Keberadaan orang Gayo sudah sejak zaman dahulu diakui dan menduduki wilayah Gayo Lut (Aceh Tengah dan Bener Meriah), Gayo Deret (Aceh Tenggara dan Gayo Lues), Gayo Serbejadi (Aceh Timur) dan Gayo Kalul (Aceh Tamiang). Dari segi komunikasi kendati dialek berbeda sedikit diantara Gayo-Gayo ini tapi mereka saling mengerti, kata yang tidak dapat memisahkan semua adalah berasal dari Linge.
Kebutuhan hidup, perkembangan zaman, kemajuan peradaban, arus transpomasi yang tidak terbendung menjadikan merekan ini tersebar. Sedang masuknya ilmu pengetahuan ke Gayo, menurut Prof. Dr. Al Yasa Abubakar bermula pada tahun 1928 dan sejak itu jugalah orang Gayo mulai keluar dari Gayo untuk mencari ilmu (dalam istilah Gayo di sebut bedagang). Sekarang orang Gayo sudah berada diseluruh pelosok dunia mulai dari daerah yang maju sampai kepada daerah yang terpencil.
Orang Gayo yang bereda di luar wilayah Gayo yang telah disebutkan merupakan cerminan dari mereka-mereka yang tetap tinggal di daerah Gayo, kalaulah mereka baik maka orang akan katakan orang Gayo adalah orang baik, Tapi bila mereka tidak berbuat baik orang juga akan katakan orang Gayo tidak baik. Jadi sangat efektif bila mereka yang berada di luar dijadikan sebagai duta dalam mempromosikan Gayo.
Untuk melihat keberadaan orang Gayo di luar wilayah Gayo, secara khusus tentang kehidupan organisasi social Aceh TV melalui acara Keberni Gayo pada Jumâat malam tanggal 6 April 2011, jam 20 s/21 mengundang Augusta Husni (seorang pengamat social) yang selama ini berdomidili di Jakarta sebagai narasumber. Untuk mendapatkan informasi acara dilakukan dengan dialog dan interaktif, tujuan yang diharapkan dari acara ini disamping sebagai informasi juga sebagai bahan perbandingan bagi daerah lain.
B. Pemaparan
Nara sumber memulai penjelasan tentang kata Gayo, bahwa kata Gayo adalah merupakan simbul yang ditempelkan kepada orang yang tinggal di daerah Gayo. Kemudian kata tersebut menjadi institusi yang akhirnya menimbulkan ide yang sangat besar dan luas.
Semakin lama Gayo itu ada semakin banyak inspirasi yang dapat digali baik dari segi  sosial kemasyarakat, budaya, penghidupan ataupun dari panorama alam. Berdasarkan hasil diskusi kelompok terbatas yang diadakan di Jakarta menemukan enam prinsip dasar yang ada pada orang Gayo.
Pertama : Orang Gayo adalah orang pemikir, bukti ini dapat dilihat pada karakter orang Gayo ketika sedang menyendiri ataupun ketika ia lelah dari pekerjaan sehari-hari. Biasanya mereka meletakkan tangan mereka sebagai tumpang dagu di jendela yang panjang âtingkepâ dengan tatapan mata pada pekerjaan yang belum selesai dikerjakan.
Kedua: Tahu diri, ada sebuah ungkapan â engon ulen kenake i jangko tapi sayang galah gere sawahâ. Ungkapan ini mengisyaratkan bahwa orang Gayo punya cita-cita yang tinggi dan cita-cita tersebut sangat ingin untuk digapai, namun sudah menjadi prinsip ketika cita-cita itu tidak tercapai mereka selalu mengembalikan kepada kemampuan yang ada dan tidak henti-hentinya berdoâa. Wujud dari poin kedua ini dapat kita lihat realita yang ada dalam masyarakat kita bahwa semua orang tua bercita-cita agar anaknya dapat bersekolah setinggi-tingginya, walaupun sebenarnya menurut ilmu  ekonomi tidak mungkin, tapi karena selalu diiringi dengan doâa banyak anak mereka yang secara ekonomi susah selesai dari Perguruan Tinggi.
Ketiga : Kerja keras, siklus kehidupan masyarakat Gayo sebagai orang yang selalu bekerja keras, hampir 10 jam waktu digunakan untuk berusaha. Mereka berangkat ke kebun pada jam 7 pagi dengan membawa perbekalan untuk siang dan mereka baru kembali ke rumah pada 5 sore. Dan malah untuk petani sawah jam kerja mereka lebih panjang lagi, karena ada pekerjaan yang harus dikerjakan sejak mulai selesai shalat subuh, serta pada malam harinya ia harus menjaga air biar sawah yang sudah dibajak dan ditanami tidak kering. Di dalam prinsip kerja keras terselip lagi kemandirian, orang Gayo dalam memenuhi alat untuk berkebun dan bersawah sedikit sekali memerlukan bantuan orang lain, sebagai contoh : Untuk membuat gagang cangul mereka cari kayu sendiri dan mereka buat sendiri, untuk membuat parang banyak orang Gayo yang menempa sendiri, membuat alat untuk membongkar tanah (nengel) dan alat penghancur dan pemilah tanah dengan rumput (ceras) mereka buat sendiri. Kemandirian dari segi ekonomi didasarkan pada ungkapan â bier kami legih ke kujema lebih gere kami tatangen pumuâ, prinsip inilah yang dipertahankan sampai saat ini sehingga tidak ada orang Gayo yang hidup dengan peminta-minta.
Keempat : Tau berterima kasih, orang selalu melihat apakah budaya suatu bangsa melakukan sesuatu atau tidak dilihat dari segi bahasa yang digunakan. Ternyata dalam bahasa Gayo ada ucapan terima kasih yaitu âberijinâ, kalau kita bandingkan dengan bahasa Aceh maka mereka tidak menemukan kata terima kasih dalam bahasa mereka. Dalam ungkapan bahasa Gayo menyebutkan âbudi gere malaâ, falsafah dari ungkapan ini adalah apabila seseorang melakukan perbuatan baik pasti mendapat penghargaan dari orang yang diperlakukan secara baik, dan penghargaan yang tidak ternilai harganya adalah ungkapan berijin. Kenapa berijin punya nilai yang tinggi, karena pada dasarnya mereka yang berbuat baik pada orang lain dalam hidupnya tidak pernah berharap pada materi, maka sudah menjadi kewajiban bagi mereka yang menerima kebaikan membalas kebaikan dengan ucapan berijin tersebut.
Kelima : Punya cita-cita yang tinggi, ini dilandasi dengan ungkapan âmuharap penenesen, nguk munuwehi tempeh si luwesâ, makna tersirat dari ungkapan ini adalah walaupun kemampuan terbatas dan penghasilan sedikit tetap punya cita-cita ke depan yang lebih baik, dan dari sini juga tergambar bahwa kehidupan orang Gayo selalu optimis. Karena mereka juga meyakini bahwa kondisi mereka tidak akan menjadi lebih baik kalau tidak diri mereka dan generasi mereka yang memperbaiki.
Keenam : Setia, ini didasarkan pada ungkapan âningkam jangute ni aku rayoheâ itulah cerminan kesetiaan orang Gayo, ketika orang berkorban sedikit dia akan berkorban lebih dari itu.
Setelah mengenal orang Gayo melalui enam prinsip tersebut nara sumber menjelaskan bahwa di Jakarta di mana ia berdomisili selama ini ada dua organisasi orang Gayo yaitu Musga (Musara Gayo) dimana organisasi ini berdirinya sudah lebih lama dan menjalankan program pada kegiatan sinte mate dan sinte murip.
Organisasi kedua adalah Forum Komunikasi Gayo Linge, organisasi ini lebih muda dan programnya juga tidak lagi terfocus pada sinte mate dan sinte murip tetapi sudah merambah kelapangan bisnis dengan membuka rental mobil dengan bekerjasama dengan Yamaha. Sampai waktu terakhir sekarang ini sudah mempekerjakan enam orang anggota Forum di perusahaan Yamaha tersebut
C. Interaktif
Darmin, seorang penelepon yang tinggal di Banda Aceh, menganggap bahwa pembicaraan Gayo di Acara Keberni Gayo selama ini terlalu menyempitkan makna Gayo, karena seolah Gayo itu adalah Aceh Tengah ?
Narasumber dalam menjawab pertanyaan ini menyebutkan bahwa latar belakang munculnya kata Linge dalam organisasi Forum Komunikasi Linge, adalah untuk memunculkan kembali kebersamaan antara wilayah Gayo yang ada. Di samping selama ini hanya punya program pada sinte mate dan sinte murip, maka di coba dikembangkan pada bidang bisnis, pendidikan dan lain-lainnya .
Aman Aini penelepon setia yang berdomisili di Desa Lampulo mempertanyakan tentang hubungan antara masyarakat Jakarta dengan Pemda Aceh Tengah, karena ada kesan dari masyarakat yang ada di Banda Aceh bahwa ketika ada kegiatan diadakan di Jakarta Pemda lebih serius dari pada pagelaran atau acara yang ada di Banda Aceh, sehingga dana yang dikeluarkan juga terkadang jauh berbeda ?
Menurut  narasumber sebenarnya perasaan yang saudara-saudara kami alami di Banda Aceh sama dengan apa yang kami alami, karena itulah diantaranya Forum Gayo Linge itu lahir, mereka berkeinginan satu saat keberadaan forum bisa menjadi kekuatan politik untuk daerah Gayo masa depan. Artinya tidak harus mereka yang ada di Jakarta atau di Banda yang menjadi penguasa di Gayo,  tapi Pemda menerima atau meminta sumbangsih pemikiran dari kita-kita yang ada diperantauan.
Organisasi orang Gayo telah ada di mana-mana provinsi seluruh Indonesia, kenapa kita tidak mencari apa sebenarnya permasalahan mendasar yang ada di Gayo, sehingga hasil komunikasi kita nanti bisa kita sumbangan untuk kamajuan Negeri Linge. Seperti adanya Qanun tentang Lut Tawar yang tidak membenarkan adanya Jendral yang membuat Hotel, karena kata penulis Brazil âBumi cukup untuk kebutuhan umat, tapi tidak cukup untuk ketamakanâ. (Drs. Jamhuri, MA)
@ takengon gayo : it’s right
masalah “budaya GAYO” insya Allah akan tetap eksis cumen siturah jadi pemikirnte adalah hana produk/prestasi si enguk kite tos si kul manfaate ken jema. cube kite pratin jepang, cine, singapur dll. ke i beteh jema kerna ara prestasie. oyaleh siturah kite tetahi, jad nume gerelle pelen. hidup gayoku.