh dalam grup Sinar Baru, grup didong yang didirikannya. Nama itu kemudian diubah menjadi Sinar Pagi. Sampai kini (1997), dalam usia 75 tahun, To’et tetap berdidong. Penampilannya tetap memikat dengan vokal yang merdu.

IV.Dari Lumut ke Gurita

Pernyataan “penyair adalah pencatat” tercermin dari syair-syair yang diciptakan To’et. Pada jaman Jepang, To’et melahirkan puisi “Lumut” adalah kesaksiannya terhadap penderitaan rakyat Aceh Tengah yang terlibat kerja rodi. Ketika terjadi musibah tanah longsor di Desa Redines Lukup Sabun, Aceh Tengah, To’et pun mencatatnya dalam syair didong berjudul “Redines”. Kesaksian lainnya adalah peristiwa Tenge Besi Takengon. Sejumlah pekerja menjadi korban waktu membangun jalan di kawasan Tenge Besi (jalur yang menghubungkan Takengon-Bireuen), serta peristiwa jungkir baliknya bus penumpang di kawasan Cot Panglima Aceh Utara yang memakan banyak korban jiwa. Selain mencatat peristiwa, syair-syair To’et juga banyak yang bernafas romantik dan bermuatan kritik sosial. Khusus untuk syair romantik, ia mengistilahkan sendiri sebagai “didong roman”.

To’et juga “mencatat’ peristiwa tragis tenggelamnya KMP Gurita, yang membawa penumpang dari Ulee Lhue ke Balohan. Judulnya Kapal Gurita, merupakan ratapan To’et terhadap musibah tenggelamnya KMP Gurita tahun 1996 di Teluk Balohan Sabang. Karya To’et terbaru lainnya berjudul Ini Penting, Jejari Manis, Muninget, dan Gaya. Empat karya itu diciptakan saat ia pentas di Blang Kejeren, 1997.

Syair Muninget (Teringat) merefleksikan tentang “kesadaran” manusia prihal hidup dan mati.

Teringat pada hidup
tak pernah henti aku bekerja
teringat pada mati
tak pernah henti aku ibadah
kematian adalah ketika kita
diusung ke kubur tak bangkit-bangkit

 (terjemahan bait pertama puisi Muninget).

Puisi itu lengkapnya berbunyi:

MUNINGET

Sentan muninget aku kin murip
lagu sigalip aku bebuet
sentan muninget aku ken mate
lagu si sabe aku ibedet         
mateni sentan ku ukur
julunen ku kubur gerene uwet-uwet

ea..ea sebet gelah mulimet kin murip mate
oya..oya sebet koro jeget peger ire gerange

sentan muninget aku kin doran
nguk gere berpakan keperas mikot
doran ni sentan ku ukur
nge kaultu bubul nge kekucaktu jermet

ea…ea sebet jurung singket oloktu mame
oya…oya sebet koro jeget pegerire gerange

sentan muninget aku kin kawan
sara pingen banan sara rakan sebet
kawan ni sentan kutimang
beru orom bujang narum urum konot

ea…ea sebet gotol konot renah rembune
oya…oya sebet gotol konot renah rembune

sentan muninget aku kin imo
lale wan utenso mera pulelumpet
imoni sentan ku ukur
muniro uren kaul tetawe mongot

ea…ea sebet imo mongot emuk emuken sabe
oya…oya sebet imo mongot emuk emuken sabe

sentan muninget aku kin tengku pawang
iketuk jarang jarang kiding mukekelset
kupawangni sentan kuukur
iketuk atan baur gere pernah berongot

ea..ea sebet dengke nakang dum lemake
oya…oya sebet makin ipangan dum mamehe

Sedangkan syair To’et berjudul Gaya (Lagak), adalah sindiran kepada perangai manusia dengan mengambil simbol-simbol tingkah burung elang, ikan mujahir, kura-kura serta tanaman labu, dan buah durian. Syair lainnya adalah Ini Penting. Memuat perubahan sosial masyarakat Aceh Tengah yang dilukiskan sudah mulai terbuka dengan terkuaknya jalan ke Beutong, masuknya parabola dan siaran televisi. Namun di sisi lain, syair Ini Penting ikut “menyindir” tingkah para pedagang yang banyak lagak sementara hutang kian bertumpuk.

INI PENTING

ooooo mmmmmmm
ini penting

mulingang uyem Gayo
cico manuk cincimpala ceho
senang ate urang kite
gerle itetunung masa
nge munge pabrik ni kertas
kati temas munos rencana
nge munge jelen ku Beutong
kati beruntung urang Silih Nara

guredi iken ijejujung
denung i tuker orom poa
tv nge sawah ku Angkup
cukup orom para bola
guredi nengon gerutup
Usup Abang Aman Julaiha

oya oya sara ari kami
karangan ayuni kudenang pora pora ine ama
oya oya sara ari kami
karangan ayuni kulingang pora pora ine ama

meng ala kutemeng
meng ala kutemeng
jung ala ku jejujung
jung ala ku jejujung
ike kenak te beruntung
e perahi lebe

ooooo mmmmmmm
ini penting

abang bercarok kami bertani
cube i uji urusen lebe
carok ini betul asal cicang
tape lagu kalang memang utang i kudukte
si tukang carok mera pecogah
enta jema mumerah nge ku waih kume
kuneh aku gere mumerah
kerah nge menyang uah kupi geste
jema bercarok cukup kesehaten
keta pediangen Medan ku jewe
a jeroh ku To’et ngenal rezeki
lagu tupang ni jingki nutu rom ijo

Begitulah To’et. Syair telah menjadi nafas kehidupannya. Bahkan ia sendiri telah menjelma menjadi syair itu sendiri. []

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.