Takengen | Lintas Gayo– Yusradi Usman Al- Gayoni menerbitkan buku tentang tutur Gayo. Buku tersebut akan beredar. Lintas Gayo mengangkat pesan pengantar dalam buku tersebut. Inilah pesan Yusradi dalam pengantarnya.
Orang Gayo memiliki keragaman tata (sistem) istilah kekerabatan (kinship term). Dalam istilah lokal, dikenal dengan tutur. Misalnya, titok atau keleng (tingkatan pertama/orang tuanya rekel), rekel (orang tuanya entah), entah (orang tuanya munyang), munyang (orang tuanya empu), empu (orang tuanya datu), datu (orang tuanya awan dengan anan), awan (kakek) dan anan (nenek), ama (bapak) dan ine (ibu), anak (anak), kumpu (cucu), serta piut (tingkatan kesebelas/cicit)
Namun, dalam perkembangan kekinian masyarakat Gayo, tutur kurang dikenal, dipelajari, dan dipakai. Bahkan, ada kecenderungan mulai ditinggalkan. Pasalnya, tutur kurang dikaji, diteliti, didokumentasikan, dan dipublikasikan. Sementara itu, dukungan dokumentasi tertulis dan penelitian terkait pun masih kurang. Pun ada, masih berupa ācatatan-catatan yang terbatas.ā Misalnya, Zuska (1977), Melalatoa (1983), Aman Pinan (1998), Eades (2005), Ibrahim dan Aman Pinan (2009), Saleh (2009), Mustafa Ak (2009), Tantawi dan Buniyamin (2011), serta al-Gayoni (2008, 2009, 2010, 2011, dan 2012). Alhasil, kurang memberikan gambaran yang komprehensif, lengkap, ākaya,ā dan mendalam. Di lain pihak, di internal orang Gayo sendiri, transmisi budaya kurang berjalan dengan baik. Apalagi, soal transmisi tertulis. Termasuk, dalam hal pentransmisian tutur.
Padahal, secara tradisional, misalnya, pentransmisian tutur sudah berjalan dengan baik. Hal tersebut biasanya berlangsung melalui acara man ku wih (makan bersama) yang diadakan setiap tahun oleh muda-mudi (beru bujang). Sebagai akibatnya, mereka akan mengetahui tutur yang mereka gunakan. Dengan demikian, mereka akan tahu pula bagaimana cara bersikap dan bertingkah laku dalam menghapi seseorang.
Hal itulahāpengertian, asbabul nuzul, klasifikasi, pembagian dan penggunaan, fungsi, kurangnya penggunaan, serta bentuk tuturĀ¬ baruāyang dibahas dalam buku ini. Pengerjaan naskah ini sebetulnya sudah selesai pada tanggal 29 Oktober 2009, dengan judul yang berbeda. Namun, tidak bisa terbit karena keterbasan dana cetak. Karena penelitian untuk tesis penulis pun soal ini (14 Agustus 2009-8 April 2010), akhirnya naskahnya digabungkan jadi satu. Pastinya, dengan pembahasan yang lebih komprehensif, detail, lengkap, dan mendalam. Alhamdulillah, tanggal 29 April 2012 lalu buku (edisi pertama) ini pun diterbitkan.
Makin i dedik makin pejem, makin i kuruk makin relem. Peribahasa ini rasanya pas terkait penerbitan edisi kedua ini. Dengan kata lain, makin dikaji, ternyata tutur makin menarik dengan semua kekhasannya. Dalam cetakan kedua ini disertakan pula tutur yang ada di Gayo Lues. Tambah, pelbagai penjelasan yang makin memerkaya tutur. Dengan begitu, bahasannya lebih menarik, dalam, lengkap, dan komprehensif. Terlebih lagi, saat dikaitkan dengan filsafat, histori, dan sosio-kultural āaspek antropologi dan sosiologiā tutur (masyarakat Gayo).
Harapanya, buku ini dapat berguna bagi semua pihak. Khususnya, bagi masyarakat Gayo baik di tanoh Gayo maupun di perantauan. Lebih-lebih, generasi mudanya yang mulai āgelapā dalam melihat sejarah dan budayanya sendiri. Lebih dari itu, kehadiran buku ini, diharapkan dapat mengurangi ākemiskinanā dokumentasi Gayo. Selain itu, bisa mengenalkan dan āmembumikanā kembali tutur Gayo.
Silep lale semantung lupen (silap-lalai dan lupa adalah hal yang biasaākarena tidak ada manusia yang sempurna). Oleh karena itu, penulis mengharapkan masukan yang konstruktif dari pembaca demi kesempurnaan isi buku ini pada masa-masa mendatang. (Yusradi Usman al- Gayoni)