by

Rina Pahlawan dari Lesten

Rina
Rina

MUNGKIN, karena mempunyai pengalaman buruk dengan layanan kesehatan membuat Rina Muliati bertekad untuk menerjuni dunia medis. Saat SMA, orang tuanya sakit keras, tapi di Puskesmas justru dilempar ke sana – sini, “ ujar Perawat Kontrak ini, berusia 29 tahun yang ditemui di Pustu Desa Lesten, Kecamatan Pining beberapa bulan lalu.

Akhirnya, ketika memasuki perguruan tinggi, Rina Muliati memilih jurusan Ilmu Keperawatan. Jalur ini pulalah yang kini mengantarkan perempuan sedikit agak gemuk itu, sebagai salah satu Tenaga Medis yang berada di Daerah Terpencil yakni Lesten.

Bagi masyarakat Gayo Lues, yang mendengar kata Lesten, memang sedikit agak merinding bulu kudu, nama Lesten bukan karena adanya terror dari Hantu, atau dukun Santet di daerah itu, namun perjalanan ke Desa Lesten yang serba ekstrim menembus hutan belantara, berjalan kesana penuh dengan tantangan dan semua resiko yang ada, mulai dari jalan rusak dan berlumpur sampai ke binatang buas yang sering kepergok di sepanjang jalan.

Jarak jauh Desa Lesten dengan ibu kota Kecamatan Pining, sekira 18 kilometer, dengan perjalanan membelah hutan belantara, jumlah warga di Desa Lesten diperkirakan 70 KK, harga barang kebutuhan pokok di Desa tersebut, tidak sama dengan desa lain, itu semua karena akses transportasi yang belum layak.

Bagi, Rina Muliati, sesungguhnya seorang pahlawan bukan hanya orang yang membela negara dengan mengangkat senjata. Seseorang yang membaktikan diri pada kepentingan orang banyak juga layak disebut pahlawan. Di alam Indonesia yang merdeka ini, nyatanya masih ada segelintir pahlawan yang tengah berjuang.

Sehari-hari ia berkantor di Rumah sendiri, karena Pustu yang telah dibangun pada tahun 2012 itu, sudah tidak layak huni lagi. Saat pertama kali menginjakkan kakinya di sana, kualitas penanganan kesehatan penduduk sangat memprihatinkan. Jangankan dokter, bidan pun tak ada. Kenyataan itu membuat Rina harus berperan ganda sebagai perawat, bidan, bahkan dokter. Sebagai seorang petugas medis yang baik, ia selalu siap mengabdi di mana dan kapan pun. Gemerlap kota dengan segala fasilitasnya tak sedikit pun membuat Rina Muliati tergoda.

Ia akan lebih merasa berarti sebagai seorang manusia bila dapat membantu lebih banyak orang, terlebih mereka yang tak berdaya. “Jika saya bertugas di darat atau di kota, mungkin saja tenaga dan keahlian saya tidak banyak dibutuhkan masyarakat karena di sana banyak tenaga medis yang ahlis super profesional. Oleh karena itu, saya ingin tetap bertugas di Lesten,” ujarnya.

Di masa awal pengabdiannya, Rina sempat mengalami sedikit kesulitan. Dalam masyarakat yang tinggal di daerah yang belum tersentuh pembangunan, arus informasi menjadi terhambat sehingga menjadikan pola pikir mereka tertinggal jauh dengan masyarakat di perkotaan. Hal ini berdampak pada urusan kesehatan dimana sebagian besar dari mereka lebih mempercayai dukun, bahkan untuk menangani persalinan sekalipun. Kenyataan itu yang membuat Rina kerap kali mengalami penolakan. Meski demikian, penolakan para penduduk tak serta merta mematahkan semangatnya.

Dengan penuh kesabaran, ia terus memperkenalkan diri sambil memberikan pengertian kepada masyarakat. Kesabaran itu pun akhirnya berbuah manis, masyarakat mulai sadar pentingnya pengobatan medis. Seiring diperolehnya kepercayaan masyarakat, tugas Rina yang tak kenal waktu mengharuskannya siaga 24 jam. Dalam menangani pasiennya, Rina selalu berupaya semaksimal mungkin. Bahkan jika memang benar-benar diperlukan, ia rela menginap selama berhari-hari di rumah pasiennya. “Karena bagi saya tidak ada artinya saya datang jauh-jauh kalau tidak ada hasilnya,” katanya.

Empat tahun menjadi seorang perawat, membuatnya ‘akrab’ dengan berbagai penyakit. Mulai dari penyakit kulit ringan hingga penyakit dalam yang kronis. Medan yang sulit menjadikan Rina sebagai satu sosok perawat luar biasa. Tangisan pilu dari bayi penderita gizi buruk, derita orang sekarat yang tengah meregang nyawa, rintihan para penderita TBC, serangan kesakitan dari pasien patah tulang, Kusta hingga jerit histeris dari para ibu yang tengah berjuang melahirkan bayinya merupakan hal lumrah yang kerap mewarnai hari-hari Rina.

“ Sekarang obat Kusta dan TB sangat minim stok disini, saya berharap ada perhatian Pemkab dengan obat-obatan agar diperioritaskan di Desa Lesten, apalagi saya bertugas di Desa Pedalaman hutan belantara, bahkan mobiler seperti sarana meja dan tempat tidur pasien pun kami tidak punya, “ harapnya.

 

Sumber: Insertgalus.com

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

News