TUMPUKAN longsor masih berserakan di jalan. Sangat sukar dilintasi. Jangankan kenderaan roda empat, sepeda motor saja begitu sulit. Bila tidak lihai, bisa jadi menambah daftar korban. Namun demi menyuarakan jeritan rakyat Gayo yang diamuk gempa, tantangan itu harus dihadapi.
Belum lagi alam yang tidak bersahabat, guncangan bumi masih terasa. Semakin kepusat gempa, kian kuat tanah bergetar. Bebatuan terus menerus turun dari gunung. Saling berebut bersama pasir menuju dasar. Kaki terasa dingin, keringat menembus, iklim yang sejuk menjadikan jaket bagaikan es. Walau terasa gemetar, kamera di tangan harus diaktifkan.
Kisah itu bermula, Selasa 2 Juli 2013, cuaca begitu cerah. Jam ditangan menunjukan angka 14:37 Wib. Sebelumnya tak ada tanda buruk. Namun, seketika bumi berguncang. Suasana berubah drastis, semula tenang kemudian mencekam.
Belakangan diketahui gempa bumi itu berkekuatan 6,2 skala reichter (SR). Berlokasi: 4.70 LU, 96.61 BT (35 km Barat Daya, Bener Meriah). Berada dikedalaman 10 kilometer di wilayah darat pedalaman Provinsi Aceh (Aceh Tengah dan Bener Meriah).
“Ketraak… Ketum…Geduum.” suara ‘perut’ bumi memuntahkan semburan tanah bercampur pasir berdebu berloncatan ke atas. Sekilas hentakan itu bak peluru bedil mengenai target. Mengejutkan penduduk. Bahkan, tekanan ‘gas alam’ ini nyaris mencapai 2 meter ke udara. Walau fenomena ini hanya berlangsung dalam hitungan detik, namun tanah bergemeretak seperti gelombang air menghentak ke permukaan.
Begitulah awal mula pengalaman penulis saat merasakan detik-detik dahsyatnya hentakan gempa tektonik ketika sedang melintasi sebuah jalur alternatif di Kampung Mongal, Paya Tumpi, Aceh Tengah. Selanjutnya, tak berselang lama, teriak hesteris warga menggema di mana-mana. Sebagian bangunan rubuh. Ribuan manusia berhamburan ke luar rumah.
Tepat dihadapan Waspada, dua gadis yang mengendarai sepeda motor terjatuh. Di sisi lainnya, seorang warga berlari tergopoh-gopoh, membawa anaknya yang masih balita dengan kondisi berlumuran darah. Kepalanya tertimpa reruntuhan rumah.
“Tolong…Tolooong…Tolongin anak saya. Anakku..anakku. Sadar nak, sayangi bapak,” kata seorang warga Kampung Mongal, haru. Kemudian dengan bantuan tetangganya dilarikan ke medis terdekat.
Setelah mengambil beberapa jepretan foto, penulis mulai mengitari Kota Takengen. Getaran gempa susulan masih kuat terasa. Puluhan rumah di sepanjang jalan protokol tampak retak, rusak serta ada yang rubuh.
“Ya Allah apakah dunia sudah kiamat. Bagaimana dengan nasib keluarga dan anakku? Apakah saya harus terlebih dahulu membuat laporan (berita) atau segera balik ke rumah (berjarak 6,5 km dari arah kota),” bisik bhatin penulis. Tiba-tiba handphone berdering. “Isi ko win? Kune kondisimu, aman ke ko. Dimana kamu nak? Bagaimana kondisimu. Apa kamu aman,” tanya Bahtiar Gayo, wartawan Waspada Aceh Tengah.
Disisi lain, penulis berupaya mengabarkan situasi gempa ke redaktur Waspada Aceh, Muhammad Zeinizen di Medan. Meski jaringan selular putus-putus, namun hubungan telepon akhirnya tersambung. “Ok saya tunggu laporannya. Utamakan keluarga,” kata redaktur Waspada saat itu.
Malamnya, sekira pukul 21:05 dan 22:40 gerakan bumi kembali terjadi. Di bawah curah hujan terdengar tangis anak-anak. Sebagian warga melantunan ayat suci Alqur’an. Bahkan hingga fajar menyingsing tidak sekejappun mata bisa dipicingkan. Lelah dan trauma. Mayoritas warga mengungsi.
Tantangan Menuju Lokasi Pusat Gempa.
Hari kedua, Rabu (3/7), dengan ucapan ‘basmallah’ penulis meninggalkan anak istri menuju lokasi pusat gempa. Bahtiar Gayo mengintruksikan penulis untuk mengecek kondisi dampak gempa di daerah Silih Nara yang berbatasan langsung dengan Blang Mancung, Ketol (lokasi pusat gempa, berjarak sekitar 50 km dari arah kota).
Demikian di area titik gempa lainnya di Bener Meriah, tugas peliputan dipercayakan kepada Khairul Akhyar, wartawan Waspada wilayah tugas Redelong.
Berbekal, 2 liter minyak bensin tambahan yang mengantung dalam jerigen kecil di sayap sepeda motor, penulis mulai bergerak menjalankan tugas jurnalistik dari satu perkampungan menuju pemukiman lainnya di Silih Nara. Jalur menuju ke sana belumlah aman. Bebatuan dan butiran tanah berpasir masih terlihat turun dari arah penggunungan. Di sana-sini sarana retak dan terbelah, sebagian titik tertimpa pohon tumbang. Namun perjalanan terus dilanjutkan.
“Urungkan saja niatnya untuk menuju Belang Mancung, Kp. Bah atau Serempah. Seluruh jalur menuju ke sana sudah putus total. Badan jalan telah terbawa longsor. Jatuh amblas ke jurang. Apalagi dari informasi kami terima, daerah di sana (Ketol) juga lebih parah dari tempat ini,” sebut Jasli, warga Jaluk yang akhirnya memandu Waspada hingga sampai di titik jalan terputus.
Bagaimana Dengan Kondisi Kute Panang?
Masih di hari sama Rabu sore, sulitnya menerobos Ketol via Silih Nara tak membuat Waspada pasrah. Penulis balik ke arah kota untuk kembali melakukan koordinasi dengan ‘pimpinan’ Waspada Aceh Tengah (Bahtiar Gayo-red) sekaligus melaporkan data yang telah dihimpun sebelumnya. Selanjutnya dibahas bagaimana mencari jalur alternativ menembus Kec. Ketol, terutama Serempah dan sekitarnya.
Kemudian diputuskan petualangan kembali dilanjutkan, diujicoba dengan melintasi daerah Kute Panang. (Kec. Kute Panang atau Silih Nara ini sendiri merupakan wilayah terdekat dari dan ke menuju Ketol-red)
“Makan siang dulu sebelum berangkat. Isi perut. Jangan sampai sakit. Tugas besar menanti kita,” ucap Bahtiar Gayo berpesan dan masih terkenang di hati penulis. Namun karena pertimbangan waktu ajakan makan ini seperti terlupakan.
Waktu itu jam sudah menunjukan sekira pukul 15:00. Meski lelah, perut keroncongan, penulis kembali melaju kendaraan menuju lokasi terisolir Ketol, namun kini via Kute Panang. Namun ternyata, area di sana juga begitu memprihatinkan. Dampak gempa bumi telah meluluhlantakan mayoritas infrastruktur milik warga maupun pemerintah. Ribuan penduduk mengungsi di bawah tenda seadanya.
“Ini sudah sore sebentar lagi sudah malam. Kami kira tidak mungkin lagi bisa menuju ke Belang Mancung, Bah atau Serempah. Apalagi di sini selain aktifitas gempa masih sering terjadi juga banyak jalan tertutup tanah serta retak. Berbahaya bagi pengguna jalan,” kata Rus Aman Resti, warga Pantan Jerik, Kute Panang yang setia mendampingi Waspada, sesampai di sana.
Perlahan motor tua yang ditungganggi penulis akhirnya melesat meninggalkan Kute Panang. ‘Kuda besi’ ini seperti tak mau lagi berjalan saat melewati pendakian di area pengunungan maupun perkampungan.
Kendaraan ini walau benda mati, bagaikan merasakan derita manusia yang ditinggalkannya. Ada yang masih dibalut trauma dan sebagian diantara mereka bermandikan darah. Belum memiliki tempat tinggal, setelah seluruh harta bendanya musnah “ditelan” alam. Bersambung…..(Waspada /Irwandi MN)