by

Dikelilingi Gas Tapi Rakyatnya Tetap Miskin

Letaknya dilingkari sungai. Jaraknya dari Lhoksukon Aceh Utara, sekitar 70 kilometer ke arah selatan. Namun walau hanya 70 kilometer membutuhkan waktu hampir 2,5 jam. Jalannya belum bagus, masih banyak serakan batu dan lumpur.

Tampak pipa gas di atas yang melintasi Sunga Jambo Aye.Walau terdapat Tujuh sumur Gas yang di eksploitasi oleh Trianggle Pase dibawah Exxon Mobile, masyarakat di Perbatasan Bener Meriah, Aceh Timur dan Aceh Utara masih dibawah garis kemiskinan. Dalam hidup sehari-hari, penduduk Sarah Gele, Sarah Reje, Rubik, Sejuk dan beberapa desa lainnya jika melakukan perjalanan menggunakan Boat di Sungai Jambo Aye. (Foto KA)

Ketika tim wartawan mendapat undangan ke sana , harus menyiapkan mobil double cabin yang berhandle. Untuk menembus perkampungan Sarah Gele, Garut, Sejuk dan Ranto Panyang yang sudah menjadi desa defenitif Bener Meriah (statusnya masih diperebutkan dengan Aceh Timur), membutuhkan fisik ekstra.

Bila dari Bener Meriah, bukan hanya harus memutar melintasi Bireun, hingga ke Aceh Utara, Cot Girek, namun medan ke Sarah Gele agak berat. Banyak perubahan di Sungai Jamboe Aye ini. Hutan tidak lagi lebat. Padahal di sana dikenal dengan kayu berkualitas, seperti damar laut, meranti, kruwing, semantok. Kini kayu bernilai rupiah itu memang sudah langka. Hutan di sana  mulai gundul dan disulap menjadi areal sawit oleh pihak perkebunan swasta.

Di sana juga ada sumur gas yang diekploitisi Exxon Mobil,  disubkan ke Trianggle Pase. Eksploitasi sudah berlangsung lama. Dalam lingkaran gas inilah hidup sekitar 2500 jiwa masyarakat yang tergabung dalam 5 desa ( 4 Bener Meriah, satu Aceh Timur).

Jarak antara kampung yang satu dengan lainnya memang agak berjauhan. Penuh lingkaran sungai. Tidaklah heran, transportasi andalan warga di sana adalah perahu boat. Baru setengah tahun yang lalu, ketika rakyatnya minta pindah ke Bener Meriah, jalan di sana dibuka.

Walau bermukim di kawasan hutan yang jenis kayunya mahal di pasaran, serta pusaran sumur gas, kondisi masyarakat di sana masih memprihatinkan. Masih termarginalkan belum tersentuh pembangunan. Masih hidup belum layak.

Listrik belum ada, demikian juga dengan sarana kesehatan, tidak ada tenaga medis. Air bersih untuk minum dan mck, semuanya tergantung kepada sungai Jambo Aye yang keruh.

“Sejak penduduk Blang Seunong ini meminta pindah ke kabupaten Bener Meriah, saya berhasil memperjuangkan jalan sepanjang 8 kilometer, walau belum diaspal, tetapi sudah agak baik bila dibandingkan dulu,” sebut Ali Amrin, Kepala Kampung Blang Suenong, Kecamatan Pantee Bidari Aceh Timur.

Jawaban Ali Amrin atas pertanyaan Wartawan dibenarkan Camat Pantee Bidari, Burhanuddin, SH. Di tengah ratusan masyarakat yang melakukan pengecoran tapal batas Bener Meriah- Aceh Timur ini di Pelalu, berbatasan dengan Blang Suenong. Sabtu (9/4).

“Warga kami ini mendapatkan bantuan beras raskin dari dua kabupaten, dari Aceh Timur dan Bener Meriah,” sebut Burhanuddin, usai berjabat tangan dengan masyarakat, yang sepakat menyerahkan persoalan tapal batas diputuskan oleh tim provinsi Aceh.

“ Tapal batas yang sudah dibangun tidak perlu dibongkar. Demikian dengan plang nama di Sarah Reje, yang ditulis kampung persiapan pemekaran dalam Kabupaten Aceh Timur, plangnya tidak perlu diturunkan,” sebut Ali Amrin sambil menjabat tangan dengan kepala Kampung Sarah Gele, M. Yunus di lokasi tapal batas.

Camat Pantee Bidara juga berjabat tanga dengan mukim Rubik, Abu Bakar dari Bener Meriah. Penyelesaiaan masalah penuh kekeluargaan itu disaksikan Kapolsek Pantee Bidara Ipda Candra Kirana Putra, serta masyarakat dari kedua belah pihak, dan  wartawan yang diundang dari Bener Meriah.

4 kampung di sana sudah mendapat pengesahan defenitif dari Pemda Bener Meriah. Warga di sana mengakui, selama  ini mereka  tinggal dalam lingkaran  sumur gas. “Namun  sejak bapak dan kakek kami ke sini, keadaan kami tetap miskin,” sebut Tarlian, salah seorang tokoh muda dari Sarah Gele.

Sebelum mereka pindah ke Bener Meriah, mereka terkurung. Hanya sungai yang menjadi andalan transportasi. Namun resikonya kalau sungai meluap, mereka tidak bisa keluar.

“Ketika ada saudara kami yang sakit, air sungai belum surut, kami tak mampu berbuat. Bahkan ada saudara kami yang meninggal, tanpa mendapatkan bantuan medis, karena kami tidak bisa keluar,” sebut Nurdin Yasin, alias Tgk. Luepi, penduduk Bidari Wali.

Mengangkut hasil perkebunan rakyat seperti pinang dan kakao, semuanya tergantung sungai. Sayang kini, tanaman coklat di sana kini kondisinya memprihatinkan, buahnya menghitam, busuk di pohon. Hasil keringat rakyat di sumur gas ini dijual ke Lhoksukon, kemudian  ditukar dengan beras dan kebutuhan lainnya.  Bersambung. (Bahtiar Gayo/Waspada)

Sambungan :

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.