Permen dan Recehan

Oleh : Akim  Ritonga*

Dalam beberapa dasawarsa ini nilai nominal mata uang rupiah mengalami penurunan. Kondisi ini tentu saja berdampak pada persediaan uang koin pecahan 100 rupiah dan uang koin pecahan lain di bawahnya. Kebijakan Pemerintah untuk menerbitkan pecahan uang 2000 rupiah pun semakin berdampak pada kelangkaan uang koin pecahan di masyarakat. Bahkan lima tahun belakangan ini kelangkaan uang koin pecahan di masyarakat telah menimbulkan keresahan sendiri bagi sebagian masyarakat seiring tumbuh suburnya berbagai usaha ritel di seluruh pelosok tanah air. Kenapa demikian?

Dengan beralasan tidak adanya persediaan uang koin pecahan 100 atau di bawahnya, para peritel memberi uang kembalian dengan permen. Sesuatu yang melanggar etika dan peraturan perundang-undangan dalam praktek bisnis.

Kondisi Kekinian Lhokseumawe

Fenomena pengembalian uang ke konsumen dalam bentuk permen ini juga terjadi di Kota Lhokseumawe, Aceh. Kebanyakan masyarakat di kota ini juga mulai resah bila harus menerima pengembalian uang pecahan/koin dalam bentuk permen. Namun, di sisi lain banyak juga konsumen yang menolak uang kembalian tersebut dengan alasan uang 100 rupiah tidak berharga lagi. Disinilah letak permasalahan antara kondisi riil di masyarakat dengan peraturan perundangan yang saling bertentangan.

Bagi sebagian pelaku usaha paradigma masyarakat atas “hilangnya” nilai uang koin pecahan memiliki keuntungan tersendiri. Mereka pun mulai mengubah pengembalian uang koin pecahan kebentuk permen atau donasi yang tidak jelas tujuannya.

Sulistyowati (2012:22) mengungkapkan bahwa, uang kembalian dengan akhiran Rp 50,- dianggap tidak perlu dibayarkan, Sedangkan kembalian Rp 100,- dan kelipatannya diganti dengan permen. Permen yang diberikan bukan atas pilihan konsumen, Jadi kasus ini mengabaikan prinsip “kesepakatan” antara pembeli dan penjual. Benarkah harga permen itu memang mewakili uang kembalian konsumen?

Perlu diingat bahwa permen-permen itu tidak punya daya beli dan tidak pula berfungsi sebagai nilai tukar. Dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 disebutkan bahwa setiap transaksi di Indonesia harus dilakukan melalui mata uang rupiah. Artinya, pengembalian uang koin pecahan dalam bentuk permen secara tegas melanggar undang-undang tersebut.

Keuntungan yang diperoleh pelaku usaha dengan akhiran Rp 50,- dianggap tidak perlu dibayarkan, sedangkan kembalian Rp. 100,- dan kelipatannya diganti dengan permen. Dapat kita asumsikan, bahwa kembalian Rp 400,- diganti dengan 4 butir permen yang harga pokok pembelian perbutir Rp 50,- maka profit yang diperoleh penjual senialai Rp 200,- perkonsumen maka apa yang terjadi jika konsumen yang datang ke penjual/para pelaku usaha sebanyak 1000 orang yang diataranya menerima pengembalian ke bentuk permen sebanyak 300 orang dan pengembalian uang Rp 50,- yang dihapuskan sebanyak 700 orang? Hasil yang diperoleh ialah untuk pengembalian ke bentuk permen senilai Rp 60.000,- dan uang konsumen yang dihapuskan dengan kelipatan Rp 50,- senilai Rp 35.000,- .

Berdasarkan data Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), sepanjang tahun 2012 ada sebanyak 620 kasus permasalahan konsumen yang dilaporkan ke lembaga tersebut. Meningkat dari tahun 2011 yang hanya mencapai 525 kasus.Dan semakin meningkat di tahun 2013 hingga 2014 ini.

Dari data tersebut belum memuat data konsumen di Kota Lhokseumawe yang dilaporkan ke YLKI. Ada beberapa  hal yang menjadi penyebabnya. Antara lain jarak Kota Lhokseumawe yang jauh dari Ibu Kota Negara sehingga memudahkan para pelaku usaha dalam melakukan kecurangan akibat minimnya pengawasan terhadap etika bisnis para pelaku usaha oleh Pemerintah.

Selain itu belum adanya institusi semacam YLKI atau LSM pemerhati perlindungan konsumen di Lhokseumawe yang dapat menjadi mediator dalam pemenuhan hak konsumen oleh para pelaku usaha, termasuk pemberian informasi hak konsumen bagi masyarakat luas.

Solusi Yang Harus Digagas

Adapun solusi akhir yang harus diperhatikan oleh  Muzakkir pada masa pemerintahannya kali ini, ialah Haraus meningkatkan perhatian akan perlindungan konsumen di Aceh, mengingat telah besarnya pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha atau pengacau hak konsumen lainnya.

Dengan membangun YLKI atau LSM khusus pemerhati perlindungan konsumen sejenisnya di Lhokseumawe merupakan langkah awal yang harus diambil oleh bapak Muzakkir dalam mewujudkan peningkatan perlindungan bagi konsumen.

Bukan hanya peran Pemerintah Daerah saja, akan tetapi mewujudkan kemajuan perlindungan konsumen yang berkesinambungan harus adanya peran aktif pihak lain terhadap kecurangan pelaku usaha.

Pertama, Upaya akademisi. Akademisi merupakan pihak yang paling menaruh perhatian terhadap hak konsumen di Lhokseumawe. Dalam kesempatan kuliah mereka banyak yang mendorong para mahasiswa untuk bersikap kritis terhadap perilaku curang pelaku usaha dan memberi pemahaman kepada masyarakat sekitar mereka dengan informasi tentang hak konsumen. Termasuk dalam mengganti pengembalian uang konsumen dengan permen.

Kedua, Upaya masyarakat. Masyarakat selaku konsumen merupakan pihak yang dituntut berperan aktif terhadap peningkatan kesadaran hak konsumen itu sendiri. Dengan cara mencari informasi mengenai hak-hak yang mereka miliki. Dan membagi informasinya kepada anggota masyarakat lainnya.

*Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh selaku Penerima Bidikmisi Prestasi yang memiliki perhatian terhadap kemajuan Aceh.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.