Jakarta | Lintas Gayo : Membaca otobiografi Mohammad Daud Gayo seolah membawa pembacanya ke masa lalu, khususnya mengenal tanoh Gayo lebih dekat. Dimintai pendapatnya (8/5), Yusradi Usman al-Gayoni, seorang kolektor buku Gayo (sejak 2002) mengatakan bahwa banyak sekali fakta sejarah, kearifan sosio-budaya Gayo, dan kisah sukses yang bisa diteladani dari kisah Daud (sapaan Mohammad Daud Gayo).
âSaya bersyukur dengan terbitnya buku ini. Dari buku ini, saya jadi tahu orang-orang pertama yang merantau ke Jakarta, seperti M. Hasan Gayo, Ilyas Leube, Sangsarifah, Bunsuraini, Muhammad Daud Ali, dan Abdullah Usman. Lebih dari itu, kisah ama Daud semakin memompakan semangat saya,â kata Yusradi al-Gayoni.
Dari enam perantau pertama Gayo ke Jakarta tersebut, tambah Yusradi yang sampai saat ini baru mengoleksi 89 buku Gayo (termasuk otobiografi Mohammad Daud Gayo), kemungkinan hampir semuanya sukses di zamannya. M. Hasan Gayo misalnya, sempat jadi Anggota MPRS RI, Ilyas Leube tokoh kharismatik Gayo dan jadi orang nomor dua di DI TII setelah Tengku Daud Beureueh, Muhammad Daud Ali, jadi guru besar Universitas Indonesia (UI). âSaya belum mendapatkan informasi sisanya,â pungasnya lagi.
Lebih dari itu, Yusradi al-Gayoni yang sudah membaca sebagian besar otobiografi tersebut menyebutkan bahwa tahun 1962, ada 12 orang Gayo asal Aceh Tengah yang belajar di Uni Sovyet, yaitu Mohammad Daud Gayo, Abdul Munaf Gayo, Moh. Yusuf Gayo, Siti Syamsiah, Abbas Nosarios, Sardjo Keromosemito, Nurdin Yunus, M Saleh atau Emes Mora, Rachmatsyah, Abd. Hamid Syamaun, Ismail, dan Arif Army.
Selain itu, ada dua orang Gayo yang belajar di Cekoslawakia, yaitu Mohd. Daud Hakim dan Abdurahmah Saleh, satu di Australia (Arifin Karim) dan 1 orang di Jepang (Ayodhyoa, alias Agusman). Dapat disimpulkan bahwa di tengah keterbatasan fasilitas (tidak seperti sekarang), ternyata mereka punya kualitas dan kemampuan di atas rata-rata, mentalitas tambah tekad yang tinggi, serta didukung dengan usaha maksimal dan keuletan dengan tetap menyertakan Tuhan dalam setiap langkah mereka.
Ke depannya, saran Yusradi yang juga Ketua Reseach Center for Gayo, pendokumentasian Gayo perlu dikuatkan baik secara personal, kolektif maupun upaya yang diinisiasi Pemerintah Kabupaten, termasuk dalam penulisan biografi tokoh-tokoh Gayo. Yusradi mencontohkan, dari 17 Profesor dari Gayo, mulai dari Prof. Aliyasa Abubakar, Prof. Alfiansyah, Prof. DR. Baihaqi Ak, Prof. Dr. Ascobat Gani MPH. DrPH, Prof. Dr. H. Ismail Arianto, M.Pd, Prof. Dr. Ir. Abdi A Wahab, M.Sc, Prof. Dr. M. Junus Melalatoa, Prof. Dr. Syukri Karim, Prof. DR. Thamrin, M.Sc, Prof. H. Muhammad Daud Ali, Prof. H. Muhammad Daud, S.H., Prof. Hamid, Prof. Jemaat Manan, Prof. M. Din Madjid, Prof. M. Yunus Salim, M.Sc, Prof. Nadir Abdul Kadir, S.E., sampai Prof.Dr.Ir.Abu Bakar Karim MS, baru satu yang terdokumentasi, yaitu Prof. DR.H. Baihaqi Ak. Belum lagi tokoh-tokoh Gayo yang lain, masih banyak yang belum kita ketahui, sambung Yusradi.
âAkibatnya, kita bisa memetik pelajaran hidup dan fakta-fakta sejarah yang bertalian dengan Gayo,â kata Yusradi. Sejauh ini, tutur Yusradi, dari sekian banyak tokoh Gayo yang berkecimpung di pelbagai bidang baik di dalam maupun di luar negeri, baru tiga-empat yang terdokumentasi dalam bentuk buku, diantaranya Prof. DR. H. Baihaqi Ak, Mohammad Daud Gayo, A. R. Moese (musisiâmasih belum diterbitkan [ditulis Yusradi Usman al-Gayoni sendiri]) dan Tengku Ilyas Leube (kabarnya ditulis Salman Yoga). (Win Kin Tawar)
Semoga mulai dari hari ini sebagai generasi gayo kita bersepakat untuk mendekumentasikan apa saja yang kita dapat tentang Gayo