Tulisan ini memuat kisah yang tersembunyi yang tidak diangkat ke permukan. Wartawan Waspada menguaknya, bahwa manusia Gayo ada yang siap mengorbankan nyawa demi menyelamatkan saudaranya di Serempah. Tulisan ini mulai dimuat Waspada, Senin (15/7). Lintas Gayo sengaja mengungkap sejarah ini, bahwa manusia dari Gayo memiliki falsapah “ Setie Mate Gemasih Papa”
Pilihan berani, antara hidup dan mati. Siap menerjunkan beko ke dalam sungai Serempah, Ketol, Aceh Tengah, ketika gunung di belakang berhamburan memuntahkan tanah, kayu dan batu. Personil Brimob,TNI dan Basarnas, berlarian menyelamatkan diri. Namun tidak bagi Erwin, dia tetap setia dengan bekonya.
Gempa, Selasa (2/7), 14.37 WIB, berkekuatan 6,2 SR di bumi Gayo Lut, membuat manusia berlarian menyelamatkan diri. Demikian juga dengan Erwin, operasional alat berat PU Aceh Tengah. Dalam suasana panik, ponselnya berdering. Terdengar perintah dari seberang “ Wen berangkat seni, mah alat berat. Bantu korban si kona musibah gempa. Wen berangkat sekarang, bawa alat berat, bantu korban yang tertimbun musibah gempa.”
Dalam kondisi panik, Erwin, penduduk Paya Reje, Kecamatan Kebayakan, Aceh Tengah, menyambar jaket. Sepatu lusuh dinasnya kembali dikenakan, dia tidak lagi menghiraukan istri dan anaknya yang masih menangis, ketakutan karena gempa. Semua ditinggalkannya. Dibenaknya, bagaimana menyelamatkan korban yang tertimbun. Dia melaksanakan perintah kepala UPTD workshop PU Aceh Tengah.
Akmal, kepala workshop, juga panik. Antara menyelamatkan keluarga dan tugas kemanusian. Dana belum ada, tetapi dia harus mengkondisikan anggotanya. Banyak titik yang longsor. Alat juga, hanya ada dua, beko dan loadaer.
Sementara Kampung Bah dan Serempah “tenggelam” diamuk gempa. Kecamatan Ketol ini merupakan kawasan terparah, untuk mencapai Ketol dari Aceh Tengah, dengan reruntuhan di sepanjang jalan, bukanlah pekerjaan mudah.
Dengan ditemani pengawal alat berat, Brigadir Syamsu dan Briptu Alfan, dari Lantas Aceh tengah, operator beko PU Aceh Tengah ini memulai perjalan berat. Sebelum sampai ke Ketol, langkah pertama, harus membersihkan ruas jalan Takengen- Biren yang tertimbun longsor.
Getaran bumi masih terasa, batu dan tanah tetap turun dari gunung. Hanya berselang 3 menit dari Takengen, Erwin harus terlebih dahulu membersihkan kawasan longsor Paya Tumpi. Usai “menyapu” longsor Paya Tumpi, kembali harus menyisir longsor yang menumpuk di KM 92, Singah Mata. Dua titik longsor itu sebenarnya bukan makanan beko, namun karena tidak ada alat lain, Erwin menguji kemampuan bekonya.
Hari telah malam, tanpa makan, Erwin tidak mengenal lelah, menyelesaikan tugasnya membersihkan KM 92. Sementara manusia berlarian berlawan arah, menuju Takengen. Berbeda dengan tujuan Erwin yang meninggalkan Takengen menuju Blang Mancung. Manusia menyelamatkan diri, karena malam itu beredar isu, Burni Telong, si gunung merapi di Bener Meriah akan meledak.
“Kalau meledak bagaimana dengan keluarga saya, bagaimana dengan saya. Saya bukan menjauh dari gunung, justru mendekatinya.” Pemikiran ini dibuang Erwin jauh-jauh, karena dia mendapatkan tugas menyelamatkan korban di Bah, Serempah di Kecamatan Ketol yang masih tertimbun longsor.
Saat akan dinaikan beko ke strado, usai membersihkan ruas jalan paya Tumpi, guncangan gempa keras kembali terjadi. Kekuatan 5,9 SR itu membuat strado dan beko yang sudah ada di atas nyaris terbalik. Namun Erwin sudah menguatkan tekadnya, harus sampai Ke Blang Mancung. Harus bisa menyelamatkan korban reruntuhan di masjid.
Perut keroncongan, komunikasi putus, namun sampai juga ke Blang Mancung. Hari sudah menunjukkan pukul 23.00 WIB. Usai menurunkan beko, kembali manusia berlarian. Guncangan bumi dengan kekuatan 5,7 SR kembali terjadi. Erwin sudah berada di pusat gempa.
Dalam suasana panik, hanya dibekali lampu beko, Erwin nekat mendekati masjid yang runtuh. “ Di sini pak, tadi anak-anak jerit,” sebut warga di sana memberikan komando kepada Erwin. “praaakkk brukkk, kraaakkk kuummm, “ beko kecil itu membobok reruntuhan masjid.
Sudah berulang kali dibongkar reruntuhan masjid Blang Mancung ini, hanya ditemukan sebelah tangan anak-anak. Hari sudah menunjukkan jam 3 dini hari, perutnya mulai perih. Mau minta bantu makanan, tidak mungkin, semuanya korban. Operator beko ini menguatkan tekadnya.
Walau dalam kegelapan malam, Erwin memutar haluan kearah barat. Ditemani keponakannya Alfi sebagai kernet, dia menerobos kampung Bah yang terisolir. Guncangan gempa disentralnya ini silih berganti. Reruntuhan hampir di mana-mana bagai tanpa henti. Namun operator beko PU ini surut. Dia terus menyisir tumpukan longsor dalam pekatnya malam, hanya berbekal lampu beko.
Dia buat jalan, agar bisa dilalui untuk dan dari Bah. Kawasan ini dan kampung Serempah masih terisolir. Sungai meluap, kampung ini berubah menjadi kawah. Tanpa makanan, dengan semangat yang tinggi, Erwin justru makin mendekat ke pusat gempa. Tidak ada manusia yang masuk ke sana malam itu. Hanya dia dan Munadi operator loader.
Sesekali terdengar batu yang turun dari gunung beradu keras. “taaarrrr tuuurr. Menjelang subuh, Erwin berhasil menembus Bah. Spontan ratusan manusia yang terperangkap, berlarian menyelamatkan diri, karena sarana jalan sudah berhasil dibuka.
Keringat dingin Erwin bercucuran. Dia mengucapkan syukur, ketika warga Bah berhasil keluar dari perangkap gempa. Usai melihat manusia berlarian, baru terasa lelahnya diiringi musik keras perutnya yang belum terisi.
Hari kedua gempa, kembali dia menyabung nyawa. Menyelamatkan manusia yang ada di Serempah, kampung tetangga Bah. Membuka Serempah tantangan justru lebih berat bila dibandingkan dengan Bah. Nyawa Erwin menjadi taruhannya. Bahtiar Gayo (bersambung).
Berita terkait : Mengantar Nyawa Ke Pusat Gempa (2)
hebat sih…tapi makannya kapan pak…ntar sakit kan yg repot petugas medisnya lho…