Pemilukada merupakan salahsatu sarana demokrasi yang berjalan secara demokratis,karena adanya pelibatan yang massive dari elemen pemegang kedaulatan negara; yaitu rakyat. Tanpa pelibatan yang massive dari rakyat, tentunya pemilukada menjadi “sepi” dari hingar bingar bertemunya harapan dan kenyataan, Menjadi jauh dari janji kampanye dan implementasi janji dalam bentuk program prioritas yang terukur dan layak uji.
Rakyat sebagai pemegang kedaulatan dalam negara demokrasi, adalah kunci. Berubah atau tidaknya sebuah kawasan,salahsatunya ditentukan dari proses suksesi kepemimpinan yang dilaksanakan. Manakala proses suksesi(pemilihan) berlangsung dengan baik,tentu layak untuk kita berharap akan lahirnya kepemimpinan yang sensitif dan responsif terhadap kebutuhan dan keinginan rakyat.
Harapan dan keinginan kita akan terlaksana-nya proses demokrasi yang demokratis dalam pemilukada, secara gamblang terjawab dalam UU No.11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh,atau sering kita sebut UUPA.
Sejatinya, Bila dibandingkan dengan UU No.8 Tahun 2015 Tentang Pemilu Gubernur dan wakil gubernur Bupati dan wakil Bupati, UUPA memberi ruang yang lebih terbuka akan terjadinya sebuah proses pemilukada yang demokratis. Hal ini tersirat dalam hal persyaratan peserta yang begitu mengakomodir baik dari Unsur Parpol,maupun dari Jalur Perseorangan (Independen) dengan syarat yang jauh lebih ringan daripada UU No.8 Tahun 2015.
Minimal 3 % dukungan rakyat dalam bentuk KTP dari total jumlah penduduk, adalah syarat Untuk Pasangan Calon dari Unsur Perseorangan. Hal ini tercantum ringkas dalam UUPA Pasal 68 Angka (1). Sementara syarat yang cukup berat justru tercantum dalam UU No 8 Tahun 2015, untuk jalur yang sama, jalur perseorangan, yaitu 10%, yang tercantum dalam Pasal 41 angka (2) huruf a.
Hal yang sama juga terkait pasangan Calon Gub/wagub dan Bupati/wakil Bupati, dari Unsur Parpol. UU PA lebih memberi syarat yang ringan, Yaitu 15 % dukungan kursi di DPRA/DPRK atau 15 % suara syah partai pada pemilu sebelumnya,seperti tercantum tegas pada pasal 91 UUPA. Sementara UU No 8 tahun 2015 mensyaratkan dukungan 20% dukungan kursi di DPRD atau 25% akumulasi suara syah pada pileg sebelumnya.
Kemudian terkait anggota DPR (DPRRI,DPD RI,DPRA,DPRK), UUPA tidak mewajibakan kepada para legislator dan senator tersebut untuk berhenti dari jabatanya manakala telah ditetapkan sebagai pasangan Calon Gub/wagub atau Bupati/wakil bupati, melainkan hanya cukup tidak aktif dari jabatannya bagi Pimpinan Dewan, dan cukup Memberitahukan pada pimpinan Dewan bagi anggota dewan. Juga bagi TNI,POLRI dan PNS juga tidak ada kewajiban untuk berhenti dari institusi masing-masing, melainkan cukup mundur dari jabatannya. Dibandingkan dengan UU No 8 Tahun 2015 dan juga putusan MK terkait hal itu, tentu UUPA jauh lebih demokratis dan membuka ruang bagi proses demokratisasi dan partisipasi yang maksimal dari rakyat.
Bersambung……