Catatan : Irwandi MN ( Bagian 2- habis )
FAJAR mulai menyingsing, Kamis (4/7) pagi itu. Tugas kembali menanti Waspada. Setelah sebelumnya memantau dampak gempa di Silih Nara dan Kute Panang, giliran pemukiman lainnya di Aceh Tengah yang harus diliput, salah satunya seperti wilayah Kec. Bebesen yang lokasinya tidak jauh dari perkotaan.
“Saya kira seluruh media terfokus di pusat gempa di Kec. Ketol. Namun bagaimana perkampungan lainnya yang terkena dampak? Kita harus segera mengabarkannya, ini agar perhatian menyeluruh. Sehingga tidak menimbulkan kecemburuan sosial bagi korban dikemudian hari,” sebut Bahtiar Gayo, wartawan Waspada memberi arahan singkat kepada penulis di tengah situasi ‘keamanan’ masih labil.
Dimana, hingga saat itu berdasarkan informasi diperoleh dari BMKG melalui dunia maya, gempa susulan yang terjadi di Gayo sudah mencapai 97 kali dengan kekuatan lebih rendah, dibawah 6,2 SR.
Selanjutnya meski cuaca kurang bersahabat, mendung dan gerimis, namun penulis bersama Khairul Akhyar (wartawan Waspada liputan Bener Meriah) hari itu mulai mengitari satu persatu kampung di Kec. Bebesen. Mayoritas perumahan warga di sana juga rusak, tak berbeda jauh dengan kondisi pemukiman di sekitar pusat gempa Ketol. Kalaupun berbeda mungkin di sekitar Bebesen, tidak ada korban jiwa.
Setelah berputar mengitari satu persatu kampung dengan kondisi kerusakan dampak gempa begitu beragam, tim Waspada selanjutnya menuju Belang Gele, Atu Gajah. Pemukiman ini paling ujung di Kec. Bebesen dari arah kota. Ternyata di sana juga tidak kalah memprihatinkan, ratusan KK mengungsi di lapangan sebuah sekolah dasar. Warga pengungsi berasal dari kedua kampung berdampingan tersebut.
“Sudah tiga hari kami di sini. Kami kekurangan tenda, air bersih dan obat-obatan. Sementara bantuan beras sudah masuk, 2 bambu per KK di tambah telur dan mie instan,” ucap Suhada warga Atu Gajah yang dibenarkan Aman Ayu warga Belang Gele di pengungsian.
Menurut Suhada, mayoritas warga Atu Gajah mengungsi karena hentakan gempa telah merusak akses jalan dari dan ke menuju ke sana, berikut sebagian perumahan penduduk hancur. Dimana-mana longsor. Pemukiman ini tertutup dari dunia luar dalam sementara waktu. Bongkahan batu berserakan di badan jalan. Ini karena perkampungan itu berada di tengah lereng gunung.
“Sebaiknya kita cek langsung ke sana. Siapa tahu masih ada warga terkurung dan belum sempat mengungsi,” kata Khairul Akhyar kepada penulis.
Benar saja, saat Waspada mengitari dan berupaya menerobos lokasi dimaksud, ancaman bahaya belum berakhir. Tanah bekas longsor masih bergerak, batu-batu kecil masih turun berebut dari arah bukit. Perjalanan dihentikan karena medannya juga cukup sulit, hanya bisa dilalui lewat jalur setapak. Akhirnya Waspada balik ke arah kota, sekaligus melaporkan setiap data yang di peroleh ke Bahtiar Gayo. Beliau selanjutnya membuat laporan ke redaksi.
“Kita sama-sama lelah. Namun inilah perjuangan. Disaat genting seperti ini kita harus kerja keras, jangan sampai sakit. Jangan lupa tambahan vitamin, karena semuanya pasti kurang istrahat dan tidur,” nasehat Bahtiar Gayo ke penulis dan Khairul Akhyar.
Bagaimana Nasib Korban Gempa di Ketol?
Setelah sejenak melepas lelah di tenda darurat serta bercengkraman sesaat dengan keluarga dan ke dua buah hati penulis pada malam harinya. Tugas kembali menanti, sebagai daerah pusat gempa, Kec. Ketol belum terlacak.
Namun, keesokan harinya Jum’at (5/7) Waspada kembali berupaya menerobos Kecamatan itu. Informasi diterima sejumlah perkampungan seperi Bah dan Serempah yang sebelumnya terisolilasi, kini dapat dimasuki. Akses menuju ke sana sudah mulai dapat terjangkau.
“Alhamdulilah semua wilayah terisolir sudah bisa terjangkau. Meski dengan menggunakan alat berat yang minim, hanya beko dan leoader, namun semua ruas jalan utama sudah dapat dilalui, hari ini perbaikan masuk ke jalur alternatif,” sebut, Khairul Asmara, wakil Bupati Aceh Tengah, kepada Waspada, kala itu.
Dengan berbagi tugas, kembali penulis dan Khairul Akhyar diutus Bahtiar Gayo untuk ‘merekam’ seluruh sesi dampak gempa di sana.
Sementara beliau sendiri mengemban tugas yang tak kalah berat, selain menunggu data dari tim yang diturunkan dan membuat laporan ke redaksi juga mengumpulkan data lainnya menyangkut penangganan korban gempa di sekitar posko maupun mengkonfirmasi pihak terkait.
Singkatnya, sebelum sholat Jum’at Waspada telah tiba di Kute Gelime, Ketol. Ratusan KK yang mengungsi berkumpul disebuah lapangan. Ada juga yang mengungsi di depan rumah masing-masing, meski telah ambruk. Mereka menggunakan tenda seadanya. Memprihatinkan, seakan sulit membuka mata untuk menyaksikan kondisi warga di sana. Mayoritas infrakstruktur atau bangunan rusak parah.
Beda lagi di Bah dan Serempah, setiba di sana, warga sedang melaksanakan rukun sholat Jum’at, mendengarkan tausiah di bawah tenda yang dibuat petugas relawan. Bahkan sebagian berada di lapangan terbuka untuk menunggu sholat berjamaah. Sarana ibadah di sana juga rusak berat, tidak jauh beda dengan daerah lainnya yang sebelumnya dikunjungi Waspada.
“Ya beginilah ke adaan kami. Saat gempa terjadi separuh kampung ini ‘hilang’ amblas dan jadi kawah. Sebanyak 12 rumah terbawa tanah. Korban hilang 11 orang. Namun 5 diantaranya sudah ditemukan termasuk tadi pagi baru ditemukan seorang anak, berusia 7 tahun,” ucap Asyan Syah, 50, tokoh masyarakat Kp Serempah.
Lain lagi cerita Atto, warga Serempah lainnya, detik-detik sebelum gempa dahsyat menggoyang Gayo, debit air sungai yang tepat berada di belakang pemukiman warga tiba-tiba menyusut dari biasanya. Ada sebagian warga berupaya mencari ikan dengan mengunakan jaring. Meski turunnya air hanya sesaat, namun seperti suara dentuman berbarengan dengan gempa, ‘serangan air’ datang dengan volume lebih besar dari arah hulu.
“Hanya hitungan detik,ditengah kepanikan warga yang berhamburan, tanah kampung ini jatuh ke bawah. Setelah itu saya tidak tahu lagi apa yang terjadi. Yang jelas kami menyelamatkan diri dan keluarga masing-masing,” tuturnya sedih.
Sementara, tepat di lokasi runtuhnya tanah pemukiman serempah, puluhan tenaga relawan dari TNI/Polri, Basarnas, BNPB dan sejumlah pekerja kemanusian lainnya yang tidak bisa disebutkan satu persatu, masih melakukan pencarian korban hilang di lokasi itu. Selanjutnya Waspada meninggalkan area reruntuhan tersebut, menuju ke arah Kota Takengen yang sedang ‘disibukan’ dengan mulai berdatangannya pasokan logistik dari para dermawan dan pihak pemerintah.
Data terakhir diperoleh penulis dari Humas Aceh Tengah, khusus di kabupaten itu sebanyak 12 dari 14 kecamatan terkena ekses gempa. Dari 12 kecamatan ini, sebanyak 252 kampung terimbas. Total jumlah kampung di daerah penghasil kopi ini mencapai 352.
Lainnya, korban jiwa berjumlah 34 orang dan 6 dinyatakan hilang. Rumah penduduk rusak berat, sedang dan ringan 13.862 unit. Kantor pemerintahan, 239 unit. Sarana kesehatan, 239 unit. Sarana pendidikan SD/RA, 200 unit, SMP sederajat, 30 unit, SMA sederajat, 23 unit. Total keseluruhan sarana belajar ini adalah 381 unit.
Selanjutnya, sarana (rumah) ibadah rusak berat, sedang dan ringan 269 unit. Infrastruktur jalan kabupaten, 154.47 kilometer. Penduduk kehilangan mata pencarian (pekerja sortir kopi, industri gula merah, penggilingan kopi dan petani) mencapai 4.215 orang. Jumlah pengungsi 48.563 jiwa termasuk yang berada atau membuat tenda darurat (keluarga) di depan rumah masing-masing.
Demikian catatan singkat, perjalanan penulis saat meliput kejadian gempa yang menghentakan Gayo jelang bulan suci Ramadhan tahun ini. Semoga ditengah duka masyarakat Gayo, trauma ‘badai’ alam ini cepat berlalu, seiring kemauan rakyat yang ingin segera bangkit. Amiin. (Waspada /Irwandi MN)
Berita ini sudah dimuat dimedia Harian Waspada