Oleh :Husnul Khatimah*
Kobe, kota yang luluh lantak pada tahun 1995 akibat gempa bumi dengan SR 7,3 sungguh funtastic perubahan yang terjadi selama 20 tahun ini tanpa terkecuali. Bangunan yang tinggi disusuri dengan kesungguhan dalam melangkah melewati lorong-lorong kecil hingga akhirnya tiba di sebuah bangunan yang bertuliskan KOBE MUSLIM MOSQUE. Hati senang tak terkira melihat bangunan tersebut rasa ingin berteriak bahwa menemukan mata air di tengah padang pasir.
Semua rasanya sudah di atur, sampai disana tiba waktu dzuhur sembari menyempatkan diri untuk shalat disana, SUBHANALLAH kata terucap dari mulut melihat bangunan yang berdiri tegak sebagai rumah ALLAH saat melangkah masuk ke dalamnya. Musim dingin tidak membuat saya untuk bermalas-malasan berwudhu. IQAMAH oleh salah seorang teman laki-laki semakin membuat hati tidak ingin beranjak dari bangunan itu. Bangunan tua tingkat dua yang tepat berada di tepi gunung membuat udara di dalamnya semakin sejuk. Ruangan yang bersih, tulisan kaligrafi yang indah menghiasi dinding dalam kubah membuat kami seolah-olah berada di Surga kecil di bumi Jepang. Dikelilingi pohon-pohon kecil membuat Kobe Muslim Mosque tampak indah dari luar dan sejuk di pandang mata. Sampai seorang yang dapat dikatakan ilmuan jurusan arsitek Jepang sebut saja Sense Tanigawa dan Akihiro bertanya apakah nama bangunan tinggi ini sambil menunjuk ke arah menara kubah mesjid, untuk mengobati rasa penasarannya mereka meminta izin masuk dan keluar dengan rasa takjub sertaterkagum-kagum dengan keindahannya. Hingga akhirnya mereka menunjukkan selembar kertas yang berisikan gambar mesjid yang dilukis dalam waktu lima menit.
Berat rasanya meninggalkan mesjid tersebut lantaran berpikiran entah kapan bisa melaksanakan shalat disini lagi. Kekaguman yang tak terkira apakah karena kami telah terbiasa mendengarkan adzan di bumi Aceh bersahut-sahutan apabila tiba waktunya, namun di Jepang lantunan suara adzan tidak pernah terdengar terkecuali setting melalui handphone. Sangat bangga bertemu dengan orang-orang muslim dari penjuru negara di tempat tersebut, Indonesia, Arab, Palestina, dan lain-lain. Siapa yang datang berkunjung kesana disediakan buku tamu yang berisikan nama, asal negara, serta kesan dan pesan terhadap mesjid yang indah tersebut dan itu seolah-olah siapa pun yang berkunjung ke Negeri Sakura harus menyempatkan diri untuk mengunjungi surga kecil di Kobe. Tapi ingat surga kecil itu bukan tempat pariwisata walaupun banyak yang datang tutur ustadz yang menjaga mesjid. Tepat berada di depan mesjid terdapat empat bangunan persegi yang menjual makanan dengan lebel halal seluruhnya tanpa terkecuali serta tidak ada keraguan untuk memakannya hanya saja tergantung selera, sapaan “Assalamualaikum” yang disertai dengan senyuman dari para penjaga toko kepada masyarakat muslim yang melintasi tokonya walaupun tidak harus membeli. Walaupun toko muslim tidak menutup kemungkinan juga untuk masyarakat non muslim untuk berbelanja disana.
Sungguh tinggi rasa saling menghormati penduduk setempat dengan penduduk muslim yang jumlahnya dapat dihitung di daerah itu, kepercayaan yang masing-masing mereka anut mengajarkan mereka untuk saling menjaga antara satu sama lain. Bahkan field trip ke Jepang dalam rangka memperingati gempa Kobe dengan agenda yang padat luar biasa telah dibuat oleh CIAS selama kami Jepang, masih memberikan kesempatan mengajak kami untuk mengunjungi Surga kecil di Kobe tersebut. Seorang ustadz menyatakan bahwa apabila sedang dikumandangkan adzan maka penduduk non muslim di daerah sini khususnya sangat menghargai kami, bila sedang adzan kebetulan mereka lewat di depan mesjid mereka tidak berbicara, begitu juga dengan tetangga kanan kiri depan belakang yang sunyi senyap dalam waktu 10 menit tersebut, seolah-olah mesjid ini berada jauh dari keramaian sehingga tak terdengar bunyi apapun. Sangat terharu mendengar kisah itu, dan sungguh luar biasa betapa dihormatinya muslim disana. Nah, bagaimana dengan kita yang dilahirkan sampai dikuburkan berada di bumi Serambi Mekkah ini yang mayoritas muslim terkadang masih islam KTP saja. Wallahua’lambissawwab.
Setebal lapisan kulit bawang kisah yang dapat saya ceritakan dari Negeri Sakura sebagai wahana pengalaman hidup yang dapat bermakna. Perbedaan bukan merupakan dinding yang tinggi sebagai pemisah melainkan untuk di tembus secara bersama. Semoga dapat mensyukuri apa yang diperoleh.
Husnul Khatimah (Ema) alumni Madrasah Aliyah Negeri 1 Takengon dari KOBE, Jepang. Semoga dapat mengambil makna yang positif dan bermanfaat.
Mahasiswa Magister Ilmu Kebencanaan Universitas Syiah Kuala*