Helsinki, Finlandia 15/08/2005 adalah momentum yang setiap tahun diperingati sebagai hari perdamaian yang ditandai dengan ditandatangani Memorandum of Understanding (MoU) antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Republik Indonesia (RI). 15 hari yang lalu, 15/08/2013 delapan tahun pelaksanaan MoU tersebut, saat ini, belum memperlihatkan implementasi yang jelas, khususnya penegakan Hak Asasi Manusia terkait kasus penghilangan secara paksa dan pemenuhan hak-hak korban konflik di Aceh.
Dan, setahun sudah Pemerintahan Zaini Abdullah dan Muzakkir Manaf yang terpilih sebagai gubernur dan wakil gubernur aceh terpilih paska pemilihan umum kepala daerah pada April 2012 sudah berjalan. Nota perdamaian tersebut menegaskan komitmen Pemerintah RI dan GAM untuk menyelesaikan konflik Aceh secara damai, menyeluruh, berkelanjutan dan bermartabat bagi semua.
Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Aceh merekam jejak penghilangan paksa ketika Aceh dilanda konflik. Setidaknya, proses verifikasi terkait kasus penghilangan secara paksa hingga 2013 yang dilakukan oleh KontraS Aceh, ada 204 kasus yang terjadi, baik pada saat masa penerapan Daearh Operasi Militer (DOM) hingga sampai proses perdamaian di Aceh terjadi. Sampai saat ini, pemerintah pusat dan Pemerintah Aceh belum menunjukkan aksi nyata untuk mengungkap kasus penghilangan orang secara paksa. Padahal dalam butir MoU Helsinki yang kemudian melahirkan Undang-undapng Pemerintahan Aceh (UUPA) sudah diatur jelas tentang pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.
KontraS Aceh menganggap bahwa baik pemerintah pusat dan Pemerintah Aceh terkesan dan tidak serius dengan memberikan mekanisme yang jelas melalui proses penyelesaian pelanggaran atas kasus-kasus masa lalu, khususnya penghilangan secara paksa. Masyarakat sipil, terutama korban konflik di Aceh sangat dilematis. Dimana munculnnya agenda pembahasan Qanun Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) terkait proses penyelesaian hak asasi manusia masa lalu. Ketika itu, Pemerintah Aceh bersama DPRA akhirnya menyepakati penyusunan rancangan qanun untuk Provinsi Aceh tahun 2013, setidaknya ada 21 Rancangan Qanun Aceh yang diprioritaskan tahun 2013 tersebut.
Salahsatu qanun prioritas tersebut adalah Rancangan Qanun Aceh tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (Usulan DPRA). Harapan tersebut tentunya kembali menjadi angin surga khususnya bagi korban konflik. Dan itu kembali menjadi wacana yang lebih besar seiring mengenai pembangunan Aceh secara umum sama.
Momentum peringatan Hari Anti Penghilangan Secara Paksa adalah proses advokasi dan kampanye tentang praktek pelanggaran terhadap hak asasi manusia, celakanya bagi keluarga mereka dihilangkan secara paksa ketika konflik Aceh mendera, hidup tanpa mengetahui nasib kerabat hanyalah satu dari segudang realitas yang harus ditanggung seumur hidup.
Satu Harapan kami, khususnya kepada Pemerintah Aceh segera mengesahkan Rancangan Qanun KKR. Delapan tahun paska MoU Helsinki, masih ada tugas dan tanggungjawab penyelesaian yang harus segera dilakukan oleh Negara. Proses pengungkapan kebenaran belum tersentuh sama sekali, terutama kasus penghilangan secara paksa. Maka KKR adalah sebagai bentuk salah satu mekanisme pengakuan negara terhadap pelanggaran HAM tersebut.
Masih tetap ada banyak hal yang harus dilakukan. Keluarga korban orang hilang masih menunggu hadirnya langksa nyata political will dari pemerintah dan negara. Pengungkapan kebenaran terhadap kasus penghilangan secara paksa bukan hanya sekedar paradoks, dimana adanya pemutarbalikkan keadaan dari pelaku menjadi pahlawan bagi keluarga yang dihilangkan secara paksa.
Ini semua dimungkinkan dengan segera mensahkan KKR sebagai solusi yang bijak dan bermartabat bagi perdamaian Aceh yang abadi.
Badan Pekerja Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Aceh, (Rel)
Yang lalu bah berlalu inoe tanyoe ta eu ukeu bek lee eu u likot. Aceh ka dame ngon jawa.