Mendesak Penataan Ruang Berbasis Bencana

TATA RUANG SEBAGAI BLUE PRINT PEMBANGUNAN
Penataan ruang terhadap wilayah merupakan suatu keharusan jika ingin mendapatkan suasana/kondisi wilayah yang aman, nyaman dan berkelanjutan untuk didiami oleh manusia. Sebagai wujud perwakilan Negara untuk rakyatnya maka pemerintah wajib melaksanakan seluruh amanah Negara yang termaktub dalam undang-undang dasar guna melindungi segenap kehidupan bangsa Indonesia, dan penataan ruang merupakan salah satu bentuk implementasinya.

Sepanjang kemerdekaan Indonesia belum seluruhnya memiliki penataan ruang yang baik, karena seluruh wilayah provinsi masih ditemukan konflik ruang dan bencana. Apakah hal ini menjadi ukuran bahwa pemerintah Indonesia belum mampu menyusun tata ruang.? Atau menjadi catatan bagi masyarakat bahwa pemerintah tidak pernah serius memberikan pelayanan kehidupan bagi bangsa Indonesia.?
Sebagai indicator yang sangat mudah bagi kita semua untuk mengukur regulasi tata ruang adalah dengan melihat bencana dan kenyamanan masyarakat, apabila suasana atau kondisi kehidupan masyarakat masih belum nyaman terhadap fisik lingkungannya maka dapat dipastikan tata ruang bermasalah.

Aceh sebagai sebuah provinsi di Negara Indonesia juga tak luput dari “try and error” nya sebuah regulasi tata ruang, dapat kita rasakan akibatnya bagaimana di era orde baru yang telah menata ruang Aceh melalui regulasi kehutanan sehingga banyak izin HPH bertebaran dan praktek-praktek pengelolaan lingkungan yang jauh dari kata sustainable akibatnya sampai dengan saat ini provinsi Aceh senantiasa menuai bencana regular baik itu banjir maupun longsor.

Pemerintah Aceh seharusnya mampu belajar dari pengalaman yang sudah banyak dilampaui oleh masyarakat Aceh, dari waktu ke waktu telah banyak korban yang diderita oleh masyarakat terutama di sekitar area potensial bencana banjir dan longsor, bahkan belakangan ini kekeringan juga sudah menjadi momok tersendiri bagi sebagian masyarakat Aceh karena mempengaruhi secara hebat terhadap kehidupan yang sangat jauh dari kata nyaman.

Banyak catatan bencana yang telah dipublikasi oleh lembaga CSO di Aceh yang diikuti oleh analisa kritis lingkungan tentang tata ruang sebagai salah satu regulasi yang harus bertanggung gugat dan bertanggung jawab terhadap segala dampak pembangunan yang diderita oleh rakyat.
Sungguh kehidupan miris telah dihadapi oleh masyarakat Aceh di tengah tekanan ekonomi nasional dan global yang tidak kunjung membaik juga harus menghadapi bencana alam yang membayangi di setiap musim kemarau dan penghujan.

Dalam konteks bencana alam yang terjadi di Indonesia kita mengenal dengan apa yang disebut pengurangan resiko bencana Hyogo Framework for Action (HFA; Kerangka Aksi Hyogo), yang diputuskan pada Konferensi Pengurangan Resiko Bencana Dunia di Kobe pada tahun 2005, mengamanatkan perencanaan guna lahan (land use planning) atau perencanaan tata ruang sebagai salah satu alat untuk pengurangan resiko bencana (UNISDR, 2005 #340). Peran perencanaan tata ruang dalam pengurangan resiko bencana telah banyak diusulkan dalam praktik perencanaan baik di negara-negara maju maupun negara-negara berkembang

Sementara itu jauh sebelum HFA disepakati sebagai sebuah kerangka kerja, Burby dan French (1981) menyebutkan bahwa peran perencanaan tata ruang adalah untuk pembatasan pembangunan di daerah-daerah yang rawan terhadap bahaya yang terkait dengan alam.

Hal ini termasuk dengan pembatasan pembangunan di daerah rawan banjir dan pembuatan kode bangunan (building code) untuk daerah-daerah yang rawan terhadap bencana gempa bumi dan tsunami. Dampak dari pembatasan pembangunan di daerah-daerah yang berbahaya akan meminimalisir potensi paparan (exposure), pengurangan terhadap kerugian jiwa serta kerusakan harta benda di daerah-daerah berbahaya.

Pembangunan yang tidak mengindahkan aspek kebencanaan akan dapat berakibat pada besarnya resiko bencana yang timbul, seperti pembangunan permukiman dan lokasi pariwisata yang berada di sepanjang pantai berpotensi terkena dampak tsunami. Sebagai contoh, dampak sangat besar dari tsunami Aceh pada Desember 2004, banjir bandang Aceh Tamiang, banjir banda di Bener Meriah, longsor di Aceh Tengah, banjir di Aceh Selatan-Aceh Barat-Abdya-Aceh Timur-Aceh Utara-Aceh Pidie-Pidie Jaya dan Nagan Raya.

BELAJAR DARI PENGALAMAN BENCANA
Dalam rentetan tahun 2004 sampai dengan tahun 2015 (sekarang) puluhan bahkan ratusan pengalaman bencana sudah dialami oleh Aceh, mulai dari kerugian materi harta benda, kehilangan pekerjaan bahkan kehilangan nyawa sudah dilalui oleh masyarakat.

Kerusakan dan kehilangan infrastruktur juga menjadi salah satu momok pembangunan yang akan menguras banyak energy, dukungan dana yang besar menjadi alokasi rutin bagi penanggulangan bencana oleh pemerintah dan ini berdampak pada minimnya lokasi anggaran untuk pembangunan sumber daya manusia dan peningkatan kualitas hidup masyarakat.

Koalisi Peduli Hutan Aceh (KPHA) dari beberapa waktu lalu sampai dengan sekarang terus menyuarakan tentang pentingnya perencanaan tata ruang yang baik, membuka ruang partisipasi public dan memberikan pemahaman tentang penataan ruang kepada masyarakat (edukasi) agar rakyat Aceh menjadi bangsa yang siap, baik dalam menyambut keterbukaan ekonomi asean (MEA), mengelola sumber daya alam dan mempersiapkan sumberdaya manusia yang arif bijaksana agar Aceh memiliki pembangunan yang berkelanjutan.

Aroma “kongkalikong” penyusunan RTRW Aceh menjadi salah satu preseden buruk bagi pemerintah yang “reformasi”, ketika saluran aspirasi public dan CSO hanya menjadi sekedar “nyamoek luwa keuleumbu” sedangkan pemerintah tetap kukuh dengan tidak merubah substansi dan system penyusunan RTRW, hal ini dapat kita lihat dalam perubahan fungsi dan peruntukan kawasan hutan yang tidak melibatkan masyarakat sekitar kawasan hutan dan perubahan tersebut cenderung hanya untuk mengakomodir kepentingan perusahaan.

REVISI QANUN 19 TAHUN 2013 TENTANG TATA RUANG
Sebagian besar alokasi pemerintah Indonesia dalam menghadapi bencana adalah dengan penguatan organisasi dan kapasitas yang terkait dengan fase tanggap darurat atau respon ketika bencana terjadi. Pola dan mekanisme manajemen bencana sampai dengan tahun ini (2015) belum benar – benar mendapatkan tempat sebagai instrumen penting dengan fungsi-fungsi pencegahan terhadap bencana dalam pembangunan.

Perencanaan tata ruang sebagai suatu bentuk intervensi pembangunan yang multidimensi memungkinkan berbagai bentuk kegiatan mitigasi resiko bencana untuk diintegrasikan, baik yang bersifat fisik (struktural) maupun non fisik (non struktural). Dalam menentukan bentuk kegiatan mitigasi yang akan digunakan akan bergantung kepada jenis bencana dan tujuan kegiatan tersebut. Godschalk (1991) dalam (Kaiser, 1995) memberikan gambaran jenis kegiatan mitigasi dan tujuan yang dapat diraih oleh kegiatan tersebut, hal ini memerlukan keterampilan kajian resiko bencana sehingga pilihan intervensi menjadi sesuai.

Hal ini sejalan dengan fungsi implementasi perencanaan penggunaan rencana tata guna lahan untuk manajemen ekosistem yang dapat dilakukan melalui pemutakhiran data, pemetaan data kepemilikan atas lahan, analisis dampak terhadap manusia, tujuan penggunaan lahan; kajian terhadap kebutuhan kebijakan terdiri atas mekanisme insentif, akuisisi lahan, dan kebijakan lainnya.

Pasca keputusan MA tahun 2015 atas gugatan Walhi Aceh terhadap qanun 19 tahun 2013 tentang RTRW Aceh dimana menolak gugatan yang diajukan Walhi sehingga qanun tersebut tidak dibatalkan, kemudian atas desakan dari CSO dan elemen masyarakat lainnya DPR Aceh memasukan qanun tersebut dalam daftar revisi, namun sayangnya tidak masuk dalam daftar prioritas revisi di tahun 2015.

Sebagai blue print pembangunan, RTRW seharusnya menjadi “kitab suci” dalam membangun kawasan/wilayah. Tidak masuknya qanun RTRW Aceh dalam daftar revisi prioritas menunjukkan DPRA tidak memiliki sense of crisis terhadap implikasi sebuah regulasi yang vital terhadap masyarakat Aceh sehingga bangsa Aceh akan terus menerus dan selamanya didera bencana alam.

Pemerintah Aceh harus menanggung malu berkepanjangan apabila tetap membiarkan tata ruang yang tidak memiliki perspektif bencana karena akan dicatat dalam sejarah sebagai sebuah bangsa yang tidak pernah belajar dari pengalaman, wallahu’alam.

Banda Aceh, 16 September 2015
Koalisi Peduli Hutan Aceh (KPHA)

Efendi Isma, S.Hut
Juru bicara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.