Surat Untuk Bapak

Oleh : Subhan Gayo

Alhamdulillah. Salawat dan Salam untuk Baginda Rasulullah Muhammad SAW.

Semoga Allah melimpahkan ampunan, rahmat dan kemuliaan untukmu, Bapakku.

Kutuangkan tulisan ini agar terlepaslah sedikit kekangan rasa rindu padamu. Meskipun kutahu kau tidaklah mungkin membacanya lagi seperti yang kau lakukan dulu saat menerima beratus-ratus surat tentang perantauanku. Ini adalah cara mengenang dan menghormatimu yang sering memintaku untuk menuliskan gagasan dan ide yang kupunya. Bukan untuk membuatnya abadi, tetapi agar orang lain bisa mengambil manfaat darinya.

Masih kuingat di semua surat balasanmu yang tertulis rapi, hampir tidak pernah kau kisahkan cerita duka dan kesulitan-kesulitan yang kau hadapi bersama Emak. Suratmu lebih banyak berkisah bahwa kalian baik-baik saja di kampung. Dengan bahasa yang singkat dan padat, salah satu ciri khasmu yang kukenal, keluhan tentang kehidupan entah kau sembunyikan di mana. Isi suratmu lebih banyak mementingkan hal lain. Yaitu aku, anakmu.

Ketika menyusun kalimat-kalimat ini, kukenang kembali semua hal tentangmu. Tentang masa kecilmu yang telah yatim piatu. Belum banyak yang kau pahami ketika suatu hari buntalan berisi pakaian Kakek saja yang kembali dari Mekah setelah berbulan-bulan menantikan kepulangannya. Tangisan Nenek-lah yang menyadarkanmu bahwa selanjutnya tidak perlu lagi mengharapkan Kakek, yaitu ayahmu, kembali untuk selamanya.

Hidup mesti dijalani. Rikit Gaib dan Bujang Simpang Tiga Redelong membentukmu menjadi seorang pejuang kehidupan. Lalu betapa akhirnya Nenek juga berpulang ke rahmat Allah setelah banyak kesempatan kau abaikan permintaannya padamu sekedar untuk memijat kakinya yang sudah sering sakit-sakitan. Betapa itu akhirnya menjadi penyesalan yang tidak berkesudahan sampai ajal datang menjemputmu. Di saat-saat kau kisahkan ulang berkali-kali kepada kami anak-anakmu, luruhlah semua kegagahanmu, berganti dengan kesedihan menyayat perasaan. Enti ulangiko, anakku (jangan kau ulangi, anakku). Gere dis. Gere dis, anakku (Tidak sama. Tidak sama, anakku).

Ya. Manalah mungkin akan sama ketika orang yang menyayangi dan disayangi telah tiada dibandingkan dengan saat orang itu masih ada. Lapar, sepi, takut, bimbang, dan segala kesulitan kau hadapi sendiri. Siapa yang bisa menggantikan kasih sayang seorang ibu dan ayah?

Bulan berganti tahun dalam keterbatasan telah membentukmu menjadi anak yang lebih cepat dewasa. Allah memeliharamu dengan membuka pintu belas kasih sayang orang lain terhadapmu. Menurutmu, meskipun tetap berat menjalaninya, namun kau merasa betapa beruntungnya dirimu. Segala kesulitan selalu bertepi, katamu. Akan ada akhirnya. Aku tahu kata-katamu itu bukan sekedar untuk menghibur di saat gundahku. Tapi kau telah membuktikannyan di banyak waktu yang dititipkan Allah padamu.

Engkau seperti burung. Berkelana mengikuti tiupan angin. Atau menerjang badai untuk kehormatan yang kau kira akan dapat kau raih. Belanda tidak cukup kuat mematahkan semangatmu. Jepang menjadi kapalmu berkelana ke sebuah negeri yang tidak ada dalam mimpi dan anganmu. Kemudian, sebuah rencana yang tidak kau pahami semakin berantakan ketika sebuah terpedo tentara sekutu memporak porandakan kapalmu di selat Bali.

Allah-lah yang mengizinkanmu tetap hidup setelah terkatung-katung di laut bermalam-malam lamanya dengan sisa-sisa pecahan kapal itu. Bali, Bima, Kupang dan Alor adalah negeri-negeri yang akhirnya menjadi bagian hidup dalam keterkatunganmu. Dan semua itu adalah rencana dari Zat Yang Maha Berkuasa atas segala sesuatu. Bahwa seluruh perjalanan itu mempertemukanmu kepada belahan jiwamu, Emak.

Wahai Bapakku, menjelang kepergianmu untuk selamanya, banyak sekali kau kisahkan tentang dirimu. Berulang-ulang. Dengan detil yang mengagumkanku. Cerita yang sama. Berpadu dengan munculnya lupa di usia senjamu, aku merasa perulangan yang kau sampaikan itu seolah ingin mengatakan bahwa waktumu sudah tak banyak lagi. Seolah kau kawatir bahwa aku belum cukup memahamimu.

Sungguh kukatakan, sebenarnyalah aku telah cukup hapal dengan kisah-kisahmu itu. Tapi entah mengapa aku merasa saat itu adalah giliranku untuk mendengarkanmu. Mencoba memahami perasaanmu. Mencoba memaknai detik-detik kebersamaan kita sedalam-dalamnya. Seperti yang kau lakukan saat mendengarkan dan menjawab dengan sabar semua pertanyaan berulang kami di masa kanak-kanak. Karena pada akhirnya, tidak akan ada yang sebanding dengan kebersamaa itu. Tidak akan pernah sama.

Betapa beruntungnya aku, Pak. Aku dan rumah sewa di Lampineung itu jadi saksi bahwa sesungguhnya engkau adalah orang yang periang. Penuh canda. Sampai-sampai Emak tertawa mengeluarkan air mata saat kau ceritakan ulang bagaimana kisah asmaramu dengan Emak di Alor sana. Tentang tarian Leso-leso yang menjadi salah satu momen penting penyatuan hati kalian berdua. Betapa kocaknya engkau waktu itu, tatkala mencoba memamerkan gerakan tari kenangan kalian itu saat tubuh tuamu telah kurus dan kaku. Jari kelingking bergandengan dengan kelingking, ulasmu. Lalu melangkah maju dan mundur mengikuti irama yang kau tidak ingat lagi lantunannya. Bagiku kau bukan sekedar ingin memperlihatkannya kepada kami, tapi kau ingin ungkapkan ulang rasa cintamu kepada perempuan hebatmu itu, Emak. Perempuan yang tak bertepi cintanya padamu.

Dan aku merasa bahwa kau telah membuat sebuah kegilaan dalam hidupmu. Apa yang kau fikirkan saat membuat keputusan tentang masa depanmu dan Emak? Tentang dahsyatnya keputusanmu membawa Emak merantau ke luar dari Alor pada hari ketiga pernikahan kalian? Yang akhirnya itu telah menjadi awal perjalanan panjang nyaris tak kembali bagi Emak. Butuh lima puluh tahun kemudian bagi Emak untuk sekedar menjenguk rumah tempat kelahirannya setelah kau boyong ke tanah Gayo itu.

Duh Bapak, kau memang seorang laki-laki tak sempurna yang dicintai dengan sempurna oleh perempuan Alor itu. Hanya cinta Emak kepadamu-lah yang membuat lima puluh tahun itu bukan apa-apa baginya. Apa pernah kau duga, sepeninggalmu, Emak seperti kehilangan separuh jiwanya? Apa kau tahu, Emak pernah mengatakan bila sudah tiba saatnya, dia ingin dikuburkan di samping pusaramu? Apa pernah kau bayangkan bahwa dua belas anak-anaknya tidak cukup kuat mengusir duka dan sepi yang timbul karena kepergianmu? Apa kau tahu, dirimu sehebat itu?

Bapakku, kau adalah laki-laki yang sederhana. Dengan pensiunan yang tak seberapa kau jalani hidup apa adanya. Ringan seperti kapas. Bagimu yang terpenting adalah bagaimana menyekolahkan dua belas anak-anakmu. Agar berilmu dan memiliki akhlak yang tinggi. Nyatanya semua anak-anakmu sekolah minimal SMA sampai universitas. Dengan uang pas-pasan itu kau berjuang memenuhi kewajibanmu. Katamu kau punya senjata rahasia. Senjata pamungkas yang selalu kau andalkan saat semua masalah datang menerpa. Malam, ketika semua kami anak-anakmu tertidur pulas, kau bangun dari tidur mengadu dan menghiba di hadapan Yang Maha Kaya dan Penyayang. Agar memudahkanmu menjemput rezeki untuk nafkah dan pendidikan kami. Esoknya pintu-pintu rumah dan hati orang-orang berada terbuka untukmu. Kau selalu yakin, segala sesuatu milik Allah, termasuk masalah. Maka biarkan Allah saja yang menyelesaikannya.

Pada akhirnya, sekolah kamipun kau selesaikan dengan kebanggaan dan suka cita. Seperti baru kemarin saja kau katakan kepada kami sesering yang kau bisa “ Bapak takkan mampu meninggalkan warisan harta, anakku. Tuntutlah ilmu.”

Benar saja. Satu-satunya peninggalanmu adalah rumah kayu tua itu. Rumah yang telah puluhan tahun memberikan kehangatan dan perlindungan dari sengatan panas dan dingin bagi isteri dan anak-anakmu. Rumah yang selalu hangat dengan kehadiranmu dan Emak. Rumah tempat aku benar-benar merasa pulang, menangis dan tertawa, tempat kami berkumpul dan menemukan ketenangan.

Bapak, ini beberapa hari setelah 1 Syawal 1433 H. Setahun lebih sedikit setelah kau menghadap Ilahi. Kali ini aku tidak pulang seperti biasanya. Engkau pasti maklum bahwa tahun ini adalah milik mertuaku. Aku akan bercerita tentang rumah kita di kampung. Tentang suasana hari Idul Fitri yang biasanya syahdu. Saat-saat yang biasanya dirindu.

Kali ini, seperti katamu, tidaklah sama. Tidaklah sama antara saat dirimu masih ada dengan saat setelah kepergianmu. Lebih-lebih ketika Emak pun telah menyusulmu. Kami telah berserak tanpa simpul pengikat. Pecah seperti pengungsi yang bingung harus pergi kemana. Rumah kita, peninggalanmu untuk kami, sepi tidak terkatakan. Anakmu yang janda itulah yang kini tinggal di rumah itu. Hanya berdua dengan cucu perempuanmu.

Rumah itu dirawatnya seperti saat kau masih di sana. Kutahu bahwa lebaran kali inipun dia telah mempersiapkan segala sesuatu layaknya lebaran-lebaran sebelumnya. Suasana rumah telah bersih dan rapi dari segala hal yang tidak pantas. Kue-kue kesukaanmu dan Emak telah disiapkannya sebisa yang dia mampu. Termasuk lontong sayur , santapan yang biasa disajikannya saat semua anak-anakmu berkumpul ba’da shalat id dan mengerubungimu untuk memohon maaf atas segala khilaf dan salah, telah disiapkannya dalam jumlah yang banyak. Dibayangkannya cukuplah untuk anak, menantu, cucu dan cicitmu yang bakal hadir. Mirip seperti tahun-tahun lalu. Meskipun dia tahu pasti tidaklah sama. Tapi kali ini dia ingin memaksakan diri. Karena dia yakin, meskipun tanpamu, rumah itu bakal ramai dan hangat lagi dengan kehadiran seluruh saudaranya. Paling tidak di satu hari itu saja. Bahkan satu jam saja. Dengan begitu terobatilah kesedihannya.

Pak, ba’da Shalat Ied yang dinanti-nanti itu akhirnya datang juga. Anak dan cucumu yang di kampung berduyun-duyun ke pusaramu, Emak dan Kak Rahma. Berdoa. Lalu semua hal yang tidak biasa akhirnya terjadi. Semua kembali ke rumah masing-masing.

Tidak ada kehangatan dan celoteh di rumah peninggalanmu. Jam demi jam berlalu begitu saja. Anakmu yang janda itu bolak balik menatap ke arah pintu rumah, berharap kedatangan saudara-saudaranya yang tinggalnya tidaklah jauh dari rumah itu. Berkali-kali dia bertanya apakah hp ditangannya rusak, mengapa tidak ada satupun yang memberi kabar melalui telepon itu sejak tadi? Berkali-kali pula dia keluar rumah menatap keberbagai arah, dia masih berharap abang dan kakaknya akan hadir. Bukan untuknya saja. Tapi juga untuk menjaga kasih sayang dan kenangan tentangmu dan Emak. Untuk menghangatkan kembali rumah itu.

Penantiannya ternyata tetap sia-sia. Haripun beranjak sore. Kuah lontong sudah menjadi dingin. Gelas-gelas minuman masih bersih ditempatnya. Kue-kue hari raya belum tersentuh. Bayangan tentang kehangatan dan kebersamaan itu sirna pelan-pelan. Toh memang tidak ada satupun yang datang.

Bapakku, anakmu yang janda itu akhirnya tersadar bahwa dia terlalu banyak berharap. Lontong itu dimakannya sendiri bersama anaknya dan keluarga adiknya yang datang dari Banda Aceh. Diteguknya minuman campuran sirup cap patung kesukaanmu. Dia tertawa berderai. Namun air matanya berlinang-linang. Sederas hujan. Entah apa yang ada di dalam fikirannya. Dipandanginya makanan yang bertumpuk itu dan ruang tamu bercat orange yang lengang. Sejak awal harusnya dia maklum, rumah itu sudah kehilangan daya tariknya. Pemilik sebenarnya sudah tidak di sini lagi. Sudah semestinya kakakku itu membiasakan diri dengan keadaan ini.

Bapak, dua Syawal adalah hari yang kelabu untuk rumah itu. Setahun yang lalu anak perempuanmu yang keempat menyusul kepergianmu setelah sekian lama didera kanker yang tak terobati. Sepuluh hari setelahnya, Emak pun meninggalkan dunia ini.  Lengkaplah sudah awan duka menyelimuti keluarga kita.  Syawal yang sebelumnya selalu penuh keceriaan, sejak itu seperti digayuti oleh kenangan kesedihan.

Anakmu yang janda itu melewati hari-harinya dengan kenangan yang tak mau pergi. Kenangan yang melekat di setiap sudut rumah itu. Dapat kufahami perasaannya. Betapa dia sangat membutuhkan kehadiran saudara-saudaranya untuk melewati Syawal ini. Syawal yang masih membekas bayang-bayang kehadiranmu, Emak dan Kak Rahma di kursi sofa ruang tamu itu. Tapi apa hendak dikata, keinginan tidaklah selalu sama dengan kenyataan. Seberat apapun kenyataan harus dihadapi. Itulah yang akan menjadikan kita akan terbiasa dengan keadaan ini.

Seperti juga denganku yang juga tengah berlatih untuk tetap melihat hal-hal baik atas semua yang terjadi. Agar hati lebih tenteram menerimanya.

Bapak, kuakhiri surat ini dengan doa terbaik untuk kita semua. Semoga Allah mengampuni segala dosa dan kesalahan yang kita perbuat. Semoga Allah memasukkan kita ke dalam jamaah ahli surga. Amin.

Pangkal Pinang, 28 Agustus 2012

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.