Namun, lain halnya dengan ibu, dia sangat mempercayai asumsi dari masyarakat, dia tak pernah mau mendengarkan perkataanku yang ia anggap hanyalah seorang anak laki-laki kecilnya yang ia banggai.
Rumah besar peninggalan ayah, ia jual dan tak ketinggalan kebun-kebun kemiri yang tak bisa ia kelola, lagian harganya pun tak lagi semahal dulu.
Semua itu dia lakukan untuk menghilangkan rasa takutnya akan kutukan Begu ganjang, yang ia rasa masih menghantui rumah ini, takut-takut akulah korban sang hantu tersebut.
Hidup yang serba berkecukupan kini hilang sudah, nasib kami sama halnya seperti meminum air bercampurkan tembakau. Ibu hanya menjadi tukang jahit panggilan, kalaulah ada sisa-sisa baju tersebut maka di buatkan baju untuk kami.
Satu tahun sejak ayah tiada, aku di undang kedalam pesta ulang tahun salah satu teman SMP, rumahnya langsung menghadap ke arah rumahku.
Aku merengek sejadi-jadinya untuk dibelikkan baju baru, agar tak malu memakai baju yang itu-itu saja ke pesta ulang tahun sahabatku.
Ibu mengiyakan saja, malam itu, aku masih ingat hujan lebat sangat deras, bercahyakan lampu Teplok, aku dan adik ku satu-satunya tidur didekat ibu yang sedang menjahit, entah baju siapa yang ia jahit hingga larut malam, biasanya tak pernah selarut itu. (Bersambung)