Oleh Roosyidah
Kupandangi jam dinding di atas papan tulis, rasanya pelan sekali berputarnya. Padahal aku sudah tak sabar ingin bertemu Kak Ian. Penjelasan Bu Tutik mengenai akuntansi benar-benar membuatku jenuh. Satupun tak masuk ke otakku. Andai saja punya kekuatan memutar jarum jam secara magic, sudah pasti saat ini aku sudah tidak di dalam kelas yang membosankan ini.
“Ayolah jam dinding, aku hanya ingin segera bertemu dengan Kak Ian.” gumamku.
Kak Ian adalah pria yang humoris, meski belum pernah bertemu, dari cara berbicaranya di telpon yang ceplas-ceplos diselingi candaan membuatku tertawa lepas. Belum pernah aku merasa seakrab itu dengan seorang pria. Apalagi sudah hampir tiga tahun ini aku tak mengenal pria lain selain Kak Ian, karena aku menuntut ilmu di sekolah yang isinya cuma kaum hawa. Bayangkan betapa membosankannya hidupku setiap hari hanya bertemu dengan makhluk sejenis denganku. Kak Ian sedikit membantu untuk menghilangkan kebosanan dengan teman-teman wanita disekelilingku.
Jam 12.30 sekolah usai. Aku bergegas memencet tombol hape menghubungi Kak Ian.
“Iya dek, bentar lagi aku nyampek ke sekolahmu kok” suara Kak Ian, seketika itu jantungku berdegup lebih kencang. Kenapa deg-deg-an kayak gini? tarik napas-buang napas, tarik napas-buang napas, aku mencoba mengurangi rasa nervous ini. Tiba-tiba, ada seorang pria mengendarai motor berhenti di depanku, ia mengenakan kaos putih polos. Berambut cepak. Berkulit sawo matang. Wajahnya benar-benar manis. Wuih, tipe aku banget!!
“Ayo naik, kita cari makan yuk!” ajaknya ramah dengan senyum manis.
“Emmm, i-iya.” Lagi-lagi aku menjawab dengan terbata. Aku segera naik ke atas motornya dengan perasaan bahagia. Kami menuju ke salah satu tempat makan dipinggir jalan, tempatnya lesehan, kami memesan dua nasi goreng dan dua es jeruk.
Hari-hariku berbeda dengan biasanya. Mulai saat ini aku punya kekasih yang ramah, yang manis, yang lucu, yang baik, yang perhatian, yang apa lagi ya? Pokoknya is the best lah pokoknya. Dua hari yang lalu, Kak Ian menyatakan cintanya dan aku pun juga cinta padanya. Kami pun menjadi sepasang kekasih.
Tiap pagi aku diantar Kak Ian ke sekolah, dan saat pulang sekolah Kak Ian menjemputku. Dan kebetulan, jam istirahat kerja Kak Ian sama dengan jam pulang sekolahku. Setiap hari Kak Ian selalu membuatku berbunga-bunga, ia pandai menggombal, tak kusangka ternyata ia tipe cowok romantis. Tiap hari ada saja kata-kata indah yang ia ucapkan dan itu membuatku merasa nyaman memiliki seorang kekasih. Kemana-mana aku selalu bersamanya. Bahkan sekedar mem-fotokopi tugas akuntansi di deket rumahku, ia menemaniku. Aku benar-benar merasa bagaikan seorang putri kerajaan yang selalu ditemani oleh pangeran yang setia menemani. Mama pun merestui hubunganku dengan Kak Ian yang akrabnya sudah seperti adik-kakak. Karena mama tahu, aku butuh seorang kakak yang melindungiku, yang menjagaku diusiaku yang masih belia ini.
Genap tiga bulan aku menjalin kasih dengan Kak Ian. Dan tiba-tiba Kak Ian meberitahuku kabar yang membuatku amat teramat sedih. Ia akan pergi ke Singapura karena pekerjaannya dan akan meninggalkanku selama setengah tahun. Aku merengek dan mencegahnya berangkat ke Singapura. Tapi Kak Ian meyakinkan bahwa ia akan setia meski jauh dariku, ia berjanji akan selalu menghubungi meski hanya via chatting di Facebook. Dengan berat hati aku rela ditinggal Kak Ian. Hari demi hari aku merasa kesepian, kekasih yang sudah seperti kakakku sendiri sudah tak ada disampingku. Rasanya seperti saat aku ditinggalkan ayahku untuk selama-lamanya. Aku banyak menghabiskan waktu untuk melamun di dalam kamar. Mama sering mengingatkanku agar tidak bersedih. Tetapi aku tak bisa.
Tak terasa, aku sudah lulus dari SMK (Sekolah Menengah Kejuruan), dan mama bilang kalau beliau tak punya biaya untuk menyekolahkanku diperguruan tinggi. Aku pun terima hal itu, karena aku tahu biaya kuliah sangatlah mahal dan mama hanya seorang penjahit yang berpenghasilan minim. Akhirnya, aku melamar pekerjaan kesana kemari untuk membantu mama. Tiap hari aku hanya di rumah membantu mama menjahit baju orderan dan menunggu adanya panggilan interview dari perusahaan yang kulamar.
Sudah dua bulan aku menganggur dan belum juga mendapat pekerjaan. Terkadang aku bosan menganggur seperti ini, andai saja ada Kak Ian disini, pasti ia akan menghiburku dan membantuku mencari pekerjaan. Aku rindu padanya, hingga suatu hari aku pergi ke warnet untuk membuka Facebook, aku membuka kotak pesan dan hasilnya nihil, tak ada kabar dari Kak Ian, sudah lima bulan ia meninggalkanku, aku kecewa, aku merasa telah dibohongi Kak Ian. Mungkin Kak Ian sudah tidak mencintaiku.
Saat kekecewaanku yang sangat mendalam, tiba-tiba ada sesuatu yang membisikkan ke hatiku bahwa Kak Ian bukanlah pria yang baik. Aku berusaha untuk melupakan Kak Ian, karena aku yakin, penantianku ini akan sia-sia. Hingga pada sore hari ini, ada tamu yang datang ke rumah, seorang pria sederhana berwajah ramah yang merupakan anak dari teman sekolah mama yang meninggal beberapa tahun yang lalu karena kecelakaan, orang tuanya meninggal dunia kedua-duanya saat kecelakaan. Ia sebatang kara. Dan ia datang ke rumah bermaksud untuk melamarku. Di ruang tamu, aku hanya bisa terdiam dalam lamunanku. Mama dan pria itu mengobrol di sebelahku. Dan tiba-tiba . . .
“Da, gimana? Syarif ingin mengkhitbahmu. Kamu mau menikah dengannya?” Ucap mama yang mengagetkanku.
“Eh, emmm..” aku bingung harus menjawab apa, aku tak mengenalnya, baru saja ia ke rumah dan ia berniat untuk melamarku.
“Dek, kenapa diam? Kamu belum siap untuk menikah?” kata Syarif lemah lembut sambil menunduk, ia tak menatapku, ia adalah pria yang benar-benar alim, ia tahu bagaimana cara menjaga pandangan terhadap lawan jenis. Seketika itu aku merasa kagum akan ke-sholehannya.
“Emmm, beri aku waktu untuk berfikir Mas, aku masih berat untuk meninggalkan mamaku sendirian jika kelak aku menikah denganmu.” Jawabku dengan nada serendah mungkin dan berhati-hati agar pria itu tidak tersinggung.
“Baiklah, aku akan menunggumu menjawab pinanganku.” Kata Syarif dengan nada bijaksana. Kemudian ia berpamitan pulang dan berjanji akan datang kembali minggu depan untuk mendapatkan jawabanku.
Hari ini aku menandatangani buku nikah, begitu pula suamiku, ia tersenyum indah ketika menandatangani buku nikah. Suamiku adalah Mas Syarif yang sholeh. Dengan mahar uang lima ratus ribu dan seperangkat alat shalat serta Al-Qur’an, Mas Syarif dan aku sah menjadi pasangan suami-istri. Perlahan-lahan, aku mulai bisa mencintainya. Ia sangat perhatian terhadapku. Ia sangat baik, dan selalu membuatku tersenyum, ia juga pria yang romantis, mengingatkanku pada Kak Ian. Yah, Kak Ian yang meninggalkanku tanpa kabar sama sekali, bahkan aku pun tak tahu keberadaannya.
Hari-hariku berubah, semuanya jadi sangat bahagia. Aku dan mama tinggal bersama suamiku tercinta, ia sangat menyayangi mamaku, ia tak keberatan jika mama tinggal di rumah kami. Ia sudah menganggap mama adalah ibu kandungnya sendiri.
Tiap pagi aku membuat sarapan dengan penuh cinta untuk suamiku. Di siang hari, ia pulang dari mengajar murid-muridnya di sekolah dan ia menemaniku dengan mengajarkanku tentang Islam lebih mendalam. Dan akhirnya, aku memakai jilbab hingga saat ini, bukan karena suamiku, tapi karena Allah melalui perantara suamiku yang membimbingku.
Siang itu aku sudah selesai mengerjakan pekerjaan rumah, mulai dari mengepel lantai, mencuci piring, mencuci baju, hingga memasak untuk makan siang suamiku tercinta. Jam satu lewat lima menit, biasanya suamiku sudah pulang, tapi hari ini ia belum tiba juga. Untuk mengisi kebosananku, aku ke kamar dan menyalakan leptop Mas Syarif dan menancapkan modem di salah satu sisi leptop. Aku membuka Facebook yang sudah lama tak kubuka, niatnya sih hanya untuk menghilangkan rasa bosan menunggu Mas Syarif pulang, dan ketika aku membuka kotak pesan di FB, tiba-tiba muncul tulisan:
Dek Arda Thalita tersayang, maafkan aku, aku meninggalkanmu begitu saja. Aku tahu aku salah meninggalkanmu tanpa ada kabar sama sekali. Perlu kamu tahu, aku bukanlah pria baik yang pantas untukmu. Aku tak mungkin jadi pendamping hidupmu. Aku tahu, kau sangat mencintaiku, begitu pula denganku, aku sangat sangat mencintaimu…
Saat kau baca pesanku ini, mungkin aku sudah tidak ada lagi di dunia ini, mungkin aku sudah tidak bisa melihat senyummu lagi…
Aku pergi ke Singapura untuk operasi, aku mengidap penyakit kanker darah sejak dua tahun yang lalu, tepat hari ini aku akan menjalani operasi pertamaku setelah berbulan-bulan aku opname di rumah sakit…
Aku sengaja tidak memberitahumu karena aku tidak ingin melihatmu sedih bahkan menangis, sehingga aku berbohong kepadamu kalau aku sibuk bekerja, padahal usiaku tinggal sedikit lagi…
Maafkan aku dek . . .
Adrian Pratama Putra
Aku hanya menangis dan menangis…(Kurator: LG-007)