Oleh: Hermansyah Kahir
Setiap tanggal 29 September bisa dikatakan sebagai momen penting dan berharga bagi mereka yang telah menyandang gelar sarjana. Pasalnya, pada tanggal tersebut diperingati Hari Sarjana Nasional. Tentu ini merupakan sebuah kehormatan bagi para sarjana sebagai generasi penerus yang dipersiapkan untuk membangun bangsa menjadi lebih baik ke depan.
Meraih gelar sarjana tentu tidak mudah karena harus menempuh waktu selama empat tahun (delapan semester). Meraih gelar sarjana merupakan impian setiap orang. Sehingga tidak sedikit masyarakat yang menempuhnya dengan jalan pintas dan ilegal. Artinya, untuk meraih gelar akademik banyak orang melanggar aturan, seperti membeli ijazah atau mengikuti perkuliahan beberapa bulan saja. Motif pragmatis inilah yang mendorong sebagian orang untuk meraih gelar sarjana dengan cara instan.
Banyaknya permintaan (demand) guna mendapatkan ijazah dengan jalur cepat direspons oleh beberapa perguruan tinggi di Tanah Air. Sehingga tidak mengherankan lagi jika banyak perguruan tinggi yang menjual dan menyediakan jasa pembuatan ijazah ilegal. Setelah terkuaknya kasus ijazah ilegal Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Adhy Niaga di Bekasi, pertengahan Mei 2015 lalu, baru-baru ini masyarakat digemparkan lagi dengan kasus serupa.
Kasus teranyar—yang ditemukan Kemenristek Dikti adalah dugaan wisuda sarjana ilegal yang dilakukan oleh 4 perguruan tinggi, yaitu Sekolah Tinggi Teknologi (STT) Telematika, Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT), Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Ganesha, dan Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Suluh Bangsa. Keempat perguruan tinggi ini berada di bawah naungan Yayasan Aldiana Nusantara yang berlokasi di daerah Ciputat.
Kasus wisuda ilegal tersebut terungkap pada Sabtu (19/9)—di mana empat perguruan tinggi Yayasan Aldiana Nusantara (YAN) mewisuda kurang lebih 1.300 mahasiswa yang berasal dari berbagai daerah. Namun, acara wisuda tersebut tidak berjalan lancar karena Tim Evalusi Akademik Perguruan Tinggi—yang diketuai oleh Prof. Supriyadi Rustat langsung mendatangi acara wisuda tersebut. Pergruruan tinggi di bawah Yayasan Aldiana Nusantara ditengarai melakukan praktik jual-beli ijazah dan sudah berlansung selama tiga tahun.
Kasus wisuda ilegal Yayasan Aldiana Nusantara merupakan satu di antara puluhan kampus yang bermasalah. Hinga saat ini pemerintah telah menutup 27 perguruan tinggi dengan kasus yang hampir sama. Lantas apa arti semua ini? Jelas, ini merupakan sinyal bahwa ada ketidakberesan dalam dunia pendidikan kita. Pendidikan di negeri ini sudah menjadi komoditi yang dapat diperjualbelikan. Bahkan ijazah S1, S2, dan S3 dapat dipesan sesuai dengan kebutuhan konsumen. Gelar sarjana “cepat saji” ini digunakan untuk berbagai tujuan. Misalnya, untuk mendapatkan popularitaas atau status di mata publik, kenaikan pangkat, dan untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih mapan.
Max Weber (1978) mengatakan, status dapat berarti sebuah klaim yang efektif bagi penghargaan sosial yang berkenaan dengan privileges positif atau negatif yang secara tipikal didasarkan pada gaya hidup, pendidikan formal, warisan turun-temurun atau prestise pekerjaan.
Cara-cara instan untuk mendapatkan gelar sarjana telah mencorong wajah dunia pendidikan tinggi kita. Gelar abal-abal yang dikeluarkan beberapa perguruan tinggi merupakan perbuatan yang tidak bertanggung jawab dan sungguh memalukan. Hal ini sangat bertentangan dengan marwah perguruan tinggi itu sendiri. Perguruan tinggi seharusnya mencetak generasi penerus bangsa yang memiliki bangunan integritas akademik dan moral yang kokoh. Bukan malah sebaliknya, mencetak sarjana-sarjana instan yang miskin ilmu dan moral.
Menindak Tegas
Ditutupnya 27 perguruan tinggi oleh Kemenrisek-Dikti seakan menginformasikan kepada kita bahwa jual-beli ijazah sudah masif dan menyebar luas di tengah-tengah masyarakat. Ini adalah persoalan serius yang perlu dicarikan jalan keluarnya.
Oleh karena itu, Kemenristek Dikti perlu melakukan sidak secara berkesinambungan untuk menindak perguruan tinggi yang selama ini dicurigai melakukan wisuda abal-abal atau praktik jual-beli ijazah. Apabila ada perguruan tinggi yang terbukti melakukan berbagai praktik kotor tersebut pihak yang berwajib harus memprosesnya sesuai ketentuan hukum yang berlaku. Selain itu, Kemenristek Dikti perlu menonaktifkan perguruan tinggi yang melanggar aturan. Masyarakat juga ikut andil untuk melaporkan kepada pihak yang berwajib apabila menemukan perguruan tinggi yang melakukan praktik ijazah palsu.
Sinergitas antara pemerintah, penegak hukum, dan masyarakat ini sangat penting guna mengungkap berbagai praktik curang di dunia pendidikan tinggi kita sehingga pratik-praktik serupa tidak terulang di masa mendatang.
Dengan demikian, perayaan Hari Sarjana kali ini semestinya manjadi refleksi bagi kita semua bahwa memperoleh gelar akademik dengan cara ilegal adalah perbuatan yang tidak benar dan melawan hukum. Pendidikan bukan hanya ditentukan dengan selembar ijazah, tapi harus dibuktikan dengan keilmuan yang memadai. Dan hal ini tidak didapat dengan cara instan melainkan melalui proses yang benar. Semoga para sarjana mendatang benar-benar menjadi generasi yang mampu berkontribusi bagi kemajuan dan pembangunan bangsa Indonesia.
*Hermansyah Kahir adalah penulis dan pendiri IndoWriter School